SOLOPOS.COM - Seniman transpuan, Ifa, 26 (paling kiri), saat pentas bersama anggota Sanggar Sedap Malam dalam acara hajatan warga di Nglangon, Karang Tengah, Sragen, Jumat (12/11/2021). (Espos/Ika Yuniati)

Solopos.com, SRAGEN — Grup musik Campursari, A.Y.N Rimba Musik terus menggeber lagu Bahasa Jawa lawasan dalam acara hajatan Warga Nglangon, Karang Tengah, Sragen, Jumat (12/11/2021) siang.

Di bawah tarup warna-warni, euforia para tamu undangan tak terbendung begitu paguyuban seni transpuan Sedap Malam disebut-sebut akan tampil tepat pukul 11.00 WIB. Beberapa menghentikan sejenak santap siang. Mereka bersiap merekam pentas seni tayuban yang digawangi para sinden asal Karangmalang, Sragen tersebut.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Ada sekitar 12 anggota yang ikut tampil. Mengenakan kebaya hijau muda, mereka kenes dengan sanggul dan jarit sogan. Satu per satu, para anggota senior dan junior jalan pelan menuju barisan tengah. Dwi Utama dan Dita, selaku penyinden berdiri paling depan. Sisanya menjadi pengiring tari di bagian belakang.

Baca Juga : Pemerintah Resmi Pungut Bea Masuk Pakaian dan Aksesori Impor

Tak menunggu lama. Gamelan mulai ditabuh, ketipung dipukul kencang, disusul orgen tunggal yang kian menghidupkan suasana. Suara Dwi dan Dita terdengar saling bersahutan membawakan tembang Gethuk dengan iringan musik campursari. Lagu ciptaan mendiang Manthous itu disambut Ifa cs yang berdiri di belakang dengan tari gambyong. Pelan-pelan, mereka gemulai menggerakkan badan hingga penghujung lagu.

Senyum tipis Ifa, 26, dan rekannya menarik simpati penonton. Tak sedikit yang maju mendekat mendokumentasikan lewat video atau gambar. Malu-malu, beberapa ikut joget dari kursi masing-masing.

Pesinden dan para tamu tampak khusyuk menikmati sajian seni tradisi yang dilanjutkan dengan gendhing uyon-uyon siang itu. Tak terasa acara segera berakhir. Setengah jam berlalu begitu cepat. Banjir tepuk tangan terdengar riuh mengiringi pamitan grup kesenian andalan Sragen yang dipimpin Sri Riyanto, atau biasa disapa Damen, 43.

Raut bahagia Ifa, 26, masih terbawa hingga ruang rias seusai pentas. Siang itu, ia tampak anggun dengan kebaya slimfit dan gelung sederhana. Bagian atas gelungnya disematkan bunga melati putih sebagai pemanis.

Baca Juga : Wow! Sampah Plastik Disulap Menjadi BBM di Kudus, Ini Alatnya

Wajahnya riang berbinar tiap selesai pentas. Bukan karena segera mendapat honor penampil. Lebih dari itu, riuh tepuk tangan penonton mengapresiasi pentas tarinya selalu menjadi energi positif. Pemilik nama panggung Madam Ifa Morschek ini mengaku penonton adalah bagian dari nyawanya. “Enggak nyangka saya bisa seperti sekarang ini,” kata dia.

Perjuangan Ifa

Banjir dukungan sebagai seniman transpuan dirasakannya sejak bergabung Sedap Malam sekitar lima tahun silam. Mulai dari keluarga, warga sekitar rumahnya di Teguhan, Sragen, hingga jajaran pimpinan daerah mengakuinya sebagai seniman tradisi.

Itu pula yang membuat Ifa makin percaya diri mengenakan pakaian feminin sebagai identitas barunya. Rambut panjang terurai, riasan tipis, dan tote bag jadi bagian penting dari keseharian anak kedua dari lima bersaudara ini. Terkadang jika ada acara keluarga, ia tak ragu mengenakan gamis dan hijab menyesuaikan kultur keluarga besarnya yang agamis.

“Saya kadang pakai gamis, jilbaban kalau di acara keluarga. Semuanya menerima saya dengan baik,” kata Ifa saat berbincang dengan Espos di angkringan tengah Pasar Bunder, Sragen, Sabtu (30/10/2021) malam.

Baca Juga : Mahasiswa UNS Solo Pelajari Efisiensi Reproduksi Kambing Perah

Lingkungan inklusif yang Ifa dapatkan sekarang ini bukan tanpa perjuangan. Ifa mulai terbuka dengan keluarga sejak lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Awalnya ia memutuskan mandek sekolah saat duduk di bangku Kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA). Alasannya ingin bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.

Perjalanan karirnya dimulai dari salon, sampai menjadi lady companion (LC) di sejumlah klub malam. Kala itu orang tua tak pernah tau ia bekerja di klub malam. Sampai suatu ketika dibangunkan salat subuh oleh sang Ibu dan masih dalam keadaan berpakaian perempuan.

Seketika keluarga menatarnya. Ifa kabur dan hidup nomaden beberapa bulan di Solo hingga sakit. Pihak keluarga mencarinya lalu memutiskan kembali pulang ke Sragen.

“Saat saya pulang, saya bawa koper, pakai pakaian perempuan lengkap. Di situ saya sampaikan ke orang tua kalau beginilah pekerjaan asli saya. Beginilah pilihan hidup saya,” kenangnya. “Prosesnya lama sampai saya diterima,” kata dia.

Baca Juga : Pilkades Antarwaktu Sukoharjo: Bakal Cakades Gedangan Berkurang 1 Orang

foto fellowship ika 4
Anggota Sanggar Sedap Malam saat pentas dalam acara hajatan warga di Nglangon, Karang Tengah, Sragen, Jumat (12/11/2021). (Espos/Ika Yuniati)

Keterbukaannya pada keluarga menjadi titik balik Ifa. Ia makin percaya diri dengan jalan hidupnya. Setelah itu, ia menerima tawaran tur LC ke sejumlah kota mulai dari Bali, Kupang, NTT, Batam, hingga Singapura. Beberapa operasi, seperti pembentukan payudara pun dilakukan.

Perjalanannya menjadi LC hingga pernah mencicipi sebagai penari striptis rupanya tak mudah. Persaingan dunia malam membuatnya geleng-geleng kepala. Ifa pernah masuk rumahsakit gara-gara minuman kerasnya dicampur obat-obatan yang membuat dia lemas tak berdaya.

Dia juga pernah jadi target operandi (TO) aparat keamanan karena difitnah menjadi mucikari. Padahal kala itu ia hanya menjadi koordinator LC di wilayah Sragen.

Awal 2016 lalu, mantan guru ngaji di Taman Pendidikan Alquran (TPA) ini sering diajak melihat pentas Sedap Malam oleh rekannya bernama Nining Laura. Dari situ, Ifa, mulai berkeinginan menjadi seniman tradisi. Mimpinya kala itu hanya satu, berhenti dari dunia malam untuk mengangkat derajat keluarga.

Baca Juga : Pendaftaran Tipe Kendaraan Bermotor Turun , SRUT Kendaraan Listrik Naik

“Saya ingin gabung Sedap Malam ben gak dadi waria biayayakan di jalanan,” kata dia. “Saya mulai gabung, dan belajar menari,” kata dia.

Tak mudah memang belajar seni tradisi. Namun, ia tak menyerah mengingat tujuan awalnya ingin mengubah nasib. Ifa harus manut pelan-pelan sampai piawai seperti sekarang ini. Lama kelamaan Ifa sering diajak manggung. Penampilannya menari gambyong diapresiasi banyak pihak. Jadwalnya terbilang padat.

Sebelum pandemi, dalam sepekan ia bisa pentas lebih dari sepuluh kali bersama Sedap Malam. Sekali pentas biasanya mendapat upah minimal Rp250.000. Jumlah itu belum ditambah saweran atau tawaran di paguyuban Sedap Malam.

Tak hanya belajar tari, Ifa, juga diajari berdandan dan memakai sanggul. Selain nyinden dan menari, Ifa juga membuka jasa rias untuk pengantin Jawa. Ifa bersama Nuri (anggota lain Sedap Malam) bahkan digandeng kelompok pesinden Soloraya, Wani Tombok. Dalam komunitas tersebut hanya Ifa, dan Nuri, yang merupakan transpuan.

Baca Juga : Murahnya Biaya Hidup di Solo, Rp10.000 Sudah Bisa Makan Kenyang

“Ibaratnya dulu enggak bisa nari sekarang malah seneng nari. Dulu sama sekali enggak suka klenengan. Sekarang, malah suka,” ceritanya.

Bersama Sedap Malam, pelan-pelan hidup Ifa makin mapan. Saat bertemu dengan Espos pada Minggu malam lalu, ia mengendarai mobil keduanya berupa Daihatsu Sigra putih. Penghasilannya juga dikumpulkan untuk membantu biaya sekolah dua adiknya.

“Pendapatan di Sedap Malam, alhamdulillah nyantol. Dulu di klub malam saya kerja lama dapatnya motor, itu pun kreditan,” kelakarnya sembari mengenang masa lalu.

Ifa beberapa kali menghela nafas lega ketika ingat dukungan keluarga. Ibu dan adik-adiknya ikut menata kebaya atau sanggul untuk pentas kalau dia terlihat sibuk. Sementara, sang ayah siap mengantar jika Ifa kerepotan.



Baca Juga : Penyerahan Santunan Warga Terdampak Pembangunan Rel Layang Joglo Solo

“Sekarang kalau pas kelihatan sibuk banget, ibu malah ikut menyiapkan kebaya untuk pentas. Ibu sendiri yang memilihkan,” kata Ifa. “Saya lega sekarang. Saya rasa kuncinya adalah terbuka sama keluarga. Sama ya, sebagai orang Jawa, kudu srawung dan baik sama tetangga,” kata Ifa.

Penerimaan tersebut membuat Ifa kian optimistis. Harapannya ke depan terus mengembangkan seni tradisi lewat Sedap Malam. Mimpinya nanti membuka usaha mandiri yang bisa menyerap tenaga kerja di sekitar rumahnya.

“Sebelumnya tidak pernah berpikir sampai sejauh ini. Dulu berat sekali,” kenangnya sembari mengernyitkan dahi.

Sanggar Tancep Sedap Malam

Saat bertemu Espos Minggu malam lalu, Ifa, ditemani rekannya sesama anggota Sedap Malam, Nuri. Nuri, berpakaian kasual mengenakan kaus dan jeans panjang. Ia memang tak pernah mengenakan kostum feminin kecuali saat pentas di Sedap Malam.

Baca Juga : Sandiaga Uno Sebut Lokasi Diving Terbaik di Karimunjawa, Ini Alasannya

Ketidakberaniannya bukan tanpa alasan. Sang kakak yang merupakan pemuka agama menentangnya secara frontal. Selain piawai menari, primadona Sedap Malam ini juga hobi memasak.

Awal pandemi lalu Nuri mencoba peruntungan buka catering di kediamannya daerah Ngrampal, Sragen. Beruntung, usaha yang dilakoni untuk bertahan di masa pandemi Covid-19 tersebut lancar sampai sekarang. Kalau pesanan banyak, Nuri, mempekerjakan ibu-ibu di sekitar kediamannya.

“Ini modalnya juga dari bekerja di Sedap Malam. Nanti kalau saya mungkin sudah enggak laku menari, ya catering ini yang jadi andalan,” ceritanya optimistis.



Nuri merasa ruang aktualisasi sesuai passion sangat penting bagi kelompok marginal seperti mereka. Hal itu juga sebagai bentuk eksistensi diri. Eksistensi ini yang kemudian menambah value diri sehingga diterima dengan baik di masyarakat, tanpa melihat preferensi seksual maupun ekspresi gender masing-masing.

Baca Juga : Ajang WSBK Jadi Cara Efektif Promosikan Kualitas Wisata Mandalika

Ruang kebebasan yang sama juga dirasakan anggota baru Sedap Malam, Tegar, 20. Mahasiswa Jurusan Tari ISI Solo ini menjadi pengajar di Sanggar Tancep Sedap Malam yang berlokasi di Kroyo, Karangmalang, Sragen. Penghasilan pentas bersama Sedap Malam dia gunakan untuk membiayai kuliah di ISI Solo.

Pribadinya yang hangat membuat Tegar dicintai. Espos sempat melihat aktivitas mengajarnya pada Rabu (20/10/2021) sore. Puluhan murid khusyuk latihan mendengarkan instruksi. Kala itu ada tiga pelatih yang datang. Tegar memimpin latihan. Sementara, Fendy yang sore itu mengenakan daster motif abstrak, bagian membenarkan peserta yang salah.

Murid Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) Solo, Hanifa Nur Aulia, 16, merupakan salah satu murid Tancep Sedap Malam yang mengidolakan Tegar. Baginya sang senior adalah sosok panutan. Selain piawai segala macam tari, Tegar, dan rekan-rekannya sangat ramah dan merangkul para murid.

“Pelatihnya seru-seru di sini. Asyik semua, enggak galak. Kak Tegar yang aku suka,” kata dia.

Baca Juga : Indahnya Wisata Alam Jurang Jero Magelang, Dulunya Desa yang Hilang

Keramahan para pelatih tari juga diakui orangtua murid, Kristina, 30. Hal itu pula yang membuatnya memilih Tancep Sedap Malam sebagai tempat les tari putri sulungnya, Najwa Sakwina, 12.

foto fellowship ika 2
Aktivitas latihan tari tradisional di Sanggar Sedap Malam, Desa Kroyo, Kecamatan Karangmalang, Sragen. Foto diambil, Rabu (20/10/2021). (Espos/Ika Yuniati)

Padahal, rumahnya cukup jauh. Butuh waktu hampir 30 menit perjalanan dengan sepeda motor dari kediamannya di Kedawung menuju sanggar di Karangmalang. “Tempatnya enak juga. Lumayan sambi nunggu Najwa latihan saya momong,” kata dia, Rabu (20/10/2021).



Biasanya beberapa orangtua murid juga ikut menunggui. Mereka menghabiskan waktu sambi diskusi atau sekadar melepas tawa. Banyak hal yang membuat ibu-ibu muda ini menganggap sanggar layaknya rumah sendiri.

Para pelatih dan pengurus paguyuban memperlakukan mereka layaknya keluarga. “Kakak-kakak di sini ramah, enggak galak. Anak-anak seneh lah latihan. Apalagi ini sudah mahir semuanya yang melatih,” kata Kristina.

Baca Juga : Perpustakaan Sragen Kembali Buka, Pelajar yang Paling Senang

Jenis kesenian yang diajarkan Sedap Malam cukup beragam. Ada kelas tari, gamelan, hingga wayang. Meski baru tiga tahun bergabung, Najwa, sudah menguasi beberapa garap tari. Di sekolah, prestasinya pada bidang seni cukup diperhitungkan.

Sementara, di sanggar, beberapa kali diajak pentas anggota Sedap Malam. Tak ada rasa canggung, Najwa, justru bahagia bisa membaur di panggung yang sama.

Komunitas Inklusif

Tancep Sedap Malam merupakan sanggar bentukan Sedap Malam yang dibuat khusus anak-anak yang ingin belajar tari. Beberapa jebolan sanggar ini pentas bareng para senior mereka di Sedap Malam.

Pendiri Sedap Malam, Sri Riyanto, berharap Tancep Sedap Malam menjadi embrio komunitas yang lebih inklusif. Sehingga Sedap Malam nantinya tak hanya diisi transpuan, tetapi semua orang yang ingin mengembangkan seni tradisional. “Sanggar Tancep Sedap Malam juga bisa jadi regenerasi komunitas ini,” kata dia, Rabu (20/10/2021).

Baca Juga : 2 Game Langsung! Marcus/Kevin Bekuk Wakil Korea di Indonesia Masters

Kali pertama mendirikan Sedap Malam 2006 lalu, mimpinya hanya satu, yakni mengentaskan transpuan dari pekerjaan yang berisiko tinggi seperti seks komersial. Dengan menjadi seniman tradisi para transpuan bisa memiliki karir yang lebih menjanjikan.



Dulu, Sri mengawali komunitas ini dengan mengajak langsung para transpuan yang sering mangkal di sekitar Pasar Bunder atau bawah terowongan rel kereta api dekat pasar. Namun tak banyak yang menyambut baik niat Sri, karena dianggap tidak menjanjikan.

Pentas awal dimulai dengan ngamen gratis di sekitar pasar. Sri ingat betul saat ngamen keliling Pasar Bunder untuk memperkenalkan komunitas transpuan tersebut. Kala itu tak banyak saweran, dia justru nombok.

Namun, Sri, tak patah semangat. Beberapa pekan berlalu, gayung pun bersambut. Wakil Bupati Sragen Agus Faturachman mendukung paguyuban Sedap Malam. Sri cs sering diundang pentas di pendapa Rumah Dinas Wakil Bupati.

Baca Juga : Ngeri! Ada Makam China Kuno di Tengah Kampung Semarang

Puncaknya pada 2014 lalu. Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga (Disparbudpor) Sragen, Dewan Kesenian Daerah Sragen (DKDS), Paguyuban Campursari Pinastika, dan Pepadi Sragen, sepakat mengirim Sedap Malam menjadi wakil Kabupaten Sragen dalam pentas kebudayaan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Sepulang dari Jakarta, namanya kian populer sebagai seniman progresif Kota Sragen. Kepercayaan masyarakat bahkan membuat mereka kerap diundang tampil di Pondok Pesantren Nurul Huda Gondang yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau Abah Syarif. Hampir setiap tahun, kata Sri, Sedap Malam mengisi acara futsal melawan santri sebagai serangkaian perayaan hari lahir (harlah) Pondok Pesantren Nurul Huda.

Lomba futsal digelar di lapangan sekitar pondok dan disaksikan para santri maupun masyarakat setempat. Penampilan Sedap Malam dengan seragam rok dan full makeup dielu-elukan penonton.

“Orang-orang yang ditunggu ya Sedap Malam. Intinya, acara seperti itu membuat kita lebih dekat dengan masyarakat, Biar enggak ada sekat,” terang Sri saat diwawancara, Rabu (20/10/2021).

Baca Juga : Jual Hotel Rp5,3 Triliun, Mantan Presiden AS Donald Trump Bangkrut?

Respons masyarakat terhadap penampilan Sedap Malam berlanjut di kanal YouTube Tancep Sedap Malam. Ruang baru yang mereka gunakan sebagai alternatif pentas selama pandemi tersebut diapresiasi positif.

Videonya berisi dokumentasi pentas maupun serial drama komedi Sedap Malam. Setiap kali video ditonton lebih dari tiga ribu pengguna internet. Bahkan ada yang sampai tembus 11.000. Kanal YouTube tersebut memberi harapan baru soal masa depan seni tradisi yang mereka tekuni.

Diawali dengan modal sendiri, Sedap Malam kian mandiri. Mereka telah memiliki sanggar pendidikan, sejumlah fasilitas pendukung pentas, hingga kanal YouTube sebagai wujud inovasi. Dilihat dari kualitas, regenerasinya dianggap cukup baik. Awalnya ada 40-an anggota transpuan, sekarang tersisa 25 orang.

“Anggota paguyuban memang berkurang. Tapi anggota baru kita ada yang mahasiswa ISI, ini memperkuat kita dalam hal gerak tari dan pengembangan seni tradisi,” kata Sri.

Baca Juga : TV Analog Setop Siaran Maksimal 2 November 2022

Saat ini, Sri, mulai menyiapkan konsep Paguyuban Sedap Malam yang inklusif. Murid Sanggar Tancep Sedap Malam yang mayoritas anak-anak bakal sering diajak kolaborasi bersama seniornya.

Pengakuan Pemerintah

Eksistensi Sedap Malam serta kontribusinya pada bidang kesenian tak hanya berbuah pada pengakuan pemerintah. Mereka merasakan sejumlah kemudahan akses untuk para transpuan. Dimulai dari kemudahan vaksinasi Covid-19 untuk semua anggota bahkan di luar domisili Sragen.

Disusul layanan tes VCT untuk mendeteksi HIV sejak dini. Tes VCT bahkan tidak hanya untuk anggota Sedap Malam. Mereka menggandeng transpuan lainnya di wilayah Sragen untuk turut melakukan pengecekan.

Tes VCT biasanya dilakukan enam bulan sekali. Petugas mendatangi langsung para anggota Sedap Malam sesuai lokasi janjian. “VCT pasti. Kami dari Sedap Malam selalu mendorong anggota kami untuk memastikan kesehatan mereka terjaga. Termasuk mendorong untuk vaksinasi. Vaksin itu aksesnya langsung dari Pemkab kemarin,” tegas Sri.

foto fellowship ika
Aktivitas latihan tari tradisional di Sanggar Sedap Malam, Desa Kroyo, Kecamatan Karangmalang, Sragen. Foto diambil, Rabu (20/10/2021). (Espos/Ika Yuniati)

Baca Juga : Khawatir Siswa Lakukan Klitih, Satpol PP DIY Kini Awasi Sekolah

Keterbukaan atas kesetaraan gender yang dilakukan Pemkab Sragen selaras dengan penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) 2020 Kategori Utama yang mereka raih September silam. Tingkat Utama mengartikan Kabupaten Sragen berkomitmen dan telah berupaya serius melaksanakan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melalui strategi pengarusutamaan gender (PUG) ataupun peduli terhadap kesetaraan gender.

Pemkab Sragen menarget ke depan naik hingga level mentor. Kepala Bidang Pembinaan Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Johny Adi Aryawan bersama Kasi Kesenian Monica Sugiyanti, Senin (1/11/2021), mengapresiasi Paguyuban Sedap Malam sejak kali pertama berdiri 2006 lalu.

Dukungan yang mereka berikan selama ini, kata Johny, demi perkembangan kesenian di Sragen. Sedap Malam terbukti mampu menjaga marwah seni di Bumi Sukowati.

Konsep kesetaraan pada bidang seni juga mereka terapkan di lini lain. Johny dan tim beberapa kali menggandeng sejumlah disabilitas untuk kepentingan pengarsipan kebudayaan. Selama ini, kata Johny, memang belum ada dasar kebijakan untuk melibatkan para transpuan ataupun disabilitas dalam hal pengembangan kebudayaan.

Baca Juga : Wow! Rel Layang Joglo Solo bakal Jadi yang Terpanjang di Indonesia

Namun upaya tersebut terus mereka lakukan untuk mendukung Sragen sebagai kabupaten inklusif dan bisa menampung semua kalangan. “Yang kami lihat adalah karya dan kontribusi mereka. Kebetulan Sedap Malam cukup aktif, bahkan menjadi paguyuban yang berdikari,” tegas Johny.

Ponpes Nurul Huda

Espos sempat berbincang dengan pengelola Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Huda untuk menanyakan alasan mereka berulangkali mengundang Sedap Malam. Putra Abah Syarif, Bombong Lukito Samudro, Senin (1/11/2021), mengatakan bahwa sang ayah memang merangkul banyak golongan.

Ponpes yang berdiri pada 1989 di Desa Plosorejo, Gondang, tersebut memiliki santri mulai jenjang SD hingga Perguruan Tinggi. Di samping itu, mereka juga menampung masyarakat luar yang sekadar ingin diskusi atau menjadi santri kalong.

Santri kalong ini berasal dari berbagai latar belakang. Bahkan ada yang berasal dari agama Hindu, Budha, dan Kristiani yang dibukakan pintu untuk sekadar diskusi.

Baca Juga : 3 Terduga Teroris Ditangkap di Bekasi, 2 Berstatus Dosen

Sementara perkenalan mereka dengan Sedap Malam bermula dari salah satu anggota yang dulu sering ngobrol dengan sang Ayah. Sampai akhirnya, Abah Syarif, kepikiran menggandeng mereka tiap acara Harlah.

“Sudah belasan tahun dengan kelompok ini. Konsep yang diterapkan pondok kami adalah Islam rahmatan lil alamin, yakni rahmat bagi alam semesta, bagi siapapun. Dengan merangkul semua orang, ini justru jadi dakwah mengajak mereka [semua golongan] pada jalan kebaika,” kata dia.

Terkait kemudahan akses bagi para transpuan, Bombong, yang juga menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sragen ini menganggap itu hal lumrah. Baginya, siapapun yang memiliki KTP Sragen, wajib mendapat pelayanan dengan baik.

“Ya wajar saja lah Mbak kalau dapat pelayanan [vaksinasi, VCT]. Mereka bagian dari warga Sragen yang memang harus dapat haknya,” jawab Legislator dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini santai.

Baca Juga : Satai Bulayak Khas Lombok, Kuliner Lezat di Sekitar Sirkuit Mandalika

Beberapa hari setelah pentas di Nglangon Sragen, Espos, kembali berbincang dengan Ifa. Ia mengaku bangga dan bahagia diapresiasi positif oleh masyarakat hingga pemerintah. Namun, di sisi lain juga prihatin. Masih banyak transpuan di luar sana yang belum mendapat tempat seperti dirinya dan rekan-rekan di Sedap Malam.

Ifa berharap pemerintah memberikan perhatian dan ruang yang setara kepada para transpuan lain. Sementara, bagi sesama transgender, ia mengajak semuanya bangkit dan berani menunjukkan karya untuk menuju setara.

“Teman-teman transpuan di luar sana, tunjukkan bakat dan kemampuan kalian, dan jangan diam. Semangat selalu untuk masa depan lebih baik, dan menepis anggapan orang yg menilai transpuan itu negatif,” tegasnya optimistis.

Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya