SOLOPOS.COM - Legislator DPR RI Luluk Nur Hamidah (kanan) berbincang dengan para kepala desa di Rumah Makan Cengkir Gading Puro, Kecamatan Karangmalang, Sragen, Selasa (2/8/2022). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Pelaku kekerasan seksual dengan ancaman pidana sampai 15 tahun bisa didenda sampai Rp1 miliar di luar hukuman penjara.

Ketentuan itu diatur dalam hukum acara yang tertuang dalam UU No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang hinggi kini belum ada aturan turunannya.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Penjelasan itu disampaikan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah, saat ditemui wartawan di Rumah Makan Cengkir Gading Puro, Karangmalang, Sragen, Selasa (2/8/2022).

Luluk mengapresiasi kinerja Kapolres Sragen, AKBP Piter Yanottama, yang berhasil mengungkap kasus kekerasan seksual di Bumi Sukowati. Khususnya di wilayah Kecamatan Jenar dan Sumberlawang.

Setelah menetapkan tersangka, Luluk berharap aparat penegak hukum juga bisa memenuhi hak-hak lain korban. Seperti pemulihan psikologis, restitusi, denda bagi pelaku, dan kebutuhan lainnya yang bisa diasesmen oleh pendamping korban.

Baca Juga: Pelaku Pencabulan Bocah SMP di Sragen Ternyata Bapak Tiri Korban

“Setelah tersangka ditetapkan maka secepatnya hak-hak korban juga dipenuhi. Dalam penanganan kasus kekerasan seksual itu segera mungkin menggunakan UU TPKS karena segala prosedur dan mekaniske ketika ada hambatan dalam penanganan bisa diatasi dengan cepat. Misalnya terkait bukti, korban itu bisa menjadi saksi atas dirinya,” ujarnya.

Luluk menjelaskan denda dan restitusi berdasarkan UU TPKS itu berbeda. Dia menjelaskan denda itu dibebankan kepada pelaku terkait dengan hak korban yang dirugikan. Untuk pidana yang ancaman hukumannya 15 tahun dendanya bisa sampai senilai Rp1 miliar.

Kalau denda itu tidak bisa dibayarkan oleh pelaku, ujar dia, maka bisa diganti dengan hukuman penjara.

Nilai Restitusi

Sementara untuk restitusi, ujar dia, nilainya didasarkan pada jenis kejahatannya, lamanya ancaman pidana, dan kondisi ekonomi pelakunya. Dia mengatakan yang menilai dan menetapkan restitusi itu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan pengadilan.

“Restitusi ini didasarkan pada kerugian material maupun non material dan kerugian lain yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual yang dialami korban. Aparat dalam hal ini kejaksaan bisa melakukan sita jaminan dari harta yang dimiliki pelaku. Bila ada sisanya setelah putusan pengadilan maka bisa dikembalikan ke pelaku,” jelasnya.

Baca Juga: Bupati Sragen: Butuh Warga Satu Desa Untuk Lindungi Satu Anak

Luluk melihat kasus kekerasan seksual terus bertambah sehingga pemerintah harus menyegerakan pembuatan aturan turunan atas UU TPKS yang berupa peraturan pemerintah dan perpres. Dia mengatakan sejak UU tersebut diberlakukan sudah jalan empat bulan tetapi belum ada tanda-tanda terbitnya PP atau perpres, meskipun aturan turunan itu diberi waktu maksimal selama dua tahun.

“Mestinya saat pembahasan UU itu pemerintah sebenarnya sudah paham. Mestinya pemerintah bisa menyiapkan PP atau perpres yang menjadi satu paket dengan UU. Masyarakat berhak untuk mengawal PP dan perpres supaya segera mungkin terbit supaya menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum dan hakim,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya