SOLOPOS.COM - Pendapa Pemkab Boyolali di Kemiri (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Solopos.com, BOYOLALI — Relokasi ibu kota Kabupaten Boyolali dari Kecamatan Boyolali Kota ke Kelurahan Kemiri, Kecamatan Mojosongo sudah bermasalah sejak awal pelaksanaan, 3 tahun lalu. Mulai dugaan pemalsuan tanda tangan hingga dugaan korupsi pembangunan gedung. Kini, terungkap kembali masalah lain dalam proyek pembangunan perkantoran terpadu di ibu kota baru kabupaten itu.

Harian Umum Solopos, Senin (4/11/2013) lalu, mengungkapkan indikasi adanya “sandiwara” dalam lelang proyek pembangunan perkantoran di ibu kota baru Kabupaten Boyolali itu. Rekanan yang menawar dengan harga tinggi dikalahkan oleh rekanan yang menawar lebih rendah.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Sangat nyata, karena ada kontraktor yang telah mengunggah semua persyaratan di website electronic procurement (e-proc) fasilitas yang disediakan untuk lelang online, tetapi semua syarat kemudian terhapus. Alhasil, kontraktor itu pun gugur dalam lelang.

Indikasi adanya kecurangan dalam lelang proyek pembangunan kompleks perkantoran baru Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boyolali yang dilaksanakan tiga tahun terakhir itu diendus sejumlah kalangan, termasuk DPRD Boyolali.”Bayangkan, rekanan yang menawar harga tinggi dimenangkan. Rekanan yang menawar lebih rendah malah dikalahkan. Ini lelang macam apa?” kata Fuadi, Wakil Ketua DPRD Boyolali, ketika ditemui Solopos.com, Kamis (31/10/2013).

Solopos.com mencoba menelusuri rekam jejak lelang megaproyek itu. Berbekal salinan dokumen dan kesaksian sejumlah kontraktor, Solopos.com menemukan sejumlah kejanggalan yang mengarah pada praktik kolusi. Inilah yang oleh beberapa kalangan disebut ”sandiwara”.

Salah satunya terlihat dalam selisih harga perkiraan sendiri (HPS) dengan penawaran pemenang kontrak yang sangat kecil. Rata-rata penawaran kontrak hanya berkisar 1% dari HPS. Bahkan, dalam proyek pembangunan gedung Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), pemenang lelang hanya menawar 0,38% di bawah HPS.

Menurut sejumlah sumber Solopos.com yang memahami proyek kontruksi, penyusunan HPS yang jujur dan akuntabel mestinya memperhitungkan keuntungan bagi kontraktor di luar harga barang. Selain itu, harga barang/jasa dalam HPS dihitung berdasarkan harga satuan di pasaran, bukan harga grosir, bukan harga pembelian dalam jumlah besar. Dengan rumus demikian, selisih ideal antara HPS dengan penawaran mestinya 10%-15%.

”Bagi kontraktor yang jujur, mereka masih untung 15%-20%, meskipun selisih penawaran dengan HPS 10%-15%,” ujar pengamat ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Heru Agustanto.

Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah secara tegas menyebutkan tujuan utama e-proc ialah memperbaiki tingkat efisiensi. Efisiensi ini, kata Wakil Ketua DPRD Boyolali Turisti Hindriya, bukan saja pada pengadaannya, melainkan juga pada belanjanya.

“Faktanya, anggaran yang mestinya bisa dihemat justru dibuat bancakan dalam lelang [yang menurut saya] penuh kolusi itu,” ujar Turisti.

Kejanggalan ini tak terlepas dari trik para rekanan dalam mengajukan harga penawaran yang dibikin nyaris sama. Indikasi ini salah satunya muncul dalam proyek pembangunan gedung Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPMP2T) Boyolali senilai Rp3,9 miliar.

Dalam proyek ini, selisih penawaran yang diajukan pemenang lelang dengan kontraktor cadangan terindikasi direkayasa lantaran hanya bertaut sekitar Rp8 juta. Kejanggalan lainnya yang layak disoroti ialah jumlah rekanan pemenang lelang yang bisa dihitung dengan jari. Itu pun alamat mereka berada dalam satu kawasan.

Hal ini melahirkan kelompok kontraktor yang saling bersengkongkol. Satu rekanan yang telah memenangi proyek bisa kembali memenangi proyek di area yang sama. Proyek gedung BPMP2T dan Pendapa Kabupaten Boyolali salah satu indikasinya. Kedua proyek ini dimenangi satu kontraktor yang beralamat di Kecamatan Teras, Boyolali.

Praktik “kanibalisme” antarkontraktor juga merebak. Berdasar kesaksian sejumlah kontraktor, puluhan peserta lelang sengaja ”digagalkan” oleh orang tertentu melalui sistem e-proc. ”Ini cara kasar yang sering terjadi. Rekanan merasa sudah mengunggah semua persyaratan, namun di website dihapus. Akhirnya mereka dinyatakan gugur,” ujar seorang kontraktor yang minta agar identitasnya tak dipaparkan.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya