SOLOPOS.COM - Ilustrasi mencapai tujuan. (Freepik)

Solopos.com, SOLO – Pemerintah Indonesia dinilai tidak siap menghadapi krisis sebagai dampak pandemi Covid-19. Hal ini terlihat dari pola komunikasi pemerintah yang tidak memiliki pemimpin khusus di tengah krisis Covid-19.

Ketua Badan Pengurus Cabang (BPC) Perhumas Solo, Andre Rahmanto, mengatakan pemerintah Indonesia tidak memiliki pemimpin dalam komunikasi krisis untuk mengatasi wabah virus corona. Padahal, keberadaan pemimpin dalam komunikasi krisis memegang peranan penting lantaran menjadi tolok ukur keberhasilan dan kegagalan mengatasi masalah.

Promosi Siap Layani Arus Balik, Posko Mudik BRImo Hadir di Rute Strategis Ini

“Komunikasi krisis harus ada pemimpinnya  yang harus mengatur informasi seperti apa yang disampaikan ke masyarakat. Kalau di Indonesia ini kan enggak ada pemimpin komunikasi krisisnya. Yuri [Achmad Yurianto,  Jubir Satgas Covid-19] hanya sebagai juru bicara penyampaian kasus. Bukan jubiir krisis secara keseluruhan,” terang Andre Rahmanto dalam diskusi online Webinar Perhumas Surakarta bertema Komunikasi di Tengah Pandemi, Jumat (15/5/2020).

Tuah Mbah Minto Klaten, Dibayar Rp20.000/Vlog Kini Jadi Bintang Iklan 

Tak Punya Pemimpin Krisis

Andre Rahmanto menambahkan, banyak hal yang harus dibenahi dalam pola komunikasi pemerintah di masa krisis pandemi Covid-19. Kepala Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UNS Solo itu menjelaskan komunikasi krisis harus dilakukan dengan perencanaan yang jelas.

Sayangnya pola komunikasi krisis pemerintah Indonesia di tengah pandemi Covid-19 belum dibangun dengan baik. Sehingga kebijakan yang diambil pemerintah sering kali tumpang tindih dan membingungkan masyarakat.

“Kalau enggak ada pemimpin krisis ya berarti presiden yang pegang kendali. Tapi kan kenyataannya pola komunikasi tidak tertata dan sering keliru. Maka sering pernyataan diralat sama menteri atau staf khusus. Karena seringnya pernyataan yaang disampaikan spontan dan tidak terencana,” sambung dia.

Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi Per 1 Juli 2020, Ini Besarannya

Di tengah krisis pandemi Covid-19 ini pemerintah semestinya melakukan komunikasi yang lebih terencana. Bukan sekadar berkomunikasi seperti saat situasi normal. Apalagi masalah timbul dalam berbagai dimensi.

“Kebiasaan selama ini memang tidak ada komunikasi krissis. Pakai kebiasaan [komunikasi] di luar krisis. Jadi semakin parah. Wong enggak pernah ada pemimpin di situasi krisis,” imbuh Andre Rahmanto.

Kepercayaan Publik

Padahal, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah di situasi krisis meningkat drastis. Berdasarkan hasil survei konsultan public relation (PR) global, Edelman, menunjukkan tingkat kepercayaan publik di 11 negara maju meningkat di tengah pandemi Covid-19.

“Indeks kepercayaan publik kepada pemerintah pada Mei 2020 mencapai angka 61%. Capaian ini merupkan yang tertinggi selama 20 tahun terakhir. Tapi, tingkat kepercayaan tinggi dibarengi dengan kekecewaan yang lebih tinggi jika tidak sesuai ekspektasi,” jelas Andre Rahmanto.

Tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah menjadi sangat tinggi lantaran hanya pemegang otoritas yang memiliki data valid tentang fakta kondisi krisis Covid-19. Oleh sebab itu, sebagai praktisi media massa, Pemimpin Redaksi Solopos Group, Rini Yustiningsih, menyerukan keterbukaan data.

Rini menilai keterbukaan data merupakan hal penting untuk disampaikan agar masyarakat lebih sadar dan memahami situasi terkini. Apalagi konsumsi berita di masyarakat meningkat sepanjang krisis Covid-19.

Peringatan WHO:  Virus Corona Mungkin Tidak Akan Pernah Hilang dari Bumi

“Keterbukaan data sangat penting. Sudah tidak penting lagi menutupi angkanya. Toh masyarakat tidak terlalu aware dengan data itu. Tinggal nanti bagaimana masyarakat merespons data itu. Media ini posisinya berada di tengah-tengah. Jadi, kami mohon Satgas Covid-19 di daerah satu suara untuk meminimalisasi kesimpangsiuran,” papar Rini Yustiningsih.

Menanggapi hal itu, Andre Rahmanto menilai komunikasi krisis di tengah pandemi Covid-19 harus disesuaikan dengan kebutuhan khalayak. Pemerintah pusat semestinya mengatur pola komunikasi krisis yang tepat dalam skala makro menggunakan berbagai media yang ada, bukan hanya media massa.

Pemimpin Lokal Lebih Eksis

Sebab penanggung jawab terkait krisis Covid-19 ini pada skala makro ada di tangan pemerintah pusat dan daerah. Andre Rahmanto menyoroti ada beberapa pemerintah daerah yang lebih proaktif melakukan komunikasi krisis untuk menenangkan masyarakat soal pandemi Covid-19.

“Beberapa daerah yang pemimpin lokalnya lebih proaktif melakukan komunikasi krisis dengan baik. Itu lebih menenangkan masyarakatnya. Ini ada problem apa, dia langsung merespons. Jadi komunikasi krisis harus memperhatikan dinamika di publik,” tandasnya.

Juni Pandemi Covid-19 Mereda dan Hidup Kembali Normal? Ini Kata Rudy Wali Kota Solo

Pandemi Covid-19 menjadi ancaman di seluruh negara di dunia yang harus diatasi dengan komunikasi dan langkah strategis. Itulah sebabnya pesan dalam komunikasi krisis semestinya disesuaikan dengan khalayak target. Jadi, pesan tersebut tidak bisa hanya disampaikan lewat media massa umum saja.

“Tidak semua orang mengakses media online, baca koran, mengakses diskusi, jadi itu perlu banyak saluran yang diaktifkan. Pesannya juga harusnya beda sesuai target. Harus ada yang berbicara dengan pas kepada masyarakat. Tapi yang terjadi semuanya dibikin sama yang malah memperkeruh krisis,” tutp Andre.

Dampak Krisis

Seperti diketahui, pandemi Covid-19 setidaknya menyebabkan dua krisis dasar yang bersinggungan, yakni di bidang kesehatan dan ekonomi. Retno Wulandari, General Manager The Sunan Hotel, yang menjadi narasumber di Webinar bertema Komunikasi di Tengah Pandemi mengatakan, bisnis pariwisata termasuk perhotelan di dalamnya menjadi yang paling awal tumbang.

Di tengah situasi darurat para pengusaha harus berpikir keras mengelola perusahaan agar tetap bertahan. Dalam hal ini mereka juga perlu melakukan komunikasi krisis dengan efektif agar mampu bertahan dan mengatasi segala dampak wabah virus corona.



Dampak Corona, 50.563 Buruh di Jateng Dirumahkan & Kena PHK

“Covid-19 ini setidaknya menimbulkan dua masalah, kesehatan dan ekonomi. Tiga sampai enam bulan sudah sangat cukup untuk membuat bisnis kolaps. Pariwisata sektor yang paling terdampak. Paling awal tumbang. Tapi di tengah situasi yang tidak pasti perusahaan harus menunjukkan empati untuk meningkatkan kepercayaan publik,” jelasnya.

RALAT: Judul berita ini telah disunting yang awalnya "Perhumas Solo: Indonesia Krisis Pemimpin di Tengah Pandemi Covid-19" menjadi "Perhumas Solo: Indonesia Krisis Komunikasi di Tengah Pandemi Covid-19. Terima kasih."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya