SOLOPOS.COM - Mantan Bupati Sragen Agus Fathur Rahman (tiga dari kiri) berfoto bersama para aktivitas Muhammadiyah di serambi Masjid Raya Al Falah Sragen, Jumat (31/3/2023) sore. (Istimewa/Ronny Megas Sukarno)

Solopos.com, SRAGEN — Ketika seluruh warga Kabuaten Sragen memiliki rasa dan cita-cita yang sama maka berpolitik itu tidak membutuhkan biaya mahal.

Penjelasan itu diungkapkan mantan Bupati Sragen Agus Fathur Rahman dalam sarasehan bertajuk Kalimatun Sawa’ yang dihelat di Serambi Masjid Raya Al Falah Sragen, Jumat (31/3/2023). Dalam sarasehan itu hadir seniman lukis asal Sumberlawang, Sragen, Fadjar Sutardi; dan Manager Area Lazismu Jawa Tengah, Ikhwanushoffa, sebagai narasumber.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Kata Kalimatun Sawa’ merupakan tema besar yang diangkat dalam pameran keris dan pameran lukis yang digelar di Serambi Masjid Raya Al Falah Sragen. Kata Kalimatun Sawa’ diambil dari Al-Qur’an dalam Surat Ali Imran ayat 64 yang berarti satu kata yang sama. Secara sederhana istilah kalimatun sawa’ itu adalah suatu titik temu di tengah perbedaan untuk menghindari perselisihan agar mencapai kemaslahatan bersama.

Agus berpendapat politik itu adiluhung. Dalam konteks Kalimatun Sawa’, kata dia, ketika orang berpolitik maka tidak lagi peduli posisinya di partai apa. Dia mengatakan Cak Nur melihat Pancasila menjadi Kalimantun Sawa’ di Indonesia.

“Dalam konteks politik di Sragen itu butuh kesamaan cita-cita tersebut. Sebanyak 208 desa/kelurahan ini perlu disamakan rasanya [berpolitik] bukan nyoblosnya. Rasa memiliki Sragen itu rasa berpolitik. Saya pernah membuat tulisan di dinding dalam pagar depan di kompleks Pemda Sragen sebenarnya berkaitan dengan rasa memiliki Sragen,” ujarnya.

Agus menyebut kalimat di Pemda itu berbunyi “Sragen Milik Kita, Berikan Terbaik Kepadanya.” Dia menjelaskan kalimat itu merupakan rasa bareng-bareng bergerak bersama-sama untuk Sragen. Dengan rasa berpolitik seperti itu, ujar dia, maka politik itu tidak mahal.

“Hari ini para pemilik uang itu munine mung kampanye nek ga duwe duit ojo dipilih [katanya hanya kampanye, kalau tidak punya uang jangan dipilih]. Nek arep do nyaleg, nek ora duwe duit, ga usah [kalau mau daftar sebagai caleg, kalau tidak punya uang, tidak usah],” katanya.

Dia menerangkan rasa memiliki Sragen itu bisa melahirkan daya inovasi dan kreasi yang matang dan mengkristal. Dia menyatakan hasilnya betul-betul dihormati dunia karena yang memberi pancaran itu adalah yang membuat jagat seisinya [Tuhan].

Agus mencontohkan Pangeran Diponegoro itu berani melawan Belanda karena rasanya dilatih dan ditempa situasi dan keadaan. Dia melanjutkan Aceh juga melawan penjajah itu diilhami dari Hikayat Perang Sabil. “Itu semua rasa, rasa bernegara, rasa berpolitik, rasa ber-Muhammadiyah, ras hidup, atau sanse of belonging yang tumbuh di mana-mana,” ujarnya.

Ikwanushoffa memaknai Kalimatun Sawa’ dengan cara mencari yang sama dan mencari titik yang sama itu bukan sesuatu yang mudah. Dia mengatakan awalnya keris itu dianggap syirik karena mereka tahunya teks dan mendapatkan informasi hanya sebelah.

Dia menerangkan keris itu mudah dipahami dengan membutuhkan supporting system, seperti halnya bekerja itu membutuhkan fasilitas. “Keris itu dulu bukan produk seni tetapi supporting sistem yang ada di rasa. Memahami lukisannya Mbah Tardi saja belum bisa apalagi merasakan keris. Seorang empu keris itu memiliki coding yang konsisten ketika membuat keris,” katanya.

Di Muhammadiyah, Fadjar Sutardi memaknai Kalimatun Sawa’ dengan cara mengajak warga Muhammadiyah untuk berdoa secara bersama-sama untuk pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya