SOLOPOS.COM - Ketua DPP LDII, Singgih Tri Sulistyono. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Singgih Tri Sulistyono, yang juga Ketua DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia atau LDII mengingatkan komunisme tidak selaras dengan bangsa Indonesia.

Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap memberontak pada 1965. Hal itu didasari ketidaksesuaian ajaran komunisme yang identik dengan ateisme, yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang sejak dulu sudah dikenal sebagai umat religius.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Walau sosialisme-komunisme juga memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan, menurutnya, tetap tidak selaras dengan karakter bangsa ini. Hal itu diungkapkan Singgih melalui siaran pers yang diterima Solopos.com, Jumat (30/9/2022).

Ketua DPP LDII itu menilai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 merupakan gejala dari perebutan pengaruh negara-negara adidaya, yaitu Blok Barat dan Blok Timur.

Blok Barat menganut paham kapitalisme, sedangkan Blok Timur menganut paham sosialis-komunis. Perang dingin itu ditandai dengan penanaman pengaruh di bekas-bekas negara jajahan. Mereka saling menanamkan ideologi ke negara lain.

Baca Juga: Plt Kapolresta Solo Temui Pengurus LDII, Bahas Radikalisme hingga Bullying

Lalu penancapan pengaruh politik dan ekonomi. Fenomena seperti Gerakan 30 S/PKI, menurut Singgih, tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara yang baru merdeka seperti Vietnam, Korea, Malaysia, Filipina, dan negara Amerika Latin.

Ketua LDII menjelaskan sosialisme dan komunisme sebagai ideologi global masuk Indonesia awal abad ke-20. Bahkan mereka memberontak ke Pemerintah Hindia-Belanda pada 1926.

Pemberontakan kala itu dilakukan lantaran Pemerintah Hindia-Belanda dianggap sebagai kelompok imperialis, kolonial, dan kapitalis, yang merupakan musuh bebuyutan. Namun pemberontakan kala itu berhasil dipadamkan oleh Hindia-Belanda.

Baca Juga: Pierre Tendean, Sosok Ajudan Tampan Korban G30S/PKI

Kapitalisme dan Liberalisme

Sementara itu, Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, dalam siaran pers yang sama, mengingatkan bahayanya radikalisasi dari sebuah ideologi. Termasuk ideologi atau paham kapitalisme dan liberalisme yang bisa mengarah kepada pemujaan hak asasi manusia.

Dia mencontohkan lahirnya gerakan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau LGBT, yang mengabaikan agama dan kearifan lokal. Untuk itu ia mengajak segenap elemen bangsa untuk selalu menyaring informasi dan ideologi yang berkembang di masyarakat.

“Radikalisme ideologi itu lah yang dikhawatirkan Bung Karno dulu. Jadi bukan hanya radikalisme agama, tapi juga radikalisme sekuler,” ungkap Chriswanto. Dia menjelaskan Perang Dingin telah selesai namun persoalan global belum berakhir.

Baca Juga: Sosok Moetiah Korban G30S/PKI Kebal Ditembak di Kuburan Massal Plumbon Semarang

Kemenangan kapitalisme dan liberalisme membuat mereka seolah tak mempunyai alat kontrol kekuasaan. Sehingga mereka terus mengeksplorasi negara berkembang dengan menyuntikkan budaya konsumerisme dengan berbagai produk kesenangan orang.

“Daya kritis [masyarakat] menjadi tumpul karena kapitalisme mendorong slogan kamu adalah yang kamu pakai. Jadi nilai manusia terletak pada bendawi, keunggulan manusia hanya diukur dari benda-benda mewah yang dimiliki. Kondisi ini mendorong ke arah budaya konsumerisme akut yang kerap mengabaikan aspek moralitas bangsa,” sambungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya