SOLOPOS.COM - Ilustrasi pesugihan. (Antaranews)

Solopos.com, WONOGIRI — Sejumlah orang meyakini di Wonogiri banyak ditemukan lokasi untuk mencari pesugihan. Di sisi lain, munculnya fenomena pesugihan dinilai erat hubungannya dengan kemiskinan.

Tokoh masyarakat Purwantoro, Marhaendi, mengatakan di daerahnya terdapat pesugihan yang ramai dikunjungi warga sejak setahun terakhir. Hal itu menyusul banyaknya Youtuber yang membuat konten tentang pesugihan di Makam Tembungboyo, Kelurahan/Kecamatan Purwantoro, Wonogiri.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Sayangnya, ada beberapa konten yang berisi ngawur. Misalnya, terkait uba rampe

“Di konten video itu ada yang menyebut uba rampen-ya ini dan itu. Padahal, dulu enggak ada semacam itu. Memang kalau makam ini sudah dikenal sebagai tempat pesugihan dari dulu, tapi syaratnya enggak banyak. Tapi sudah banyak orang yang percaya itu. Yang kasihan itu kalau ada orang yang benar-benar enggak punya uang, terus memaksa diri buat beli uba rampe-nya itu, kalau ditotal bisa sampai Rp500.000-an,” ujar Hendi kepada Solopos.com, Selasa (1/11/2022).

Dia mengatakan di Wonogiri sebenarnya tidak hanya Makam Tembungboyo yang menjadi tempat pesugihan. Ada beberapa tempat lain, seperti di Desa Bakalan, Kecamatan Purwantoro atau di Kecamatan Puhpelem, dan beberapa kecamatan lain.

Warga Kecamatan Slogohimo, Agus Tri Wibowo, juga mengungkapkan hal serupa. Ada beberapa tempat yang cukup dikenal sebagai tempat pesugihan. seperti di Jatipurno, Slogohimo, dan Tirtomoyo. Hal itu sudah banyak diketahui sejak lama.

Baca Juga: Ternyata, Banyak Orang Tertipu saat Mencari Pesugihan Kandang Bubrah Wonogiri

“Tidak hanya di Makam Tembungboyo. Di Wonogiri hal semacam itu banyak, tersebar di beberapa kecamatan,” kata Agus saat ditemui Solopos.com di Pasar Slogohimo.

Tidak diketahui pasti kapan tempat-tempat itu digunakan sebagai pesugihan. Namun, adanya tempat-tempat tersebut dinilai tidak lepas dari kondisi kemiskinan di Wonogiri kala itu.

Filolog Sastra Jawa, Renda Agusta, mengatakan ritus pesugihan baru dikenal pada era kolonial. Belum ada naskah atau bukti lain yang menyatakan bahwa pesugihan sudah ada sejak masa Jawa kuno.

Nama atau jenis pesugihan baru tercatat di naskah pada 1870-an, yakni di naskah Cariyos Purwalelana. Misalnya, pesugihan bulus Jimbung.

Menurut Rendra, narasi pesugihan baru ada setelah industriasi masuk ke Jawa pada masa kolonialisme. Masyarakat Jawa yang semula sangat agraris, bisa hidup hanya dengan apa yang ditanam.

Baca Juga: Cerita Pencari Pesugihan Kandang Bubrah Wonogiri, Bangun Rumah agar Tak Celaka

Tiba-tiba dipaksa menjadi masyarakat industrial dengan upah yang sangat minim. Akibatnya, terjadi gejolak sosial. Ekonomi masyarakat Jawa terhimpit.

Lantaran semakin terdesak dan tertekan secara material, akhirnya jalan spiritual dipilih sebagai pelariannya. Setidaknya jika di dunia material kalah, di dunia spiritual atau imajiner itu manusia Jawa bisa menang.

“Jadi pesugihan itu sangat berkaitan erat dengan kemiskinan. Maka wajar, di Wonogiri banyak ditemukan tempat-tempat pesugihan. Karena kita tahu, kemiskinan di Wonogiri cukup tinggi, apalagi dulu,” kata Rendra saat berbincang dengan Solopos.com di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Senin (7/11/2022).

Dia melanjutkan, di daerah yang subur dan cukup air jarang sekali ada tempat pesugihan. Masyarakat di tempat tersebut biasanya hanya melakukan kegiatan pemujaan yang bersifat komunal terhadap sesuatu yang dianggap Tuhan.

Hal itu seperti merdi desa. Pun jika ada tempat pesugihan di tempat seperti itu, biasanya dilakukan orang dari luar daerah.

Baca Juga: Tempat Pesugihan Kandang Bubrah di Wonogiri Sempat Bikin Warga Terbelah

Dia menjelaskan, kegiatan pesugihan semula hanya sebagai ritual pemujaan semata. Namun, paradigma itu berubah sejak kolonialisme datang dan membuat wacana bahwa hal itu merupakan pesugihan.

“Mengapa pesugihan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dapat sering dianggap aib? Karena orang yang melakukan itu dianggap menyimpang dari ajaran ajaran agama mayor. Dinilai menyekutukan Tuhan,” katanya.

Ditambah, lanjut Rendra, hal semacam itu bagi orang-orang yang berpikir saintifik, dinilai tidak logis, sangat primitif, dan terbelakang.

Padahal, kalau dilihat lebih dalam, orang-orang yang melakukan pesugihan itu merasa cukup logis. Mereka melakukan itu sama dengan orang-orang yang beragama. Hanya berbeda tempat dan sarana.

“Sama dengan orang yang beragama mayor, yang menyembah sesuatu yang imajiner. Mereka juga menyembah atau meminta sesuatu hal yang dianggap Tuhan. Imajinasi mereka bahwa kalau melakukan suatu ritus di tempat tertentu, maka keinginannya terkabul,” ucap Rendra.



Baca Juga: 6 Tempat di Soloraya yang Dipercaya Jadi Sarang Genderuwo, Hii Serem!

Hanya, orang Jawa tidak akrab dengan alam pikir logis. Orang Jawa sangat berpikir simbolis.

Maka orang-orang itu butuh material, kepercayaan sesuatu yang tampak, misalnya pohon. Oleh karena itu, sebenarnya mereka yang melakukan pesugihan karena efek psikologis saja.

“Setelah melakukan ritus pesugihan, mereka percaya hal itu akan terwujud. Lantaran percaya itu, mereka jadi semangat, giat, dan ubet bekerja. Dengan begitu, dia bisa dapat uang. Jadi, itu masalah psikologi saja. Bukan karena dia melakukan ritus pesugihan kemudian ada yang mengabulkan,” jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya