SOLOPOS.COM - Ilustrasi petani milenial (Freepik)

Solopos.com, SRAGEN — Pemerintah dinilai gagal dalam meregenerasi petani lantaran sebagian besar petani yang ada berumur di atas 40 tahun dan masih menggunakan sistem pertanian konvensional. Sementara sedikit sekali generasi muda yang mau bergerak di bidang pertanian karena terbatasnya lahan dan wawasan yang kurang.

Penjelasan itu diungkapkan Ketua Komisariat Daerah Duta Petani Milenial/Andalan Kabupaten Sragen, Perri Setiawan, Rabu (28/9/2022). Kegagalan pemerintah itu, menurutnya, bisa dilihat dari  tidak adanya generasi muda yang bergerak di bidang pertanian.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Dia menyarankan pemerintah semestinya memiliki konsep untuk menarik minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian.

“Misalnya, dengan mengenalkan pertanian yang canggih, modern, dan menguntungkan. Kemudian ada edukasi ke sekolah-sekolah tingkat SMA/SMK. Para siswa itu dikenalkan tentang pertanian sehingga mereka mengenal asyiknya pertanian itu,” ujar Perri.

Baca Juga: KTNA Sragen Sesalkan Lemahnya Perhatian Pemerintah untuk Petani

Ia mengungkapkan anggota Komisariat Daerah Duta Petani Milenial/Andalan Sragen saja hanya ada 21 orang. Ia dan teman-temannya sudah berupaya mengajak generasi muda untuk mau terjun ke sektor pertanian. Caranya dengan membuka wawasan mereka lewat Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S). Di P4S petani milenial mengembangkan smart farming dan integrated farming.

Perri mengatakan Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Sragen, sudah merintis adanya pola pertanian terintegrasi (integrated farming). Mereka mengintegrasikan pertanian dengan peternakan dan perikanan. Pertanian terintegrasi ini bisa menjadi solusi mahalnya pupuk.

“Pertanian terintegrasi itu merupakan pertanian dari jerami di sawah diolah menjadi pupuk dan kembali ke sawah, tanpa memasukan produk dari luar daerah masuk,” jelasnya.

Persepsi Sempit

Lebih jauh Perri menilai alasan generasi muda enggan membuat startup atau usaha rintisan agrikultur  karena persepsi yang belum terbuka tentang pertanian. Perseosi pertanian itu kotor, capai, dekil, dan hasilnya pas-pasang masih tertanam di benak kaum muda. Padahal peluang meraih cuan dari sektor ini, kata dia, terbuka lebar karena selama ada kehidupan maka membutuhkan pangan.

Baca Juga: Ditantang Bikin Startup oleh Presiden, Petani Muda Sukoharjo Butuh Akademisi

Perri menambahkan, daya tarik pertanian ada di sistem dan teknologi yang canggih sehingga bisa menekan biaya produksi. Pemanfaatan teknologi juga memperkecil risiko gagal panen.

“Semua sudah dihitung secara detail sehingga berbeda dengan sistem pertanian konvensioanl. Dulu sebelum pupuk kimia masuk, petani menggunakan organik penuh dan mereka tidak mau menggunakan pupuk kimia. Tetapi sekarang sebaliknya, petani sudah tergantung pada pupuk kimia,” jelasnya.

Kabid Ketahanan Pangan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan KP) Sragen, Sudadi, mengaku sudah melibatkan petani milenial dalam sejumlah kegiatan yang mereka adakan. Membuat generasi muda untuk terjun di sektor pertanian, menurutnya, membutuhkan waktu. Selain itu, butuh keterlibatan pemangku kepentingan yang lain, tak cuma Distan KP.

“Yang jelas data yang masuk ke Distan KP ada peningkatan jumlah petani milenial yang sekarang mencapai 300 orang dengan batasan usia maksimal 39 tahun. Mereka menyebar di hampir seluruh kecamatan,” katanya.

Baca Juga: Krisis Petani di Negeri Agraris

Alih fungsi tekonologi sebenarnya menjadi salah satu cara untuk menarik minat generasi muda ke pertanian. Dia mengatakan teknologi saja belum cukup tetapi harus ada jaminan harga pascapanen yang menarik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya