SOLOPOS.COM - Ketua KTNA Sragen, Suratno. (Istimewa/Dokumentasi Suratno)

Solopos.com, SRAGEN — Keberpihakan pemerintah kepada sektor pertanian pangan dinilai lemah di tengah krisis pangan global. Situasi itu membuat banyak kaum millenial yang enggan terjun berusaha di sektor pertanian. Padahal mereka bisa ikut mengembangkan sektor pertanian melalui sentuhan teknologi agrikultur atau agritech.

Situasi itu disesalkan Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno. Menurutnya, pemerintah sebenarnya sadar bila ke depan krisis pangan global akan mengancam berbagai aspek kehidupan manusia.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Namun, program-program yang digulirkan pemerintah seolah tidak berpihak kepada para petani. Pertumbuhan teknologi pertanian tidak mampu menjadi daya tarik bagi petani milenial untuk bergerak di bidang pertanian. Padahal sektor pangan menyangkut kedaulatan sebuah negara.

“Masalah keberpihakan pemerintah kepada petani ini lemah. Dalam hal mengatasi kondisi tanah yang jenuh dengan pupuk kimia, pemerintah justru menarik subsidi pupuk organik dengan adanya Permentan No. 10/2022,” jelas Suratno, Selasa (27/9/2022).

Baca Juga: Kuota BBM Bersubsidi di Sragen Tak Cukup Sampai Akhir Tahun

Setelah pupuk organik hilang dari daftar pupuk bersubsidi giliran pupuk bersubsidi lainnya ikut hilang, yakni ZA dan SP-36. Persoalan pupuk, kata dia, tidak sekadar anggaran yang dikurangi dan pupuk bersubsidi yang dibatasi. Tetapi kandungan pada pupuk bersubsidi pun dikurangi.

“Penggunakan pupuk ini sudah ada sejak 2013 silam dan sampai sekarang belum diubah. Itulah permasalahan hulu pertanian,” katanya.

Naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), kata Suratno, berdampak pada melambungnya harga pestisida. Suratno mendorong ada pengawasan ketat terhadap pestisida impor yang masuk ke Indonesia karena penggunaan pestisida berlebihan juga menganggu produksi pangan.

Lemahnya keberpihakan pemerintah kepada petani, jelas Suratno, juga ditunjukkan dengan tidak dinaikkannya  harga pembelian pemerintah (HPP) atas gabah kering panen (GKP) yang hanya Rp4.300/kg.

Baca Juga: KTNA Sragen Minta Harga Pembelian Pemerintah GKP Dinaikkan Jadi Rp6.000/kg

Rendahnya HPP ini juga disebut salah satu pertimbangan bagi petani milenial malas membuat sturtup agritech.

“Mestinya pemerintah berperan untuk menstabilkan harga padi tetapi kenyataannya harga itu justru dipermainkan oleh pasar. Pemerintah itu berkuasa untuk stabilitas harga. Pemerintah menggunting wewenang Bulog dalam pengendalian harga itu justru merugikan petani,” katanya.

Suratno juga menyoroti infrastruktur pertanian seperti irigasi, jalan usaha tani, dan lainnya yang juga kurang mendapatkan perhatian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya