SOLOPOS.COM - Kendaraan wisata berbasis listrik berjalan dengan pengawalan di Jl Jenderal Sudirman, Solo, beberapa waktu lalu. (Solopos/Nicolous Irawan)

Solopos.com Stories

Solopos.com, SOLO — Eksistensi sepur kelinci sebagai kendaraan wisata murah meriah belakangan ini menjadi sorotan menyusul peristiwa kecelakaan di Andong, Boyolali, yang mengakibatkan dua orang meninggal dunia, Rabu (11/5/2022) lalu.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Faktor keselamatan kendaraan yang secara regulasi sebenarnya ilegal itu pun diungkit kembali. Fenomena ini sekaligus menjadi refleksi bagi sejumlah kendaraan yang disediakan untuk pemenuhan fungsi pariwisata masyarakat. Terutama kebutuhan pariwisata dengan akses mudah dan murah bagi masyarakat pinggiran.

Di Kota Bengawan, sepur kelinci hampir tidak ada lagi di jalan-jalan umum. Kalaupun ada hanya di tempat wisata atau pusat keramaian, seperti di kawasan Manahan, Solo.

Di sisi lain, Kota Solo saat ini juga memiliki kendaraan wisata berbasis listrik yang secara konsep maupun fungsi tak beda jauh dengan sepur kelinci. Bahkan akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranoto yang juga pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, bahkan pernah menyebut kendaraan listrik wisata tak jauh berbeda dengan odong-odong atau sepur kelinci.

Nyatanya, kendaraan wisata bantuan dari Tahir Foundation yang beroperasi sejak awal 2022 itu sejauh ini mampu menarik minat wisatawan. Kepala UPT Transportasi Dinas Perhubungan (Dishub) Solo, Agus Purnomo, membeberkan setidaknya ada 100 penumpang kendaraan wisata berbasis listrik per harinya.

Baca Juga: Laka Kereta Kelinci Tak Pengaruhi Operasional Mobil Listrik Wisata di Solo

“Tiap harinya ada tiga track yang berangkat pukul 09.00 WIB, pukul 11.00 WIB dan pukul 14.00 WIB. Itu tiga kali pemberangkatan dan tiga rute itu rata-rata sehari 100 orang,” jelas Agus saat diwawancarai Solopos.com, Jumat (13/5/2022) malam.

Secara tampilan, sepur kelinci dan kendaraan wisata berbasis listrik sebenarnya berkonsep sama. Dua-duanya sebagai kendaraan terbuka pengangkut penumpang dengan fungsi pariwisata.

Sejumlah Penanda

Namun, Agus membeberkan sejumlah penanda atau ciri pembeda antara sepur kelinci dan kendaraan wisata berbasis listrik di Solo. Dalam literatur skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) tentang penegakan hukum kereta kelinci, penamaan kereta kelinci karena salah satu lokomotif kereta yang pernah ada dimodifikasi dengan bentuk menyerupai kepala kelinci.

Namun mungkin alasan yang lebih tepat adalah karena keretanya kecil, hanya menarik dua gerbong saja, serta dapat digunakan untuk melalui jalan-jalan kecil. Selain itu dapat berjalan secara lincah, sekalipun tidak meloncat-loncat seperti kelinci.

Baca Juga: Kereta Kelinci Dilarang di Jalan Raya, Ini Hukumannya yang Melanggar

Kedua, Agus mengatakan sepur kelinci biasanya merupakan kendaraan bermesin yang menggunakan bahan bakar. Dengan begitu, kereta kelinci jelas harus melalui uji kelayakan, bersurat tanda nomor kendaraan (STNK), dan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB).

Ketiga, sepur kelinci rata-rata merupakan hasil modifikasi dari kendaraan bermesin. Kendaraan dimodifikasi untuk memenuhi unsur estetika kendaraan. Selain itu, ada penambahan muatan penumpang. Satu kereta kelinci gandeng bisa menampung hingga 20 hingga 40 penumpang.

Keempat, pejabat Dishub Solo itu mengatakan sepur kelinci berani beroperasi hingga jalan raya. Padahal setiap modifikasi kendaraan bermotor tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas dan mengganggu arus lalu lintas.

Selain itu juga tidak boleh merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang dilalui. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (2) UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Baca Juga: Buntut Laka Sepur Kelinci Boyolali, Dishub-Polres Sukoharjo Lakukan Ini

Tidak Lolos Uji

Dalam UU yang sama, semua kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di jalan, wajib melakukan pengujian. Adapun pengujian meliputi uji tipe dan uji berkala oleh unit pelaksana uji tipe pemerintah.

“Gini, kalau kereta kelinci di mana pun ilegal. Dia enggak ada uji dalam arti enggak ada nomor rangka, kendaraan, STNK. Berarti dia enggak lolos uji. Rata-rata desain [modifikasi] ya, malah kadang pakai mesin diesel. Mengubah tipe itu kan harus izin enggak boleh sembarangan,” jelasnya.

Sedangkan beberapa ciri-ciri kendaraan wisata berbasis listrik, tegas Agus, bukan merupakan kendaraan bermesin yang menggunakan bahan bakar. Kedua, kendaraan wisata berbasis listrik menggunakan mesin dinamo sehingga bukan merupakan kategori kendaraan bermesin sebagaimana mobil.

Baca Juga: Objek Wisata Klaten Steril dari Kereta Kelinci di Akhir Pekan, Kenapa?

Meski kebanyakan orang salah kaprah menyebutnya dengan mobil listrik. “[Kendaraan listrik wisata] kan mengadopsi kendaraan golf. Itu kan enggak mesin tapi dinamo jadi mesinnya lain itu dibilang mobil juga enggak bisa. Karena itu konsepnya pakai dinamo jadi enggak bisa dikategorikan mobil,” jelas Agus.

Ketiga, kecepatan maksimal kendaraan wisata berbasis listrik hanya 30 km per jam sehingga lebih aman. Berbeda dengan kereta kelinci, kendaraan wisata berbasis listrik tidak boleh dioperasikan selain di rute dan jadwal yang telah ditentukan. Agus juga menambahkan penumpang anak-anak pada kendaraan wisata berbasis listrik juga wajib didampingi orang tua.

“Kami kan jadwalnya cuma di kota-kota, itu tidak bisa melintas di luar jalur [yang tertera] di SK. Jadi tidak akan melenceng ke rute lain. Rute sudah disurvei untuk kenyamanan dan risiko kecil sekali. Tidak ada tikungan tajam, tidak ada turunan. Besok evaluasi, insya Allah aman,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya