SOLOPOS.COM - Ilustrasi aborsi. (Freepik.com)

Solopos.com, SEMARANG — Cerita pilu dialami dua perempuan muda di Jawa Tengah (Jateng) yang dipaksa menggugurkan janin dalam kandungannya atau aborsi. Bahkan, salah satu kasus aborsi itu dialami korban setelah dipaksa pasangan dan orang tua.

Hal tersebut diungkapkan seorang staf Divisi Bantuan Hukum Lembaga Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), Nia Lishayati, kepada wartawan di Semarang, Rabu (16/11/2022). Nia menyebut kasus pertama pemaksaan aborsi dilakukan pasangan korban dibantu kedua orang tua korban. Sedangkan pada kasus kedua, pemaksaan aborsi dilakukan pacara korban.

Promosi Waspada Penipuan Online, Simak Tips Aman Bertransaksi Perbankan saat Lebaran

“Jadi dua kasus aborsi itu menimpa korban dari luar Kota Semarang. Umur korban di atas 20 tahun,” jelasnya.

Nia menjelaskan kasus pertama pemaksaan aborsi dilakukan dengan cara memberikan jamu untuk menggugurkan kandungan kepada korban. Meski demikian, korban tidak mengetahui jika jamu yang diminum itu untuk menggugurkan janin.

Pemberian jamu itu atas permintaan pelakku yang berjanji kepada orang tua korban akan menikahi korban dengan syarat korban harus lulus kuliah lebih dulu. “Itu [janji] bisa saja modus. Siapa yang menjamin? Apakah pelaku akan berkomitmen dengan janjinya? Kalau pun menikah korban bisa rentan jadi korban KDRT,” jelas Nia.

Baca juga: 45 Perempuan di Jateng Jadi Korban KDRT, Paling Banyak dari Semarang

Nia pun menegaskan pelaku kasus pertama bisa dijerat pasal kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Sebab, tak hanya mengancam akan menyebarkan video dan foto korban, namun juga mendatangi indekos korban dan mengambil sejumlah dokumen pribadi.

“Untuk kasus pemaksaan aborsi korban belum siap. Maka kami fokus ke KBGO,” pungkas dia.

Depresi

Kendati fokus KBFO, selang beberapa hari korban tidak mau melanjutkan pengaduan kasus dan memilih menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.

Sementara itu, pada kasus kedua, korban diberikan pil untuk menggugurkan kandungan tapi dimuntahkan. Kemudian, pelaku membawa korban ke suatu tempat yang ternyataa sudah dipersiakan tenaga kesehatan untuk melakukan aborsi.

Baca juga: Waduh! Mahasiswi di Semarang Jadi Budak Berahi Dosen Selama 1 Tahun

“Korban sudah melaporkan kejadian itu kepada kami, kondisinya depresi berat,” jelas dia.

Pihaknya kini masih fokus melakukan konseling untuk memulihkan psikologi korban. Korban harus melakukan terapi selama minimal sembilan bulan dan saat ini sudah berjalan selama tiga bulan.

“Korban kedua sedang kami proses untuk lanjut ke ranah hukum,” sambung dia.

Nia menambahkan, penanganan kasus aborsi memiliki tantangan tersendiri. Hal itu dikarenakan payung hukum kasus tersebut belum sepenuhnya berpihak kepada korban.

“Kendala di lapangan proses hukum lumayan susah, effort luar biasa. Payung hukum belum sepenuhnya melindungi para korban sehingga masih banyak pekerjaan rumah soal kasus ini,” imbuh dia.

Sekadar informasi, pemaksaan aborsi tidak masuk ke dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ( UU TPKS). Padahal, aborsi termasuk ke dalam kekerasan seksual.

Nia pun mengimbau kepada korban pemaksaan aborsi untuk tidak segan melapor. Pihak LRC-KJHAM siap memberikan bantuan dan menampung segala aduan secara online melalui Instagram maupun email di lrc_kjham2004@yahoo.com.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya