SOLOPOS.COM - Anas Urbaningrum (Dok/JIBI/Solopos/Antara)

Solopos.com, JAKARTA– Perjalanan panjang proses hukum terdakwa Anas Urbaningrum berakhir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan vonis 8 tahun penjara ?dan denda sebesar Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan penjara akibat perbuatannya yang telah menerima gratifikasi serta melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada saat menjadi anggota DPR RI dari fraksi Partai Demokrat.

Selain itu, Anas juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang telah dilakukannya sebesar Rp57, 5 miliar, tepatnya Rp57.590.330.580 ? dan 5.261.70 dolar Amerika Serikat.

Promosi Jaga Keandalan Transaksi Nasabah, BRI Raih ISO 2230:2019 BCMS

Kemudian, apabila uang pengganti tersebut tidak dibayarkan dalam tempo waktu satu bulan setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, maka seluruh harta An?as akan disita oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Jika kurang, maka akan diganti dengan pidana penjara selama dua tahun.

“Dengan ketentuan, apabila tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan setelah putusan ini memperoleh putusan hukum tetap, maka hartanya akan disita oleh Jaksa Penuntut Umum,” tutur Ketua Majelis Hakim Tipikor, Haswandi saat membacakan putusan Anas di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (24/9/2014).

Putusan Majelis Hakim Tipikor tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK sebelumnya yang menuntut Anas dengan pidana penjara 15 tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsider 5 bulan kurungan penjara.

Pasal Berlapis
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 64 ayat 1 KUHPidana. Anas juga diyakini secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 ?Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP dan Pasal 3 Ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pembacaan putusan terhadap terdakwa Anas pun sempat diwarnai perbedaan pendapat (disenting opinion) oleh dua anggota hakim dari lima Hakim ?Majelis soal TPPU yang dilakukan Anas.

Anggota Majelis Hakim Tipikor, Slamet Subagyo menuturkan bahwa pihaknya tidak sependapat dengan dakwaan kedua dan ketiga tentang terhadap Anas tentang TPPU.

“Setuju putusan akhir bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi tapi berbeda pendapat pada dakwaan kedua dan ketiga (tindak pidana pencucian uang),” kata Slemet.

Menurut Slamet, seharusnya JPU KPK melakukan pembuktian terlebih dahulu terhadap tindak pidana asal (predicate crime) yang dilakukan Anas. Baru menetapkan TPPU.

“Seperti komentar ahli Edward Hiariej. Dimana kejahatan asal harus dibuktikan terlebih dahulu atau setidaknya harus dibuktikan bersamaan,” tutur Slamet.

Selain Slamet, Anggota Majelis Hakim Tipikor, Joko Subagyo juga berbeda pendapat dalam hal TPPU yang dilakukan Anas. Menurutnya, dalam dakwaan kedua tidak ada pengaturan khusus JPU KPK yang menuntut TPPU.

“Tidak diatur ketentuan khusus siapa yang berwenang,” tutur Joko.

Tantang Sumpah
Terdakwa Anas Urbaningrum sendiri sempat merasa bahwa putusan dari Majelis Hakim Tipikor tersebut tidak adil. Karena menurut Anas, putusan tersebut tidak sesuai dengan fakta-fakta persidangan yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan selama proses pemeriksaan saksi-saksi yang ada.

Karena itu, Anas menantang JPU KPK dan Majelis Hakim Tipikor untuk melakukan sumpah mubahalah di akhir putusannya, untuk menentukan siapa yang benar.

Sumpah muhabalah yang berarti sumpah kutukan untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Menurut Anas, siapapun yang bersalah nanti jika melakukan sumpah mubahalah maka akan mendapatkan kutukan dari Tuhan. Termasuk JPU KPK dan Majelis Hakim Tipikor.

“Mohon izin, saya meyakini substansi tentang pembelaan saya sebagai terdakwa. Tentu JPU punya keyakinan di dalam menulis dan menyampaikan dakwaan dan tuntutan. Majelis pasti memiliki keyakinan. Saya sebagai terdakwa yakin, majelis hakim di forum yang terhormat ini dapat melakukan mubahalah,” tegas Anas.

Pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Muzakir menilai bahwa sumpah muhabalah ?tidak relevan jika digunakan untuk saat ini. Karena dalam hukum di Indonesia, menurut Muzakir sumpah yang sebenarnya sudah diatur adalah sumpah pada saat diberikan di pengadilan dengan memberikan keterangan sebenar-benarnya.

“Karena tidak relevan, karena tidak ada aturan hukum yang mengatur itu. Sumpahnya sudah diatur hanya memberikan keterangan dengan sebenarnya-benarnya saja,” tutur Muzakir kepada Bisnis.

Kendati demikian, Muzakir menilai bahwa pernyataan Anas untuk sumpah muhabalah merupakan fenomena baru. Pasalnya, sumpah muhabalah tersebut adalah sumpah menurut keyakinan untuk mencari kebenaran yang hakiki. Sehingga terdakwa tidak merasa dirugikan atas putusan majelis hakim Tipikor.

“Ini namanya moral hukum, kalau orang itu bener sumpah apapun dia pasti mau. Kalau merasa salah, pasti sumpah apapun dia tidak akan berani. Satu ketajaman yang luar biasa untuk menemukan keadilan yang hakiki, walaupun itu tidak diatur, tapi bisa mengikat secara moral,” tukasnya.?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya