Solopos.com, JENEWA — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Jumat memperingatkan negara-negara untuk tidak terburu-buru menerapkan pembatasan perjalanan setelah varian baru virus corona B11529 ditemukan.
WHO mengatakan bahwa mereka harus mengambil pendekatan berbasis risiko dan sains.
Promosi Jaga Keandalan Transaksi Nasabah, BRI Raih ISO 2230:2019 BCMS
“Pada titik ini, pembatasan perjalanan harus dilakukan hati-hati,” kata juru bicara WHO Christian Lindmeier pada konferensi pers PBB di Jenewa seperti dilansir Antaranews, Jumat (26/11/2021).
“WHO mengimbau agar negara-negara tetap menerapkan pendekatan berbasis risiko dan sains ketika menerapkan langkah-langkah pembatasan perjalanan,” imbuhnya.
Baca Juga: Presidensi G20 Indonesia Siap Akselerasi Transisi Ekonomi Rendah Karbon
WHO pada Jumat menggelar pertemuan para ahli untuk mengevaluasi status varian baru tersebut dan akan membagikan pedoman lebih lanjut tentang tindakan yang dapat diambil negara-negara, kata dia.
Dia menambahkan, diperlukan waktu beberapa pekan untuk memahami dampak varian baru tersebut.
Para peneliti, kata Lindmeier, sedang bekerja untuk menentukan seberapa cepat penularannya dan bagaimana varian itu akan memengaruhi pengobatan dan vaksin Covid-19.
Sebelumnya, varian terparah Covid-19, yakni B.1.1.529, muncul di Afrika Selatan. Dikatakan terparah karena varian Covid-19 ini sangatlah termutasi. Banyak anak sekolah terpapar varian ini.
Baca Juga: 54 Orang Meninggal dalam Ledakan Tambang di Siberia, Putin Ikut Berduka
Dilaporkan BBC, Jumat, varian ini baru ditemukan di satu provinsi di Afrika Selatan, namun ada kemungkinan sebetulnya sudah tersebar.
Berdasarkan sistem WHO, varian ini kemungkinan akan diberi nama varian Nu. Pakar kesehatan dari Afsel, Prof. Tulio de Oliveira, menyebut ada “konstelasi mutasi yang tak biasa” pada varian ini.
Pada bagian receptor binding, bagian virus yang pertama kali menyentuh sel tubuh manusia, varian ini memiliki 10 mutasi. Sementara, varian Delta hanya punya dua.
“Varian ini mengejutkan kita, ini memiiki lompatan evolusi yang tinggi, banyak lagi mutasi yang kita perkirakan,” ujar Prof. de Oliveira yang menjabat sebagai direktur Center for Epidemic Response and Innovation di Afsel.