SOLOPOS.COM - Faris Wibisono membuat kertas daluang sebagai bahan membuat wayang beber di Balai Pasunggingan, Dusun Sumberalit, Desa Sedayu, Kabupaten Wonogiri, Rabu (20/7/2022). Faris menanam sendiri pohon daluang di desanya. (Solopos.com/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Ingar bingar dan panggung di kota tidak membuat Faris Wibisono, 29, seorang perupa sekaligus dalang wayang beber kepincut tinggal di kota, seperti Solo, Yogyakarta, dan Bali. Sebagai seniman, ketiga kota itu bisa menjadi lahan basah untuknya mencari pundi-pundi uang.

Berbagai tawaran pekerjaan pun tak bikin ia menetap di Solo, kota tempat ia berkuliah seni rupa. Bahkan tawaran menjadi dosen di perguruan tinggi negeri ia tampik.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Ia justru memutuskan kembali ke kampung kelahiran di Dusun Sumberalit, Desa Sedayu, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri.

Hal itu tak lain karena dia rindu pada kampung halaman. Hal yang tak kalah penting, Faris berambisi membangun desa dengan membuat kelompok-kelompok kreatif di desanya.

Ia ingin orang desa tak kalah bersaing dengan orang kota, terutama soal cara berpikir. Pun dia tak mau orang-orang di desa tergerus dengan roda perubahan zaman.

Baca Juga: UMF 2022, Beri Memori Kolektif Desa di Wonogiri

“Di kota, saya bisa mengobrol apa saja dengan siapa saja. Semua nyambung. Nah saya ingin menciptakan ekosistem desa yang setidaknya tidak latah atau gagap pada perkembangan zaman (teknologi). Goal-nya, meningkatkan taraf hidup manusia desa baik secara ekonomi maupun sosial,” kata Faris saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (20/7/2022).

Faris menceritakan, sebelum dia kembali ke desa pada 2015. Dia sempat mencicipi panggung-panggung kebudayaan di Bali.

Hidup penuh kesenangan bersama orang-orang dari mencanegara pernah ia lakoni selama lebih kurang dua tahun.

Namun ia tak ingin berlama-lama hidup dalam kenyamanan. Menurutnya, hal itu merupakan jebakan. Terlebih baginya yang saat itu masih sangat muda.

Baca Juga: Umbul Mungkret Festival 2022, Upaya Lestarikan Desa di Wonogiri

“Saya tidak ingin hidup yang seperti itu terus [senang-senang] tapi tiba-tiba menjadi tua. Saya tidak suka zona nyaman. Bagi saya itu jebakan. Makanya saya kembali ke desa. Meninggalkan kenyamanan saya di sana, meninggalkan panggung saya di sana. Sederhana, saya ingin menikmati setiap detik saya di kampung. Sebelum masa itu benar-benar datang,” jelas Faris.

Hal itu Faris lakukan bukan tanpa alasan. Faris tahu cepat atau lambat, kampungnya yang berada di Wonogiri Selatan akan berubah seiring dengan industrialisasi yang mulai merasuk di daerah setempat.

Atas nama pembangunan, berbagai pabrik akan berdiri di kampung kelahirannya, yaitu di Pracimantoro. Dia sadar betul laju perubahan itu tak bisa ditolak dan tak bisa dibendung. Betapapun ia dan mungkin sebagian masyarakat tak menerimanya.

Kepulangan Faris di tanah kelahiran dalam rangka menyiapkan masyarakat yang siap menghadapi perubahan zaman. Ia tidak ingin orang-orang di desa menjadi tamu di kampung halaman sendiri.

Baca Juga: Ada 900 Kelompok Kesenian di Wonogiri, Eksistensi Jadi Kendala?

“Saya dan teman-teman bikin Umbul Mungkret festival (UMF) 2022 ini sebenarnya dalam rangka itu. Saya tidak peduli, apakah acara ini ada yang nonton atau tidak [UMF digelar di balai dusun Pasunggingan]. Selama warga desa itu terlibat di sini, menjadi subjek di acaranya sendiri, saya sudah sangat senang,” kata dia.

Faris mengakui tidak mudah menjalani hidup dengan meninggalkan zona aman. Tetapi itulah yang membuat dirinya hidup.

Ibarat orang berjalan, Faris memilih berjalan di jalan sunyi. Tak ada lagi panggung, tak ada sorotan untuknya.

Dia sama sekali tidak mendapatkan uang dan memang tidak mencari uang di desa. Baginya, hal itu adalah kerja kemanusiaan.

Baca Juga: Eksistensi Kesenian Kethek Ogleng dan Badutan Mulai Punah Di Wonogiri

Kendati begitu, Faris dengan tegas mengatakan bahwa ia senang menjalani hidup yang demikian. Sejak 2011, Faris sudah memberdayakan anak-anak muda di desa untuk berkelompok atau berorganisasi.

“Mereka saya ajari dari dasar banget, seperti cara berdiskusi, membuat proposal, bahkan cara ngomong. Mungkin bagi orang luar di sana itu sepele dan remeh. Tapi itulah kenyataannya,” beber pria lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo itu.

Tetapi Faris tidak naif. Ia tetap membutuhkan uang untuk menghidupi keluarga. Selama ini, ia bekerja sebagai desainer digital.



Karya-karyanya tak hanya ia goreskan pada kertas daluang wayang beber. Melainkan pada media-media dengan tetap membawa wayang sebagai tema utama.

Baca Juga: KSGK dan Upaya Membumikan Sastra di Wonogiri

Berbagai kerja sama dengan instansi pemerintah dan swasta kerap ia lakoni. Baik skala lokal maupun nasional.

“Pemberdayaan masyarakat di desa bagi saya bukan ruang saya mencari uang. Begitupun wayang beber. Bagi saya hanya sebagai hobi. Saya tidak mencari uang di sana. Tetapi saya akan terus melestarikan. Saya dan teman-teman bahkan menggelar pertunjukan wayang beber gratis ke desa-desa. Cerita yang kami angkat pun biasanya tentang persoalan yang sedang dihadapi desa yang kami kunjungi itu,” ucap dia.

Menurutnya, hal yang ia lakukan tidak bisa berbuah instan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melihat hasil yang ia bangun. Faris tidak tau sampai kapan ia akan melakukan itu. Yang jelas dia akan terus meregenerasi dan menciptakan pemuda yang mencintai desa.

“Biarlah nanti mereka sekolah, kuliah, dan mungkin bekerja. Tapi besar harapan, mereka akan kembali, membangun desa. Ini bagian dari membentuk memori kolektif untuk mereka terhadap desa,” kata dia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya