SOLOPOS.COM - Ilustrasi/dok

Ilustrasi/dok

Kisruh asosiasi sepak bola yang tak berkesudahan prestasi timnas yang melempen serta hingar bingar siaran langung pertandingan mancanegara di stasiun televisi menjadi ironi yang menyakitkan. Kita ini, sebagai pecinta si kulit bundar, mau kemana?

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Bila mendengarkan sejenak keluh kesah para penggila bola, sebenarnya tak muluk harapan yang digantungkan, memiliki sebuah tim nasional yang kuat kendati tak harus menjadi juara dunia. Ekspektasi menjadi kampiun level Asia Tenggara, sudah membuat penggemar bangga.

Sebab, dari kegalauan dan apatisme terhadap tim nasional, hasrat para pecinta bola tersebut sebenarnya terpenuhi oleh pertandingan cantik oleh liga sepakbola yang digelar di Eropa. Sebagian besar stasiun televisi, menangkap peluang bisnis dari kegilaan terhadap sepakbola dan mengemaskan dalam pertunjukan yang menguntungkan secara bisnis.

Bahkan sebuah bank milik pemerintah, berani mengundang klub kaya asal Inggris Chelsea, ke Indonesia Juli nanti. Ini dilakukan  menyusul sukses bisnis mereka dalam meraih 60.000 lebih member kartu kredit khusus penggemar Chelsea.

Kenyataan tersebut sebenarnya cukup menjelaskan, betapa sepakbola adalah sebuah industri komersial bila dikemas dengan apik. Namun, apa hendak dikata, kita hidup pada sebuah negara, di mana para pengurus sepakbolanya sibuk dengan pertengkaran soal siapa yang harus mengelola asosiasi, tetapi mengabaikan apa itu fitrah sebuah cabang olahraga; prestasi.

Sebagai sebuah negara besar, dengan talenta-talenta pemain bola yang berserak di pelosok negeri, kita patut malu dengan negeri sekecil Singapura –misalnya. Di atas kertas, Indonesia punya potensi sangat besar untuk memilih sebelas pemain hebat yang menjadi tulang punggung tim nasional.

Barangkali, harapan itu sudah lama dimatikan oleh penggemar bola di Tanah Air. Untuk apa pusing dengan orang asosiasi sepak bola yang berantem, lebih baik menyaksikan gocekan indah Lionel Messi di tim Barcelona, atau turut merasakan rivalitas duo Manchester –United dan City di Liga Inggris.

Para penggemar bola boleh apatis, tetapi harapan sebenarnya tak boleh padam. Itulah sebabnya, ketika Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo mampu mempertemukan kubu yang bertikai yakni Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) dan menyatakan kongres di gelar bulan depan,  kita boleh menyemai mimpi.

Solusi permanen tetap harus diperjuangkan. Kerusakan sepakbola yang terjadi saat ini semestinya segera berakhir. Sikap keras kepala dari kedua kubu mestinya telah dikubur dalam-dalam agar  karut marut ini berakhir.

Sangat jelas,  sebuah rekonsiliasi tidak mudah, mengingat sekarang ada dualisme kompetisi, banyak gaji pemain belum dibayar, bahkan ada tim yang hendak bangkrut. Belum lagi oleh sikap diantara pengurus yang bertolak belakang.

Kongres PSSI Maret, kendati bukan jaminan problem sepak bola tuntas, tetapi hendaklah menjadi langkah awal untuk membangun sepakbola yang lebih bermartabat. Jika itu terjadi, maka prestasi yang didambakan akan mengikuti, bukan stagnan di titik nol seperti sekarang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya