SOLOPOS.COM - Manager Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat, Spek-HAM Solo, Fitri Haryani (Istimewa/ Spek-HAM)

Solopos.com, SUKOHARJO — Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spek-HAM) Solo mengkritisi penegakan hukum dugaan kasus bapak hamili anak kandung di Sukoharjo, Jawa Tengah.

Kasus bapak hamili anak kandung tersebut telah dilaporkan ke polisi sejak 3 Agustus 2021 namun hingga kini belum ada penetapan tersangka.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

SPEK-HAM menilai hukuman yang diberikan pada terduga pelaku yang merupakan ayah kandungnya seharusnya lebih berat dibandingkan kasus percabulan pada umumnya.

Seperti diketahui seorang notaris dilaporkan ke Polres Sukoharjo atas tuduhan menghamili anak kandungnya.

Kekerasan seksual yang dilakukan terduga pelaku terjadi pada tahun 2016 saat korban berinisial G masih berumur 14 tahun.

Korban yang kini berusia 21 tahun masih mengalami trauma mendalam atas dugaan perbuatan bejat ayah kandungnya, S, 58.

“Perbuatan orang tua tersebut merupakan kejahatan kemanusiaan dan bagian pelanggaran UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga. Hukumannya semestinya lebih dari hukuman dari bukan orang terdekat atau ada pertalian darah,” jelas Manager Divisi Pencegahan Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat, Spek-HAM Solo, Fitri Haryani saat dihubungi Solopos.com, Rabu (17/5/2023).

Menurutnya secara relasi terlihat jelas adanya ketimpangan antara anak dan orang tua, apalagi kasus dugaan percabulan terjadi pada usia anak.

Menurutnya sebagai orang dewasa rasa takut akan dialami korban ketika perbuatan asusila tersebut diterima, apalagi jika kejadian tersebut terjadi saat korban masih anak-anak.

Ketakutan atas kemungkinan diusir, tidak memiliki tempat tinggal serta tidak diberi makan atau disekolahkan, bahkan ancaman pembunuhan menurutnya mungkin terjadi jika korban menceritakan kejadian tersebut pada orang lain.

Ia menilai semestinya prespektif aparat penegak hukum, dalam hal ini pihak kepolisian yang dirasa sebagai tempat awal untuk melakukan pengaduan ataupun mencari keadilan lebih kooperatif dan melakukan proses penyelidikan lebih cepat sejak pelaporan.

Setidaknya waktu ideal menurutnya 30 hari setelah pelaporan, sesuai dengan UU Sistem Peradilan Anak.

Apalagi kasus pencabulan tersebut melibatkan antara orang tua dan anak.

“Perlindungan sebagai korban dan juga saksi semesta bisa di berikan lewat kepolisian mengajukan permohonan pada LPSK untuk perlindungannya. Jika prespektif ini tidak ada maka kasus akan berlangsung lama atau justru bisa jadi didamaikan,” ungkap Fitri.

Menurutnya dengan adanya seorang anak yang dilahirkan dari dugaan perbuatan bejat tersebut memudahkan aparat kepolisian mengusut kasus tersebut.

Hal itu dengan melakukan tes DNA pada anak sebagai proses pembuktian.

Sementara jika ada unsur lain, misalnya ancaman hingga pemaksaan yang dianggap sebagai bukti yang kurang, semestinya bukti untuk memenuhi unsur tersebut sudah terlampaui.

Apalagi menurutnya jika memakai UU TPKS, korban adalah saksi, dan sah jika hanya dengan satu bukti tambahan misalnya dengan hasil tes DNA.

Menurutnya lamanya proses penetapan tersangka bukan berkaitan dengan aturan penegakan hukum melainkan komitmen aparat penegak hukum.

Ia menambahkan banyak pihak yang bisa diajak bekerja sama untuk melakukan penegakan hukum seperti pengacara hingga kejaksaan pidana khusus.

Bahkan jika kepolisian menemui kendala dalam menyelesaikan kasus tersebut, menurutnya bisa melakukan gelar perkara dan mengajak aparat penegak hukum lainnya, seperti dinas perlindungan anak, lembaga layanan yang melakukan penanganan kasus, hingga akademisi untuk mendiskusikan kasus.

“Jangan sampai kesannya kepolisian bekerja melakukan penyelesaian kasus karena desakan dari media,” tegas Fitri.

Ia juga menilai ada beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi dampak trauma bagi korban.

Hal tersebut bisa dilakukan dengan pendampingan dari psikolog untuk melakukan pemulihan secara psikologis.



Selain itu menciptakan lingkungan sekitar yang kondusif kondusif seperti tidak mengungkit-ungkit cerita, atau bertanya soal kasus bapak hamili anak kandung tersebut secara berulang kali.

Hal itu untuk memastikan agar tidak memunculkan dampak trauma kembali pada korban.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya