SOLOPOS.COM - ilustrasi Cerpen Setelah Sepuluh tahun (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Sekitar satu jam setelah matahari tenggelam, Leksi menghentikan laju sepedanya. Dia berdiri di tepi sungai besar yang hampir tiap hari dilaluinya.

Sebelumnya, dia tidak pernah berhenti, bahkan sekadar menoleh pun tidak. Kali ini dia tidak hanya berhenti, tapi matanya meneliti sungai beraliran tenang yang membiaskan bayangan bulan.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Dinikmatinya semilir angin dan suara air mengalir yang membuat pikirannya tenang. Tidak buruk juga menunggunya di sini, pikirnya dalam hati.
Namun, pikiran itu tidak bertahan lama karena orang yang ditunggunya tidak datang pada waktu yang dijanjikan. Telah lebih dua puluh menit orang yang ditunggunya terlambat. Leksi mulai kesal.

Tidak nyaman juga berdiri di tepian sungai malam-malam dengan baju yang basah oleh keringat. Apalagi pada saat musim kemarau seperti sekarang, malam terasa jauh lebih dingin. Leksi takut masuk angin.

Tiba-tiba perutnya berbunyi. Dingin membuat lapar datang lebih cepat. Memang biasanya jam segini dia telah tiba di rumah lalu mandi, makan, dan bersantai-santai menikmati malam. Terlintas keinginan untuk pulang dan melepas janji pertemuan yang meski selalu diharapkannya selalu juga dihindarinya.

Bodoh betul, kenapa bisa aku berpikir untuk bertemu dengannya lagi?

Leksi langsung mengayuh sepedanya. Namun, belum sampai seratus meter sebuah mobil memotong jalannya. Leksi mengerem dan langsung memaki pengendaranya. Kaca jendela mobil diturunkan dan seseorang berkata, “Kau masih saja seperti dulu—pemarah dan tidak sabaran. Dasar darah panas.”

Leksi memandang wajah yang menyembul dari jendela. Rambut wanita itu lebih pendek dari yang pernah diingatnya. Kini,wanita itu menggunakan kacamata. Lain dari itu, tidak banyak yang berubah darinya. Kecuali mungkin dia tambah cantik.

“Kamu terlambat,” kata Leksi.

“Hanya dua puluh menit,” kata wanita itu.

“Ti-ga-pu-luh-me-nit,” kata Leksi separuh mengeja.

“Jangan berlebihan. Belum sampai tiga puluh menit. Kamu seperti tidak tahu saja bagaimana macetnya kota ini.”

Tidak salah apa yang dikatakan Melisa, memang belum sampai tiga puluh menit. Tetapi, Leksi telah menunggu lebih lama dari itu.

“Jadi tidak ini? Kalau tidak aku pulang,” kata Leksi.

“Sebentar. Kita cari tempat yang lebih baik, tidak baik bicara bisnis di jalan seperti ini.”

Bukannya kamu yang minta!

Leksi menoleh ke kiri dan kanan, matanya mencari-cari tempat yang dianggapnya cukup luas untuk memarkir mobil. Jalanan ini tidak terlalu lebar dan jika mobil diparkir di pinggir jalan maka akan menganggu kendaraan yang lewat.

Setelah mengamati sekitar, ternyata tidak ada satu pun tempat yang pantas. Kemudian dia teringat sekitar empat ratus meter dari situ ada sebuah tanah lapang. Tanah lapang di pinggir sungai itu adalah tempat anak-anak dan remaja setempat bermain bola pada sore hari sampai matahari terbenam.

“Ikut aku,” kata Leksi. Setelah itu dia mengayuh sepedanya dan wanita tersebut mengikutinya dengan mobil di belakang.

“Sebenarnya kamu tidak perlu langsung menemuiku kan, Mel? Kalau hanya untuk membicarakan kontrak itu, masih bisa di lain waktu dan…” Leksi mengambil jeda, “Pastinya tidak di tempat seperti ini.”

“Tak bisakah kau menungguku keluar dari mobil dulu,” kata Melisa. “Aku tidak akan memaksa memotong jalur bersepedamu jika kamu mau bertemu di kafe atau di tempat-tempat orang normalnya bertemu.Tapi kamu selalu menghindar.”

Keluar dari mobil, Melisa membawa dua kotak nasi. “Aku tahu kamu pasti lapar,” kata Melisa seraya menyerahkan satu kotak untuk Leksi. “Kita makan dulu. Dan maaf karena aku mengganggu jadwal bersepedamu.”

Leksi terhenyak. Dia terhenyak bukan karena Melisa dengan pekanya membawakan dia makanan di saat perutnya lapar—Melisa memang selalu peka—melainkan karena mendengar wanita itu meminta maaf.

Baca Juga: Delapan Keinginan

Melisa tidak pernah meminta maaf. Setahu Leksi begitu. Bahkan setelah sepuluh tahun berlalu sejak dia meninggalkan Leksi tanpa penjelasan sedikit pun, Melisa sama sekali tidak pernah menyebut kata maaf.

Belum lama ini Melisa menghubungi Leksi dan memintanya menerbitkan novel terbarunya di penerbitan yang dia kelola. Perusahaan penerbitan itu dibangun Melisa bersama beberapa kawannya ini berkembang pesat dan telah sukses mengorbitkan beberapa nama penulis baru. Karena itu, Melisa yakin akan bisa mengajak Leksi—penulis yang sedang naik daun dan banyak dibicarakan akhir-akhir ini—untuk menerbitkan novel terbarunya di penerbitan yang dikelolanya.

Ketika dihubungi Melisa, Leksi kaget bukan main. Dia tidak pernah berhubungan lagi dengan wanita ini selama kurang lebih sepuluh tahun. Padahal mereka kini tinggal di kota yang sama, hidup dari industri yang sama, tapi tak pernah sekalipun mereka bersinggungan.

Keduanya memang selalu berusaha menghindar untuk berada pada satu panggung. Kemudian ketika Melisa menghubunginya lewat telepon, Leksi hampir tidak percaya karena wanita ini, bahkan tanpa berbasa-basi, langsung bicara bisnis.

“Benar katamu, aku bisa saja menyuruh orang lain, bawahanku mungkin. Tapi aku tidak bodoh. Kamu pasti tidak akan mau menemuinya. Bertemu denganku saja kamu tidak mau. Kamu selalu menghindar. Ada saja alasanmu. Jika aku tidak memaksa seperti ini mana mungkin kamu mau menemuiku, kan?”

“Kamu masih saja bicara banyak,” balas Leksi. “Bagaimana kalau kita makan dulu, aku lapar.”

Mereka berdua makan di mobil dengan pintu terbuka. Leksi duduk di kursi belakang dan Melisa duduk di kursi depan. Keduanya duduk menghadap ke sungai. Meski tempat itu tidak memiliki lampu sama sekali, sinar bulan cukup untuk keduanya saling memperhatikan ekspresi wajah masing-masing.

Setelah selesai makan Melisa membuka percakapan.

“Jadi bagaimana?”



“Bagaimana apanya?”

“Kenapa kamu selalu mempersulitnya?”

“Maksudmu?”

“Kamu pikir aku tidak tahu kamu, Leks. Kamu sengaja kan melakukan ini? Kamu ingin bertemu aku, tapi kamu membuatnya rumit. Kamu ingin aku mengemis-ngemis.”

Leksi menghela napas. “Sejak kapan kamu jadi sensitif seperti ini. Setahuku kamu orang paling tidak pernah pakai perasaan,” kata Leksi penuh penekanan.

“Bagaimana ya, wajar saja kan jika aku menolak? Aku sudah berjuang dengan begitu keras hingga sampai di titik ini. Tidak ada kehidupan lain bagiku selain ini, dan kamu … aku bahkan tidak mengerti apa maksudmu menghubungiku. Kamu bilang ini hanya urusan bisnis, entah mengapa aku tidak merasa begitu. Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan, Mel?”

Melisa menoleh ke kiri, menatap Leksi yang ternyata sedang menatapnya. Ekor mata mereka bertemu dan mereka seperti sedang berusaha membaca pikiran masing-masing.

Tidak bisa. Jarak sepuluh tahun membentang di antara mereka. Kini, keduanya tidak bisa lagi saling memahami hanya dengan saling tatap. “Aku tidak tahu kenapa dan sejak kapan kita menjadi seperti—”

Leksi bangkit dari duduknya dan memotong perkataan Melisa. “Sejak kamu meninggalkan Jogja, sejak kamu tidak mau bertemu denganku lagi, sejak kamu tidak menjawab satu pun telepon dariku …. Oh iya, dan satu lagi, sejak kamu berkata jangan hubungi aku karena kamu akan menikah—anjing!” Napas Leksi memburu. Amarah sepuluh tahun itu meletus.



Dia mengambil jeda dan menarik napas panjang lalu berkata, “Ya, sejak kamu membunuhnya.”

Mata Melisa berkaca-kaca dan Leksi menunggu-nunggu sesuatu terjatuh dari sana. Tidak ada yang terjatuh. Dia selalu berharap bisa melihat Melisa menangis, tapi sepertinya wanita ini tidak punya air mata.

“Dulu kita hanya bocah yang tidak tahu apa yang kita kerjakan. Dan, aku tidak membunuhnya.”

“Kamu membunuhnya sejak kamu berhenti menulis,” sergah Leksi.

Agak kaget Melisa mendengarnya. Dia sempat memikirkan hal lain ketika Leksi mengatakan kamu membunuhnya. “Aku tidak berbakat, Leks. Kamu saja yang mendorongku melakukannya.”

“Jangan berkata tolol. Kamu orang yang paling berbakat yang pernah kukenal. Kamu hanya terlalu penakut.”

Keheningan menyelimuti mereka seperti serabut awan yang makin menebal. Leksi menatap ke tanah di bawah kakinya dan melihat bayangan tubuhnya mulai pudar.

Saat itu, serabut awan tengah berkumpul menuju satu titik dan menutupi bulan. Malam terasa kian pekat. Di kejauhan terdengar samar suara anjing menggonggong. Lalu tanpa mereka sadari, beberapa warga lokal yang lewat di sekitaran arus sungai sambil membawa pancing berhenti dan menatap ke arah mereka.

Melisa yang pertama menyadari langsung berkata, “Sepertinya kita harus pindah lokasi.”



“Sepertinya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,” balas Leksi.

Wajah Melisa menunjukkan tanda tidak setuju. Namun, ketika dia hendak mengutarakan ketidaksetujuannya, kata-katanya tenggelam bersama ludah yang tak sengaja tertelan.

Leksi mengambil sepedanya dan sebelum menaikinya dia sempatkan diri menoleh. “Aku setuju menerbitkan novelku di Rumah Kata, tapi aku minta kamu tidak usah menemuiku lagi.”

Melisa menatap punggung laki-laki itu ketika meninggalkannya. Hanya beberapa kedipan mata, Leksi telah lenyap dari pandangannya dan Melisa hanya menatap bengong pada jalan yang telah kosong. Pikirannya tenggelam pada bayang-bayang masa lalu hingga sebuah panggilan masuk mengembalikannya ke masa kini.

“Halo …. Ya, dia sudah pergi …. Aku belum sempat mengatakannya.”

“Kamu tidak bisa menunggu lagi. Anakmu butuh tahu siapa ayahnya. Dan Leksi, laki-laki itu juga perlu tahu tentang Noah. Kamu tidak bisa menyembunyikan hal ini selamanya,” kata suara di seberang.

Perkataan itu seperti pelatuk yang mementahkan keluarnya air dari kedua bola mata Melisa. Tangis yang sedari tadi ditahannya tumpah seketika.

“Kamu menangis?” tanya Leksi.

Melisa menoleh kaget. Dia mau bertanya sejak kapan kamu di sana? Apakah Leksi mendengar pembicaraannya? Dia juga ingin mengatakan apa yang selama sepuluh tahun tidak mampu dikatakannya pada Leksi. Namun, tidak satu pun kata keluar. Kata-kata itu telah tertinggal jauh di sepuluh tahun yang lalu.



Leksi kemudian melewati Melisa seraya berkata, “Helmku ketinggalan.”

 

Aliurridha, Pengajar di Universitas Terbuka. Dia menulis esai, puisi, dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media. Cerpennya yang berjudul “Metamorfosa Rosa” masuk dalam antologi cerpen pilihan Kompas 2021. Dia tinggal di Lombok dan bergiat di komunitas Akarpohon.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya