SOLOPOS.COM - Chudori Sukra (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Dalam sastra Jawa kuno, Serat Purwakanda, silsilah dewa-dewi Hindu dan Jawa selalu dihubung-hubungkan dengan sosok manusia pertama (Adam) yang mengejawantah dalam tokoh Sang Hyang Tunggal dengan memiliki empat putra mahadewa, yakni Sang Hyang Puguh, Punggung, Manan, dan Samba. Kisah dalam Purwakanda menisbahkan anak yang paling tampan dan baik hati adalah si bungsu, Sang Hyang Samba.

Sang Hyang Tunggal sebagai kepala para dewata akhirnya mengangkat si bungsu selaku penerus tahta dewa-dewi di Suwargodimulyo. Kakak-kakaknya protes dan saling berselisih. Sang Hyang Puguh dan Punggung diempaskan oleh penguasa yang menjaga tatanan hirarkis yang sangat ketat. Setelah bertahun-tahun mendekam di permukaan bumi, keduanya memohon ampun pada Sang Hyang Tunggal, meski kemudian tak boleh memasuki pintu gerbang Suwargodimulyo.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Tatanan hirarkis kekuasaan di Jawa yang identik dengan intrik dan siasat politik kolonialisme Belanda, seakan diteruskan oleh Soeharto yang juga mantan anggota Koninkijk Nederland Indische Leger (KNIL). Dia bersikukuh menyelenggarakan keamanan dan ketertiban nasional menurut persepsi kekuasaannya.

Kita bisa membaca analogi dalam dokumen Serat Purwakanda. Ujung-ujungnya, penguasa kolonial mengultuskan diri, lalu dinisbahkan dengan Sang Hyang Tunggal. Mereka terus-menerus memboyong jutaan gulden dari usaha dan jerih payah rakyat jelata. Terutama hasil perkebunan dan rempah-rempah yang dikendalikan oleh pemerintahan mereka.

Dokumen-dokumen gaib dan misterius itu jelas mengandung unsur legitimasi tahta kerajaan (kosmos-makro) untuk mengendalikan dan melumpuhkan para kawula alit (kosmos mikro). Hingga kemudian terbukti bahwa penguasa kolonial hanya mendukung tampilnya si bungsu yang tampan dan baik hati, yakni Sultan Hamengku Buwono V. Usianya baru menginjak dua tahun ketika ayahnya, Sultan Hamengku Buwono IV, wafat. Tentu saja Diponegoro tidak sepakat dengan keputusan Belanda yang mengangkatnya sebagai penerus tahta kerajaan.

Lalu, siapa lagi yang akan tampil selaku eksekutif kalau bukan perdana menterinya, Patih Danurejo, yang sejak mula-mula memihak dan berkolaborasi dengan Belanda. Sampai kemudian terungkaplah bahwa sang patih merupakan hasil permainan Belanda dan dilegitimasi oleh sastra Jawa yang diadaptasi oleh permainan imajinasi mereka.

Psiko hirarkis

Pada prinsipnya, Serat Purwakanda adalah jenis karya sastra yang mengandung misi dakwah, syiar, atau power of influence. Betapa mahirnya pemerintah kolonial menyusup masuk, seakan “membobol” kesusastraan Jawa (Nusantara), sampai Pangeran Diponegoro diidentikkan sebagai figur Togog yang berburuk rupa. Sedangkan Sang Hyang Samba diidentikkan sebagai Sultan Hamengku Buwono V.

Dengan demikian, sangat mudah bagi pemerintah Hindia Belanda untuk memosisikan diri bersama Patih Danurejo sebagai Semar yang berwibawa dan berkharisma. Tugas utama mereka tak lain sebagai pemangku dan pemberi petuah yang menjamin keamanan dan ketertiban orang-orang Jawa di dalam negeri.

Jadi, dunia politik, sastra, dan religiusitas di Tanah Jawa merupakan satu kesatuan. Bagi orang-orang berpenghayatan mistis, seluruh semesta ini dapat mewahyukan diri sebagai sakralitas kosmik. Setiap peristiwa dalam kosmos mikro yang fana ini hanyalah pengejawantahan lakon kosmos makro yang mengatasi kehendak rakyat alit dan kawula, dan merupakan takdir yang harus diterima dan ditaati dengan sepenuh hati.

Kita bisa bayangkan betapa naifnya ketika orang tua (selaku perwakilan leluhur Jawa) mengusulkan agar tes DNA dan pemeriksaan autopsi atas kematian anaknya harus diadakan pada malam Jumat Kliwon. Bagaimana para dokter di bidang forensik harus menyesuaikan diri dengan jadwal yang ditentukan pihak keluarga, sementara urusan lainnya harus segera diselesaikan sesuai tuntutan publik.

Kisah yang terungkap dalam Serat Purwakanda bukan satu-satunya, bukan semata-mata fiktif, melainkan sebagai kemenangan ide dan gagasan kolonial (penguasa) untuk memenangkan “pertempuran imajinatif” dengan mengandalkan kesetiaan pada tatanan hirarkis. Citra manusia tradisional seakan hanya kelir jagat cilik yang berfungsi sebagai bayangan yang dianggap tidak sejati, dan untuk itu hanya dapat bergerak berkat peran ki dalang (jagat gede).

Konsep kekuasaan feodal dalam piramida tatanan hirarkis kekuasaan Jawa tampak berbeda dari ajaran Kristen, Yahudi, maupun Islam. Dalam tradisi ajaran Ibrani, manusia tidak boleh melupakan nasibnya untuk menikmati kehidupan dunia. Ini karena prinsip bahwa rasa syukur dan kenikmatan hidup di dunia adalah senyawa dan merupakan cikal-bakal untuk meraih kebahagiaan hidup di negeri akhirat kelak.

Hirarki kekuasaan

Dalam film Spotlight (2016) yang meraih Academy Award, skandal dan pelecehan seksual dapat diangkat ke permukaan berkat perjuangan gigih para jurnalis dan wartawan lokal di Boston, Amerika Serikat. Sebagaimana kasus pelecehan dan pemerkosaan terhadap 13 santriwati di lembaga pendidikan Madani Boarding School di Bandung oleh guru dan pengasuhnya, film Spotlight juga menggambarkan ketatnya gereja sebagai suatu institusi yang menjaga tatanan hirarki yang mesti dijunjung tinggi.

Untuk itu, perlu kehati-hatian para jurnalis untuk mengungkapnya sebagaimana kedewasaan para jurnalis The Boston Globe dalam membentuk tim investigasi yang dipimpin sang editor, Marty Baron. Proses investigasi terus berkembang pada kasus-kasus lainnya hingga mereka harus bergerilya membuka dokumen sensitif yang selama puluhan tahun dianggap tabu dan didiamkan oleh pejabat negara atas nama demokrasi. Selama satu tahun penyelidikan, dilengkapi penelitian dan wawancara berdasarkan historical memory, tim Spotlight berhasil menyingkap fakta-fakta yang dengan sengaja ditutup oleh pihak berwenang atau pihak yang merasa memiliki kewenangan.

Film itu menggambarkan para jurnalis The Boston Globe yang berani melakukan terobosan seakan melampaui dalil-dalil hukum yang bersifat dogmatis. Sikap tenggang rasa juga melampaui doktrin-doktrin agama formal hingga mengacu langsung pada kualitas keimanan yang mendewasakan. Nilai-nilai humanitas menantang para jurnalis agar tidak mudah terjebak kepada sikap reaktif dalam menghadapi masalah.

Para wartawan The Boston Globe tak mau terjebak ke ajang permainan psiko-politis oleh pihak yang berkuasa. Mereka memiliki validitas data yang disimpan sesuai etika jurnalistik. Di sisi lain, film Spotlight juga menampilkan sosok wartawan neoliberal Amerika yang terobsesi untuk membuka kedok kejahatan semua tokoh agama di Boston, bukan menunjuk pelakunya. Namun, dia segera diperingatkan atasannya agar berhati-hati dalam melakukan peliputan.

Pada prinsipnya, setiap individu menyimpan dokumen rahasia pribadi yang berkaitan dengan hal-hal negatif di masa lalunya. “Kalau saya mau buka, saya pun bisa membongkar rahasia hidup Anda!”

Pekerjaan seorang jurnalis yang konsisten menjaga etika jurnalistik akan lebih mulia dan beradab ketimbang tokoh-tokoh yang tak konsisten menjaga apa yang dikatakan dengan perilaku yang diperbuatnya. Mereka tak ubahnya keledai yang sibuk dengan eksistensi tetapi tak pernah mengenai sasaran untuk mencapai esensi iman yang mendewasakan.

Pada titik inilah etika jurnalistik bersatu-padu dengan nilai-nilai humanitas yang membuat seorang jurnalis dituntut agar bersikap arif dan bijaksana. Panggilan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sudah melampaui ajaran formal yang sering kali hanya berbicara di wilayah teks-teks harfiah.

Esai ini ditulis oleh Chudori Sukra, anggota pengasuh Ponpes Riyadlul Fikar, Serang, Banten.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya