SOLOPOS.COM - Ilustrasi penumpang hendak melakukan tes PCR di Bandara Ahmad Yani Semarang. (Humas PT AP I Bandara Ahmad Yani)

Solopos.com, JAKARTA — Tudingan bisnis dalam aturan wajib PCR bagi penumpang pesawat tidak hanya dilontarkan pegiat antikorupsi melainkan juga politikus.

Anggota DPR RI Fraksi PKS Sukamta mengatakan aturan wajib tes PCR untuk penerbangan dan direncanakan menyeluruh untuk semua moda transportasi tidak terlepas dari bisnis.

Promosi Tanggap Bencana Banjir, BRI Peduli Beri Bantuan bagi Warga Terdampak di Demak

Bahkan menurutnya, lebih kuat muatan bisnis ketimbang alasan kesehatan.

“Kebijakan ini aneh dan terlalu jelas motifnya,” kata Sukamta kepada wartawan, seperti dikutip Solopos.com dari Suara.com, Minggu (31/10/2021).

Baca Juga: Rp23 Triliun Berputar, PCR Jadi Bisnis Menggiurkan 

Mengutip data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Sukamta mengatakan nilai impor alat tes PCR hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp2,27 triliun.

Data itu melonjak drastis dibandingkan dengan bulan Juni yang hanya senilai Rp523 miliar.

“Para importir kit tes PCR ini luar biasa. Berani dan punya terawangan jitu bisa menduga bahwa kebutuhan kit PCR akan meningkat. Padahal bulan lalu belum ada kebijakan soal kewajiban tes PCR dikeluarkan oleh pemerintah,” ujar Sukamta.

Sukamta yang merupakan Anggota Badan Anggaran DPR RI memaparkan perhitungan terkait adanya bisnis di balik tes PCR.

Ia menyampaikan bahwa kebutuhan alat tes PCR per hari sekitar 100.000-200.000 kit. Artinya, lanjut Sukamta, dalam satu bulan bisa mencapai 2,8-5,6 juta kit.

Menggunakan patokan harga tes PCR yang saat ini berkusar Rp300.000 maka bisa ditaksir potensi dari bisnis tersebut mencapai Rp800 milliar sampai Rp1,6 triliun per bulan.

“Bahkan sejak pandemi Covid-19 telah dilakukan tes Covid-19 mencapai 45,52 juta dengan total estimasi nilai pasar bisnis tes Covid-19 sudah menembus angka Rp15 triliun. Ini jelas bisnis menggiurkan di tengah pandemi yang bikin ekonomi lesu,” kata Sukamta.

Baca Juga: Ramai-Ramai Menolak PCR Sebagai Syarat Naik Pesawat, Ini Alasannya 

Sukamta sekaligus menyampaikan data terkait siapa yang menikmati bisnis tes PCR. Diketahui bisnis itu paling banyak dinikmati oleh perusahaan swasta.

Pertama, negara eksportir. Menurut data BPS impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp7,3 triliun.

China dan Korea menjadi negara eksportir terbesar senilai masing masing USD174 juta dolar dan USD181 juta dolar, disusul AS sebesar USD45 juta dolar, Jerman USD33 juta dolar.

“Kedua, perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen,” tutur Sukamta.

Hal senada juga disinggung oleh Anggota DPR Fraksi PAN Guspardi Gaus.

Untung Rp1 Triliun/Bulan

Merujuk laporan ICW sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021, Guspardi berujar bahwa keuntungan bisnis PCR sangat menggiurkan. Provider atau penyedia jasa layanan pemeriksaan PCR setidaknya mendapatkan keuntungan sekitar Rp10,46 triliun atau Rp1 triliun lebih setiap bulan.

“Kesan yang timbul di masyarakat bahwa pemerintah lebih pro kepada pengusah yang mempunyai bisnis tes usap PCR ketimbang rakyat. Wajar juga kecurigaan masyarakat yang menduga telah terjadi permainan dengan menjadikan komoditas kesehatan sebagai ladang bisnis yang menguntungkan kelompok tertentu,” kata Guspardi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya