SOLOPOS.COM - Sejumlah perempuan warga binaan di Rutan Klas I Solo bersiap menunaikan Salat Magrib, Rabu (27/4/2022). (Solopos/Kurniawan)

Solopos.com, SOLO — Perempuan muslimah yang sedang istihadhah tetap diwajibkan salat sebagaimana wanita suci pada umumnya.

Sebab status darah tersebut bukan darah haid sehingga tidak menggugurkan kewajiban salat.

Promosi BI Rate Naik, BRI Tetap Optimistis Penyaluran Kredit Tumbuh Double Digit

Darah istihadah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita di luar haid serta bukan disebabkan karena melahirkan.

Pada umumnya, perempuan mengalami haid selama 6-8 hari dan paling lama 15 hari.

Baca Juga: Begini Urutan Mandi Wajib setelah Haid atau Nifas

Seorang wanita yang mengalami istihadhah dilarang meninggalkan ibadahnya, seperti salat, puasa dan ibadah lainnya.

Praktiknya, dengan cara membersihkan kemaluannya, kemudian menyumbat dan membalut kemaluannya, setelah itu wudhu dan shalat.

Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar salat yang notabenenya ibadah kepada Allah SWT selalu dilaksanakan dalam keadaan suci dan terhindar dari najis.

Baca Juga: Ketahui Beda Nyeri Haid dan Hamil

Dalam beberapa keadaan kerap kali ditemukan darah tetap tembus keluar setelah upaya penyumbatan dan pembalutan dilakukan.

Hal ini sering menjadi penyebab kebingungan bagi perempuan yang hendak mengerjakan salat.

Sebab, di satu sisi ia dituntut untuk mempercepat salatnya sementara di sisi yang lain ada najis dalam dirinya.

Lantas, apakah status darah istihadhah yang tembus keluar seperti dalam kejadian ini?

Baca Juga: Hukum Potong Rambut saat Haid Menurut Islam

Dikutip dari situs nu.or.id, Kamis (3/11/2022), Syekh Ahmad bin Muhammad bin Ali atau yang lebih masyhur dengan nama Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya menjelaskan darah istihadhah yang keluar setelah kemaluan wanita ditutup dan dibalut hukumnya tidak berbahaya.

Artinya, ia tidak perlu membersihkan ulang, tidak pula harus menutup dan membalutnya kembali.

“Tidak berbahaya keluarnya darah setelah menyumbat (kemaluan), kecuali karena sembrono dalam menutupnya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir, Maktabah at-Tijariyah Kubra: 1983], juz I, halaman 395).

Baca Juga: Benarkah Tidak Boleh Makan Mentimun Saat Haid?

Pendapat senada juga disampaikan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami al-Mishri dalam kitab Hasiyah al-Bujairami ‘alal Khatib, Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitab Fathul Wahhab, Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitab Hasiyah al-Jamal, dan beberapa ulama lainnya, yang mengatakan bahwa darah yang tembus keluar setelah adanya upaya penyumbatan tidak berbahaya, dan wanita istihadhah boleh langsung wudhu untuk shalat.

“Jika darah (istihadhah) keluar setelah menyumbat (kemaluan) karena banyaknya (darah), maka tidak berbahaya. Atau jika keluarnya karena sembrono maka berbahaya.” (Syekh Bujairami, Hasiyah al-Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: tt], juz III, halaman 216. Syekh Zakarian al-Anshari, Fathul Wahab, I/50. Sulaiman al-Jamal, Futuhah al-Wahab, I/243).

Baca Juga: Sadar Haid Saat Buka, Bagaimana Hukum Puasanya?

Sementara itu, para ulama berbeda pendapat perihal status ma’fu (dimaafkan) dan tidaknya darah istihadhah.

Imam Ibnu Hajar al-Maki dan Ibnu ar-Rif’ah mengatakan darah istihadhah hukumnya ma’fu, baik sedikit atau banyak.

Sedangkan Imam Ramli al-Mishri dam Imam an-Nasya’i mengatakan ma’fu jika darahnya sedikit dan tidak ma’fu jika darahnya banyak.



Baca Juga: Apakah Normal Haid Sebulan Tiga Kali Seperti Curhatan Viral di Tiktok?

Namun demikian, yang dimaksud ma’fu dalam pembahasan ini adalah hanya untuk salat yang sedang ia hadapi saja.

Selebihnya ia wajib mengulangi basuhan dan membersihkan atau memperbaharui pembalutnya kembali.

Contoh: Wanita istihadhah hendak mengerjakan Salat Zuhur, kemudian ia membersihkan dan menyumbat kemaluannya.

Namun setelah itu darahnya masih keluar, maka darah yang keluar ini hukumnya ma’fu hanya untuk Salat Zuhur saja sedangkan untuk Salat Ashar, Maghrib, Isya dan seterusnya, ia wajib untuk membersihkannya kembali.

Baca Juga: Begini Urutan Mandi Wajib setelah Haid atau Nifas

“Perkataan mushannif (perihal darah istihadhah yang di-ma’fu) hanya untuk salat yang akan dihadapinya saja, sedangkan untuk salat setelahnya, maka ia wajib untuk membasuh kemaluannya, membasuh pembalut atau memperbaharuinya sesuai kemampuannya.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Futuhat al-Wahab bi Taudhihi Syarhi Minhaj at-Thullab, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 242).

Kesimpulan:

Darah istihadhah yang keluar setelah wanita berusaha untuk menyumbatnya tidaklah berpengaruh apa-apa. Ia boleh langsung wudhu kemudian salat.

Sedangkan status ma’fu dan tidaknya darah istihadhah masih memiliki perbedaan pendapat. Jika darah yang keluar sedikit, para ulama sepakat mengatakan ma’fu, dan jika banyak maka ma’fu menurut Ibnu Hajar al-Maki, dan tidak ma’fu menurut Imam Ramli al-Mishri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya