SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Pengusir Jin (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Bocah perempuan itu memiliki sepasang bola mata berwarna cokelat yang indah. Banyak orang juga punya bola mata berwarna cokelat, tetapi sepasang mata milik bocah itu indahnya tak tepermanai.

Orang-orang menganggap keindahan bola mata bocah itu terbentuk karena paduan warna kulitnya yang kuning pucat dan bulu matanya yang lentik, serta bentuk matanya yang serupa almon. Keindahan mata bocah itu akan semakin sempurna manakala sisa-sisa sinar matahari saat petang hinggap di korneanya.

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

Tetapi, bola mata indah itu menjadi sumber petaka bagi si bocah.

***

Nama bocah itu Rubi. Sekarang ia berumur 6 tahun lebih empat bulan. Dia punya seorang kakak perempuan yang usianya terpaut dua tahun, bernama Rina. Mereka hidup dalam kemiskinan dan menerima bantuan sosial tiga bulanan dari pemerintah.

Suatu sore, saat Rubi dan kakaknya sedang bermain biji-biji buah saga, seorang pria misterius datang ke rumah mereka. Rubi dan kakaknya waswas melihat pria itu, terutama Rubi yang dipandangi tak sudah-sudah.

Gelagat pria itu bagaikan pemburu hantu saat memerhatikan Rubi. Tatapannya terus terarah pada Rubi selagi ia menunggu di ambang pintu, membuat Rubi bersembunyi di balik punggung kakaknya karena takut.

“Eh, Hanafi,” kata ibu mereka saat keluar dari dalam rumah dan menyambut pria itu. Ibu mereka dan pria itu berpelukan.

“Rina, Rubi, sini! Beri salam paman kalian.”

Pria itu ternyata adalah adik kandung ibu mereka. Walau begitu, bagi Rina dan Rubi, pria itu tetap saja misterius. Ia sudah lama merantau ke tanah seberang buat menuntut ilmu. Terakhir, ibu mereka bertemu adiknya itu delapan tahun lalu saat Rina baru lahir.

Sambil mengobrol bersama ibu mereka, pria itu terus memerhatikan Rubi. Ia tak henti-henti menyoroti mata indah Rubi. Ia mencoba berbasi-basi dengan kakaknya agar kakaknya tak menyadari bahwa ia sedang memerhatikan Rubi.

Tak lama berselang, ayah mereka pulang. Rubi dan Rina kegirangan menyambut ayah mereka. Masing-masing minta digendong. Namun, kehadiran adik iparnya membuat ayah mereka langsung menurunkan mereka dari gendongan. Seperti ibu mereka, ayah mereka juga memeluk si tamu.

“Bagaimana kuliahmu? Abang dengar sudah lama selesai. Kenapa baru pulang sekarang?”

“Iya, Bang. Selepas kuliah, masih banyak yang harus saya pelajari.”

“Ah, kau ini belajar terus. Tak ingat usia. Tak ingat abang dan kakakmu ini.”

“Ingat, Bang. Inilah makanya saya datang.”

Setelah berbasi-basi, obrolan ayah dan ibu mereka dengan si tamu berujung pada cerita tentang kondisi perekonomian mereka yang memprihatinkan.

Menyadari bahwa adik iparnya telah menjadi orang kaya meski tak diketahui apa usahanya, ayah mereka menyampaikan keluh kesah tentang betapa nelangsanya dia tak bisa menyekolahkan kedua putrinya. Padahal, anak seusia Rina seharusnya sudah duduk di bangku kelas III SD dan Rubi sepatutnya sudah jadi murid kelas I.

“Bukan tak mau menyekolahkan, tapi kau lihatlah kondisi rumah kami ini. Kalau ada angin kencang sudah pasti rumah kami ini yang akan hancur duluan di kampung ini. Bisa makan saja kami sudah bersyukur, Naf,” kata ayah mereka.

“Kata pemerintah, sekolah bisa gratis. Tapi, waktu kami hendak mendaftarkan Rina, ternyata ada biayanya. Ada pula keharusan beli buku dan seragam. Jadi sampai sekarang dia belum sekolah,” timpal ibu mereka.

Pria itu menyimak cerita yang dituturkan oleh ayah dan ibu mereka dengan keprihatinan yang dibuat-buat.

“Saya bisa bantu kakak dan abang. Asalkan, kakak dan abang percaya sepenuhnya sama saya, mau mengikuti petunjuk saya. Apa kira-kira abang dan kakak siap?”

Dengan mata berbinar-binar penuh harapan, ayah dan ibu mereka pun menjawab serempak. “Kami siap!”

“Oke. Kalau begitu, besok saya datang lagi.”

Saat hendak beranjak, sebelum masuk ke dalam mobilnya, si tamu menyampaikan sesuatu dengan nada dipelankan dan intonasi yang sangat serius. Ia meminta ayah dan ibu mereka mendekatkan telinga agar bisa mendengar bisikannya.

**

Sejak hari itu, si tamu mulai rajin berkunjung. Bahkan hampir setiap hari. Setiap kali berkunjung, ia tidak pernah luput menjelalati Rubi. Berkali-kali ia ingin melihat mata gadis cilik itu dari jarak lebih dekat, namun upayanya selalu gagal.

Setiap kali ia mencoba mendekati Rubi dengan berpura-pura ingin menggendongnya, Rubi tak pernah mau. Rina pun begitu. Kebencian Rubi kepada pria itu menjalar ke Rina. Layaknya seorang pengawal, Rina selalu membentengi adiknya dari jangkauan pria itu.

Setelah hampir enam bulan berkunjung dan tak sekali pun berhasil menyentuh Rubi, pria itu mulai kehabisan kesabaran. Ia pun menyusun rencana untuk menyingkirkan Rina yang selalu menghalanginya.

“Tidak mungkin!” kata ibu mereka setelah diberi tahu bahwa di tubuh Rubi terdapat jin jahat.

“Memang sulit diterima akal, Kak. Tapi lihatlah hidup kakak, terus-terusan dirundung kemiskinan. Jin itu harus dikeluarkan dari tubuh anak itu supaya rezeki kakak dan abang mengalir,” kata pria itu.

Setelah mengatakan itu, si tamu misterius pun pulang, dengan kekesalan yang tak dapat disembunyikannya.

Baca Juga: Nazar



“Sepertinya betul yang dibilang si Hanafi, Dik. Hidup kita begini terus sejak kelahiran Rubi. Ingat, dulu, waktu Rubi belum lahir dan kita hanya punya Rina,

hidup kita tidak sesusah ini,” kata ayah mereka sesaat setelah si tamu beranjak. Ibu mereka hanya termenung. Tak menjawab apa-apa.

**

Pada bulan berikutnya, uang bantuan sosial tak turun. Uang itu ditilap kepala desa tempat mereka tinggal. Kepala desa mereka memaling uang puluhan juta rupiah yang seharusnya dibagikan kepada 145 penerima.

Bersamaan dengan itu, ayah mereka pun kehilangan pekerjaan karena sawah milik kepala desa yang ia garap turut disita penyidik. Upah terakhir sebagai petani penggarap yang harusnya diterima ayah mereka juga tak dapat ditagih karena si kepala desa sudah dijebloskan ke sel tahanan.

Saat ayah dan ibu mereka menangis berdua meratapi nasib, si tamu kembali datang setelah sebelumnya sempat berhenti bertandang selama dua pekan. Ia datang bagaikan pahlawan yang menyelamatkan nasib mereka.

“Tenang, Bang. Tenang, Kak. Ini saya kasih abang dan kakak uang. Saya kasih cuma-cuma, bukan sebagai utang.”

Ayah dan ibu mereka berterima kasih pada si tamu. Mereka bersimpuh di kakinya, namun si tamu buru-buru mencegah dan meminta ayah dan ibu mereka berdiri.

“Ada syarat agar uang ini bisa saya berikan kepada abang dan kakak,” kata si tamu.



“Apa itu, Naf? Sebutkan. Apapun syaratnya pasti akan kami turuti,” balas ayah mereka.

“Iya, Naf. Pasti akan kami turuti,” timpal ibu mereka.

“Syaratnya mudah saja, seperti yang sudah saya sampaikan sejak kemarin-kemarin. Bahkan bisa dibilang itu bukan syarat, tetapi semata-mata niat saya membantu abang dan kakak. Tapi sebelum itu, kita perlu menyingkirkan jin di tubuh Rina terlebih dahulu. Anak itu pun sudah dimasuki jin juga.”

Ayah dan ibu mereka tertunduk antara bingung dan sedih. Namun, demi dapat terbebas dari jerat kemiskinan, mereka menepis sisa-sisa kebimbangan mereka yang mulai luruh dalam dua pekan terakhir. Pada akhirnya, ayah dan ibu mereka mengiyakan syarat yang diminta pria itu.

**

Dua hari kemudian, menjelang tengah malam, ayah dan ibu membangunkan Rina. Anak itu diikat dan diangkat ke dapur. Mulutnya dibekap. Di dapur, ia dicekoki dua liter air garam.

“Jin jahat di dalam tubuh anak ini mencoba melindungi jin maha jahat di tubuh adiknya. Ini adalah cara supaya jin dalam tubuh anak ini keluar. Cepat selesaikan! Jangan ragu-ragu! Garam akan membuat jin itu mampus!” kata si tamu, membantu memegangi kaki Rina. Sementara itu, ayah mereka memegangi tangan, dan ibu mencecoki air garam itu segelas demi segelas ke mulut Rina.

Rina tak bergerak setelah dicekoki dua liter air garam. Pembuluh darahnya pecah.

Saat itu, ayah dan ibu mereka sudah tak sadar atas apa yang mereka lakukan. Mata mereka merah, sangat merah. Mereka bahkan tak sadar bahwa nyawa anak sulung mereka sudah melayang malam itu.



Lima jam setelahnya, menjelang azan Subuh, puncak syarat yang diminta si tamu untuk membebaskan ayah dan ibu mereka dari kemiskinan akhirnya dilakukan. Sama seperti yang dilakukan terhadap Rina, tamu misterius itu membantu memegangi kaki Rubi, sementara sang ayah memegangi tangannya.

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh si tamu untuk melihat mata indah bocah itu dengan jelas. Tergapai sudah keinginannya.

“Cepat lakukan!” bentak si tamu kepada ibu mereka. “Ini demi hidup kalian! Ini adalah pintu keluar dari kemiskinan!”

“Lakukan, Dik!” kata ayah mereka kepada ibu mereka.

Dalam hitungan menit, satu bola mata indah Rubi berpindah ke telapak tangan ibunya lalu diserahkan kepada si tamu.

Sambil memeriksa bola mata berlumur darah itu dengan saksama seperti memindai keaslian sebutir berlian, si tamu berkata dengan lantang, “Setelah ini, kalian akan kaya raya!”

Mereka bertiga tertawa bersama keras-keras, membenamkan suara tangisan bocah malang bermata satu itu pada pagi buta yang kelam.

 

Abul Muamar, lahir dan besar di Perbaungan, Serdangbedagai, 1988. Menulis beberapa cerita pendek.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya