SOLOPOS.COM - Perajin mengemasi tempe di sentra industri tahu dan tempe di Krajan, Mojosongo, Jebres, Solo, Selasa (29/12/2020). (Solopos.com-Nicolous Irawan)

Solopos.com, SOLO — Kepulan uap dari adonan kedelai yang akan menjadi tahu dan uap dari tungku limbah kayu menghangatkan seisi ruang pabrik tahu warga di RT 001 RW 002 Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, Senin (28/12/2020) pukul 12.30 WIB. Pengrajin kecil paling terdampak kenaikan harga kedelai, meski demikian mereka tidak membuat produsen menaikkan harga jual.

Ember rendaman kedelai yang biasa menutupi mesin penggiling tidak terlihat. Hanya ada empat ember rendaman kedelai dan dua keranjang di antara mesin penggiling siang itu. Produksi tahu yang dilakukan lima pengrajin tahu berkurang di pabrik itu sejak pagebluk.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

Slamet Suripto, 69, yang biasa memproduksi 130 kilogram kedelai per hari harus mengurangi jumlah produksi 1 kwintal saja per hari. Dia mengalami penurunan omzet. Selain itu, dia juga tengah menghadapi harga kedelai impor yang terus merangkak naik sejak enam bulan terakhir. “Kami ini kerja bakti saja. Yang penting bisa jalan. Bisa bertahan dulu. Saya punya satu tenaga kerja,” kata dia.

Perhatikan Warna Cat Kamar Bayi, Fengsui Bilang Bisa Tenangkan Mood

Pengrajin tahu yang merintis usaha sejak 1973 tersebut membeli bahan baku ke Koperasi Sumber Agung Krajan Rp9.100 per kilogram tiga hari lalu. Dia biasa menyetok bahan baku setiap satu bulan sekali. Dia kini tidak berani menyetok bahan baku selama satu bulan karena takut rugi bila harga  turun. “Berharap harga turun tapi malah naik terus,” paparnya dia.

Slamet tidak bisa mengurangi biaya produksi seperti biaya listrik, limbah kayu, dan biaya transportasi. Sedangkan dia tidak berani menaikkan harga jual tahu karena kenaikan harga jual dapat membuat pelanggannya beralih ke produsen lain.

Mengurangi bahan baku dengan mengurangi ukuran tahu menjadi solusi para produsen tahu. Setiap 100 kilogram kedelai yang dia produksi biasa untuk 40 tapak atau cetakan tahu kini untuk memproduksi 45 tapak demi keberlangsungan usaha.

Jadi Beban Keluarga, Pria Sumut Dicoret dari Keluarga, Begini Kisahnya...

Kondisi lebih sulit dialami empat pengrajin tahu yang menyewa ruang atau tungku milik Slamet. Para pengrajin tersebut memiliki biaya produksi lebih tinggi dengan membayar Rp7.000 sekali masak satu ember adonan dan menyerahkan ampas tahu kepada Slamet. Total nilainya setara Rp17.000 untuk sekali mengolah satu ember adonan kedelai.

20 Kg Kedela/Hari

Seperti yang dialami Dodi, 44, yang  menyewa ruang milik tetangganya tersebut. Dia memproduksi 20 kilogram kedelai saban hari mulai pukul 10.00 WIB sampai 15.00 WIB.

Berbeda dengan Slamet, Dodi menjual tahu dengan berkeliling mengendarai sepeda motor mulai pukul 19.30 WIB. Laki-laki yang merintis usaha sejak 10 terakhir tersebut bisa menjual tahu lebih tinggi kepada konsumen langsung dibandingkan kepada bakul di pasar.

Tiktokers Usulkan Cara Bayar Utang Indonesia, Begini Caranya…

“Produksi tetap. Tapi penghasilan berkurang adanya kenaikan harga kedelai. Ini saya jual turut kampung. Mereka bilang tahunya jadi kecil-kecil,” ungkap bapak dua anak tersebut.

Padahal, dia merupakan tumpuan bagi keluarga. Dia berharap harga kedelai tidak meresahkan para produsen apalagi Slamet merupakan pengrajin tahu paling terdampak kenaikan harga kedelai.

Ketua Koperasi Sumber Agung Krajan, Saryanto, menjelaskan terdapat seratusan pengrajin di kampungnya dan baru 31 anggota yang bergabung pada koperasi. Rata-rata para produsen mengalami penurunan permintaan sebanyak 30% selama pandemi Covid-19.

KLIK danLIKEuntuk lebih banyak berita Solopos

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya