SOLOPOS.COM - Guguran bunga angsana seperti pemandangan karpet berwarna kuning menghampar menyelimuti taman kompleks danau Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS). (Solopos/Nicolous Irawan)

:Alifa

Teman-teman pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa menyalami Satryo. Sukses, sukses, begitu kata mereka sambil tertawa. Satryo juga puas bisa memandu seminar nasional di Perpustakaan pusat tadi.

Promosi Oleh-oleh Keripik Tempe Rohani Malang Sukses Berkembang Berkat Pinjaman BRI

Tema-tema transisi demokrasi masih akan menjadi isu yang menarik hingga pemilu tahun 2004 besok. Entah karena narasumbernya memang top-top, atau karena ratusan mahasiswa yang berjejal, atau karena seseorang berhijab merah jambu agak di pojok tadi.

Seorang mahasiswa mendekati Satryo. Mahasiswa itu mengeluarkan tape recorder.

”Sigit, Mas, dari Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan, dulu pernah buat profil Mas di Buletin Civitas.” katanya. Tapi buru-buru menjelaskan, ”Tapi kali ini bukan mau wawancara, Mas. Ada teman tim redaksi lain yang tugas wawancara seminar ini.”

Satryo ingat. ”Oh, ya. Ngobrol-ngobrol di kubikel diskusi yuk. Ajak teman-teman….”

***

Kantin Yu Jum Fakultas Sastra sedang ramai. Maklum jam makan siang. Meskipun agak jauh dari Fakultas Hukum, Satryo sering menyempatkan diri mampir ke sana. Biasanya Satryo berjalan kaki sendiri. Sambil menekuri aspal, Satryo gemar membuat rencana-rencana untuk aksi di BEM, atau merangkai argumentasi dakwaan dalam Lomba Peradilan Semu tingkat regional Jawa-Bali di Universitas Brawijaya bulan depan.

Jalan di sekitar Fakultas Teknik seharusnya romantis di permulaan musim hujan seperti ini. Basah. Teduh di antara guguran bunga angsana yang menutup aspal menjadi hamparan kuning. Seandainya. Ya, seandainya.

Setelah memesan gudeg koyor sambel goreng, Satryo beranjak ke kiri, memesan es beras kencur. Dilihatnya Sigit sedang mengudap soto bayam dengan ekspresi yang membuatnya ingin memesan soto bayam juga.

”Eh, kemarin saat kamu jadi peserta seminar di perpustakaan pusat, sama anak-anak Kentingan juga? Kok kayaknya asyik betul,” Satryo menyapa Sigit sambil membawa piring dan gelas. Satryo memilih tempat duduk yang menghadap parkiran rektorat.

Sigit tidak langsung menjawab. Dia masih menghabiskan bakwan yang sedang dikunyah di mulutnya. Tapi matanya mendelik menggoda. ”Hayooo…. Anak Kentingan apa Kentingan?”

Satryo terjebak. Tersenyum sendiri. Gugup sebenarnya. Meskipun dikenal sebagai salah satu Menteri BEM universitas dengan rupa-rupa aktivitas ini, itu, Satryo bukanlah mahasiswa yang gampang bercakap-cakap dengan mahasiswi untuk hal-hal di luar organisasi.

Satryo tentu kaget Sigit dapat menebak apa yang disembunyikannya beberapa malam ini. Mahasiswi hijab merah jambu itu. Satryo masih ingat. Parasnya yang putih langsing, bola matanya sipit manja dalam kelopak yang lembut. Serasi betul dengan senyumnya dan bibirnya yang merah semu lip gloss. Ah.

”Elliya, Mas. Anak Teknik Industri. Satu angkatan, ha-ha-ha.” Sigit semakin keranjingan mendapati wajah Satryo menebal merah. Satryo, senior aktivis yang dikenalnya di meja seminar dan diskusi itu, yang lembar profilnya di Civitas mungkin dikoleksi mahasiswi, lain sekali kini.

”Tapi dia akhwat, Mas, mereka nggak pacaran. Langsung nikah.” Sigit menyodok lamunan Satryo.

Satryo menghela napas. Sudah sering dia mendengar. Sudah sering dia melihat. Teman-teman mahasiswi aktivis Rohis saat aksi-aksi bersama BEM. Sebagian besar aktivis BEM sekaligus aktivis Rohis. Satryo salah satu kekecualiannya.

***

Sesungguhnya Satryo sadar betul apa yang dilakukannya. Sebagai seorang yang belajar untuk adil sejak dalam pikiran, Satryo memahami bahwa menghargai suatu sikap seseorang adalah satu sikap seorang gentleman. Namun setiap orang berhak memperjuangkan cintanya. Ya, siapa tahu.

date: thu, 22 mei 2003 05: 34: 55
from: ”rindu jawa”
subject: cerita dari solo
to: ”elliya putri”

teruntuk: elliya,
hari ini capek banget rasanya. semaleman setting buat pemilihan rektor
dengan banyak kawan-kawan. walaupun capek rasanya lega. soalnya
baru kali ini kita bisa duduk bareng dengan hampir semua teman-
teman pergerakan di kampus. tanpa curiga seperti biasanya.
tidak tau juga kalau ini hanya kamuflase. seperti biasanya juga.
ah, sekali-kali berbaik sangka. dengan teman-teman sendiri.

yang intra banyak yang datang, yang ekstra juga. dari bem,
dema kampus dan fakultas lengkap. cuma dari bem-dema kedokteran
aja yang gak dateng. Biasa, pak dokter malem-malem mungkin
sedang ngotopsi mayat, he-he-he. juga kawan-kawan pmii, hmi, lmnd,
imm, gmni. kawan-kawan pmkri sedang konferensi cabang, jadi tidak
bisa dateng. tapi mereka percaya dengan aliansi, dan bersedia
bergabung nanti kalau dibutuhkan. hanya kawan-kawan gmki
yang tidak terlacak sekretariatnya. sudah vakum barangkali. dari pers
mahasiswa juga ada. pers kampus. dari fakultas cuma pers fakultas ekonomi
aja yang datang.

saya percaya, mahasiswa bisa punya bargaining pada pemilihan rektor
besok. Walaupun yang memilih pada akhirnya senat universitas dan mendiknas,
tetapi mahasiswa akan melakukan
demo simpatik mendukung calon-calon yang dekat dengan mahasiswa.

doakan saja memang begitu adanya.

salam,
satryo

Meskipun Satryo sepenuhnya sadar, nyatanya dia sendiri tidak yakin dengan apa yang dilakukannya. Alamat email Elliya yang didapatnya dari Sigit mengantarkannya pada satu jenis ketololan yang disengaja. Hendak mengesankan sebagai seorang maya yang misterius, namun bersahabat. Dan intelek. Jadinya malah mbuh.

***

”Git, kalau akhwat itu nggak pacaran. Terus, cara menikahnya bagaimana?” tanya Satryo kepada Sigit saat mereka ketemu lagi di kantin Yu Jum. Kali ini di tangan Satryo ada satu piring nasi pecel komplet.

”Menikah apa menikah nih. Wah, kalau diceritain harus urut, Mas,” goda Sigit sambil menusuk risoles di meja dengan garpunya.

”Serius ini. Ya wis, Mas dengarkan,” Satryo sambil menyendok pecel. Satryo tahu Sigit selain aktif di Kentingan juga jemaah di Nurul Huda.

”Ikhwan atau akhwat yang sedang menjaga adab pandangannya itu kalau mau menikah ya langsung melamar kepada walinya. Boleh juga sebelumnya taaruf dahulu, saling mengenal,” ucap Sigit tenang.

”Lha itu, taaruf bukannya pacaran?” Satryo mengaduk es lemon tea kampul-nya.

”Ya bedalah. Kalau taaruf tidak boleh interaksi langsung ikhwan akhwat. Harus ada perantara, bisa wali, atau pihak ketiga yang amanah, misalnya ustaz dan ustazah yang sudah berkeluarga,” ucap Sigit lagi. Satryo masih menyimak.



”Setelah satu-dua-tiga kali ketemu, saling membagi profil dan visi keluarga, kalau cocok, ya, lanjut ijab kabul.”

”Buset. Sederhana betul. Apa garansinya kalau orang itu orang baik. Wong yang pacaran bertahun-tahun saja masih belum saling mengenal, banyak yang bubar juga. KDRT segala.” Satryo mencomot kerupuk rambak, merobek plastiknya, mengambil satu buah. Mengunyah pelan-pelan.

”Setiap muslim nature-nya seorang yang holistik, Mas. Kaffah kalau kata anak Rohis. Memahami setiap proses beragama ini agak sulit kalau parsial, bisa nggak ketemu feel-nya,” ucap Sigit sambil menelan soto bayam yang tadi dipesannya.

”Misalnya, kita juga perlu belajar memahami konsep miracle of giving, percaya dan mengimani bahwa Salat Subuh berjemaah itu ganjarannya seperti salat sepanjang malam, yakin bahwa ketaatan orang tua akan memudahkan langkah anaknya atau sebaliknya. Dengan pendekatan materialisme dialektik konsep dan keyakinan model gini kan nggak mathuk, Mas.”

Satryo masih diam. Menyimak. ”Bisa jadi karena profil rutinitas tilawahnya, adabnya dalam menuntut ilmu, atau azzam-nya menjaga wudu. Hal-hal seperti ini bisa menjadi kriteria komplemen seorang akhwat untuk yes or no.”

”Ah, kamu itu cerita kayak saya ini bukan orang Islam aja Git. Saya ini Islam sudah tujuh turunan, sejak Islam masuk ke tanah Jawa ini,” Satryo berusaha memahami cara berpikir yang disebut Sigit ”dialektika dari materialisme.” Tambah asyik.

Sigit tersenyum. Mengaduk soto bayam dengan kecap. Tadi kurang manis sedikit.

”Oke, setiap orang kan berhak untuk mendapat hidayah. Berhak memperjuangkan cintanya. Kalau saya belajar mengaji, gabung sama anak-anak Nurul Huda, kira-kira ada prospek nggak?” Satryo menawar.

”Setiap amal bergantung pada niatnya, Mas. Kalau seorang berhijrah karena Allah, maka hijrahnya untuk dan karena Allah. Kalau seorang hijrah karena dunia atau wanita yang ingin dinikahinya, ya hijrahnya untuk dan karena itu.” Sigit melirik tempe mendoan panas. Masih ada uapnya. Gumpalan tepungnya terlihat keras, kriuk.



”Mantap kali adagium kamu itu Git. Bagus, bagus.” Satryo manggut-manggut.

”Bukan kata saya, Mas. Kalimat itu dhawuhe Kanjeng Nabi. Hadis.” Sigit tergoda juga mencomot tempe mendoan panas tadi.

Satryo tertegun. Islam tujuh turunan. Dhawuhe Kanjeng Nabi. Dialektika dari materialisme. Betapa masih banyak hal yang ia lewatkan selama ini.

***

Satryo menyandang backpack-nya. Berjalan pelan-pelan menyusuri jalan antara Fakulas Teknik dan Ekonomi. Hmm. Angsana sudah gugur lagi. Dari musim hujan yang lalu, sudah masuk musim hujan yang baru. Satryo melirik pergelangan tangannya. Kuliah Hukum Pidana Anak masih 25 menit lagi. Tak perlu terburu-buru, pikir Satryo.

Satryo tidak perlu terburu-buru. Satryo memang tak pernah terburu-buru. Email dulu itu kemudian berlanjut ke email kedua, email ketiga dan keempat. Satryo bercerita apa saja. Mencoba memikatnya dengan teori:

date: sun, 26 jan 2004 08: 41: 02
from: ”rindu jawa”
subject: re: cerita dari solo
to: ”elliya putri”

mohammad sobary mengidentifikasi dengan cerdas gejala kekinian
dari sistem politik khas tanah air kita
reformasi yang membuka akses bagi kemungkinan “pemberdayaan masyarakat”
dimanfaatkan betul oleh “masyarakat” ini untuk melakukan
apa yang saya sebut sebagai pembalikan perspektif,
untuk tidak menyebutnya sebagai balas dendam atas kekalahan sejarah.
masyarakat tampaknya benar-benar menghayati diktum vox populi vox dei,
atau mengamalkan dengan kesadaran penuh prinsip-prinsip demokrasi
bahwa masyarakat pemilik sah suatu negeri
yang hukumnya fardu dilayani oleh gerombolan yang di indonesia
bernama pemerintah….

realitas yang mengemuka tidak usah disebut lagi:
atas nama rakyat, atas nama mayoritas,
atas nama hak yang dulu diberangus….
pelanggaran terhadap hukum menjadi sah.



setiap hidup di awali dengan kebingungan (sokrates)
filosof adalah orang-orang bingung (al ghazali)
pernyataan bahwa filosof adalah orang bingung merupakan pernyataan yang membingungkan (ibnu rusyd)
kebingungan itu ternyata menyenangkan (saya)

Tak mempan, tapi justru Satryo semakin keranjingan. Email-emailnya kemudian semakin tak relevan.

Satryo percaya Elliya membaca emailnya. Namun tak satupun dibalasnya, tak sekalipun ia memaki. Tak sedikitpun ia penasaran, kecuali dulu sekali konfirmasi apakah email ini salah kirim atau tidak. Satryo sampai menduga Elliya ini terbuat dari komponen pilihan yang tahan banting. Satu-satunya yang dia lakukan terhadap Satryo hanya mengabaikannya.

Bagaimana kalau merajuk:

date: sat, 17 apr 2004 03: 22: 55
from: ”rindu jawa”
subject: re: cerita dari solo
to: ”elliya putri”

lagi flu berat nih. dan menunggu.
sebenarnya saya sudah berjanji untuk gak email
ke elliya lagi. maaf kalau sudah menganggu.
tetapi saya belum bisa.

baiklah, saya akan cerita-cerita.
apa saja.
seperti kepada
diri.

Capek. Lahir batin. Mungkin sudah saatnya.

date: fri, 1 okt 2004 09: 22: 16
from: ”rindu jawa”
subject: re: cerita dari solo
to: ”elliya putri”



tah tahu kenapa email saya tidak elliya balas.
sudah lama saya menunggu. sudah lama pula saya
membohongi diri sendiri.
ternyata saya harus banyak belajar untuk
memahami orang lain.

tibalah saat tersulit bagi saya….
saya harus keluar dari dunia yang tidak menyenangkan ini.
biarlah saya mengutuki diri sendiri:
bahwa elliya begitu sulit ditundukkan.
ya. saya menyerah.
dan mohon maaf telah menjadi anak bandel satu tahun terakhir ini.

salam

Satryo tidak pernah merasakan kelegaan seperti ini sebelumnya. Sebagai seorang yang hendak selalu berlaku adil sejak dalam pikiran, Satryo masih perlu banyak belajar. Tangguh sekali Elliya ini. Benar kata Sigit tempo hari. Kalau bukan oleh konsep yang diikatnya dengan kuat, laku menjadi akhwat sungguh sepi di era globalisasi yang peradaban dibentur-benturkan sedemikian ini.

Saat pesan pendek dari Elliya masuk ke handphone Nokia 3315 miliknya, Satryo sudah lebih tenang. Dengan tenang pula Satryo menyimak Elliya. Tidak ada yang baru. Persis seperti kata Sigit dulu itu.

Kampus Fakultas Hukum sudah terlihat. Dari penghabisan jalan Fakultas Ekonomi, guguran angsana sudah tidak ada lagi. Jalan dari Ekonomi ke Hukum lebih banyak ditanami pohon trembesi. Meskipun jalan yang ditempuhnya tak lagi romantik bertabur angsana, namun Satryo tak berkecil hati. Belajar lagi. Belajar lagi.

 

Febrie Hastiyanto. Menulis puisi, cerpen, esai yang dipublikasikan media nasional dan lokal. Puisinya Sajak Seorang Pejoang yang Dikhianati Senapannya menjadi finalis Krakatau Award 2009. Bukunya Kota dalam Ranselku (2011). Bergiat dalam kelompok Studi IdeA. Kini tinggal di Slawi Tegal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya