SOLOPOS.COM - Ilustrasi permen (Candy.com)

Solopos.com, SOLO — Pernahkah Anda mendapat kembalian uang receh tapi justru mendapat permen saat berbelanja? Atau mungkin pramuniaga justru menawarkan Anda untuk menyumbangkan uang kembalian tersebut kepada yayasan atau aksi sosial tertentu?

Mungkin banyak konsumen yang pasrah saja ketika mendapat tawaran tersebut. Ada juga yang menerima meskipun sambil menggerutu, tapi ada juga yang sampai marah-marah dan menolak keras.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Tahukah Anda sebenarnya sudah ada peraturan yang bisa menjadi rujukannya. Praktik pengembalian uang receh yang diganti dengan permen atau uang kembalian disumbangkan saat konsumen membeli barang di mini market, supermarket dan lain sebagainya sebenarnya dilarang.

Bahkan Bank Indonesia (BI) melarang toko atau ritel yang menjadikan permen sebagai kembalian uang pembayaran dari pembeli.

Baca Juga: Driver Ojol Kehilangan Kerja Gara-Gara Uang Kembalian

Menurut Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN) Rizal E. Halim, tidak diperkenankan atau dilarang pihak toko atau ritel memberikan uang kembalian berupa permen. Karena permen bukan alat pembayaran.

“Tidak boleh mengembalikan dengan permen. Kemudian ada lagi, kalau kembaliannya nggak ada, disarankan disumbangkan,” ujarnya, disela kunjungannya di Surabaya bertemu Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak, Kamis (5/11/2020) seperti dilansir dari rri.co.id.

Bahkan, jika disarankan untuk disumbangkan. Pihak toko atau ritel harus menunjukkan legalitas lembaga sosial yang menerima dana sumbangan tersebut. Selain itu, tidak diperkenankan juga, uang konsumen digunakan sebagai dana CSR.

“Kalau disumbangkan untuk kegiatan sosial maka harus punya izin kegiatan sosial itu, itu diatur oleh Kementerian Sosial, aturannya adalah gak boleh [uang kembalian diganti permen],” tambahnya.

Baca Juga: Mantap! Perputaran Uang Belanja ASN di UMKM Madiun Capai Rp11,4 Miliar

Namun, menurut Rizal, tidak semua masalah konsumen harus dilaporkan ke pusat, namun sebisa mungkin diselesaikan antara konsumen dan pelaku usaha. Jika tidak, bisa dilaporkan ke Lembaga Perlindungan Konsumen sebagai penengah. Karena biayanya lebih murah dan lebih efisien.

Tetapi, jika tindakan yang dilakukan pelaku usaha tersebut sudah membahayakan keselamatan konsumen, kemudian mengarah kepada pelanggaran hukum, seperti penipuan, maka bisa dilaporkan ke pihak yang lebih atas.

“Kasus konsumen yang membahayakan keselamatan jiwa, masif, meresahkan, ini naik terus sampai tingkat mitigasi khususnya, sampai pidana,” ujarnya.

Baca Juga: Kemenkeu Blokir Sementara Rp39,71 Triliun Belanja K/L, Kenapa ?

Seperti dikutip dari Bisnis.com, dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, disebutkan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian rupiah.

Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang juga menyebutkan Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau transaksi keuangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya