SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Mengampuni Maling (Solopo/Istimewa0

Solopos.com, SOLO—Maling berpesta di Dukuh Halimun. Dalam sepuluh hari terakhir ini, empat warga kampung itu kehilangan sepeda, televisi, kelinci, ayam, selimut di jemuran, dan barang sederhana lainnya. Ronda malam digalakkan pun terasa percuma.

Dukuh Halimun dibelah jalan beraspal kelas III yang menghubungkannya dengan kampung lain. Rumah-rumah di utara jalan berimpitan, berdesak-desakan mirip kawasan kumuh di kota.

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

Di selatan jalan ada lima rumah yang jarak antarrumah agak berjauhan. Empat dari lima rumah itulah yang kemalingan dalam sepuluh hari terakhir ini. Hanya rumah Budiman yang sejauh ini masih aman.

Di belakang lima rumah selatan jalan itu terdapat kuburan, kebun, sawah, sungai, dan hutan kecil. Orang-orang yakin ke sanalah maling itu melarikan diri. “Maling itu pasti orang miskin,” kata Halimah, istri Budiman, suatu malam, di ranjang besi mereka.

Halimah menatap langit-langit kelambu biru. Selimut putih bergaris-garis biru membungkus tubuhnya. Perutnya tampak membuncit.

“Kamu sedang hamil, tak baik bicara tentang maling. Nanti anak kita….”

“Bagaimana menurutmu?” Halimah memiringkan tubuh ke kiri, menatap Budiman. “Maling itu pasti orang miskin, bukan?”

“Yeah.” Budiman bergumam. “Maling itu orang miskin.”

“Orang kaya tidak mencuri ayam atau selimut di jemuran. Orang kaya mencuri anggaran proyek.”

“Apa mandor proyek sepertiku bisa menjadi maling?”

Halimah tersenyum.

“Kamu tidak, Mas. Kamu mandor yang baik. Aku percaya itu.”

“Terima kasih. Kamu pun istri yang baik. Aku percaya itu.”

Halimah mengubah posisi tubuhnya. Sekarang ia telentang dan memandang langit-langit kelambu biru. Ia menyebut lima warga kampung yang layak dicurigai sebagai maling. Semuanya orang miskin. Banyak orang miskin di kampung itu.

Budiman terhenyak.

“Mengapa kamu masukkan juga Pak Bonasir sebagai tersangka?”

Halimah menoleh.

“Tidakkah Mas curiga, sebentar lagi Pak Bonasir akan punya gawe, menikahkan anak perempuannya. Dari mana seorang buruh tani macam Pak Bonasir punya uang untuk menikahkan anaknya bila bukan dari mencuri? Mas tentu sudah dengar dia akan menanggap organ tunggal dan kuda lumping. Dari mana dia punya uang?”

“Mungkin calon besannya yang menyewa organ tunggal dan kuda lumping?”

“Calon besannya pun buruh tani. Calon menantunya lebih parah, pekerjaannya tak menentu. Mereka orang-orang tak punya uang.”

“Kamu jangan berburuk sangka. Tak baik untuk janinmu…”

“Ini analisis, bukan buruk sangka.”

“Kalau Pak Bonasir seburuk analisismu, mengapa ia bisa menjadi ketua RT?”

“Karena ini kampung kerajaan.”

“Maksudmu?”

Halimah mendesah.

“Aku lupa, Mas Budi baru setahun di kampung ini.”

Halimah kembali memiringkan tubuh dan menatap Budi. “Kakeknya ketua RT, ayahnya ketua RT, dan sekarang ia pun ketua RT. Memang ada pemilihan ketua RT, tapi itu formalitas belaka. Karena ini kampung kerajaan. Perlu Mas Budi tahu, sejak muda Pak Bonasir sudah gemar mencuri!”

“Kamu yakin?”

“Ayah yang cerita. Ayah tidak memilihnya ketika pemilihan ketua RT tiga tahun silam. Ayah tidak mau kampung ini dipimpin maling.”

“Kamu memilih siapa saat itu?”

“Tiga tahun yang lalu aku baru lulus SMA, belum punya KTP, Sayaaaangg!” Halimah mencomel dagu Budiman. Gemas.

“Baiklah,” kata Budiman. “Biar kusimpulkan pembicaraan ini. Ini kampung kerajaan dan Pak Bonasir menjadi Ketua RT karena trah. Lima rumah di selatan jalan, sudah empat rumah yang kemalingan. Hanya rumah kita yang masih aman. Apa menurutmu rumah kita juga akan kemalingan? Menurutmu begitu? Rumah kita akan kemalingan juga?”



Tak ada jawaban. Budiman menoleh. Mata Halimah terpejam, napasnya naik turun teratur. Halimah selalu begitu. Detik ini cerewet, detik berikutnya sudah terlelap.

***

Tengah malam Budiman terjaga. Ia terbiasa begitu, bangun tengah malam. Ia menyibak kelambu lalu meraba meja kecil di dekat ranjang, tetapi tidak menemukan ponselnya. Ia beranjak dari ranjang, menekan saklar di dinding dekat ranjang. Lampu menyala, ponselnya tak ada di kamar.

Budiman keluar kamar. Menyalakan lampu ruang tengah. Mencari-cari ponsel di sekitar rak televisi, tetapi tak ada.

Ah, pasti di dapur. Budiman ingat, saat makan malam bersama istri di dapur, ia sibuk membalas e-mail dari bosnya. Ia yakin ponselnya pasti di meja makan di ruang dapur. Seribu e-mail mungkin sudah masuk ke ponselnya.

Budiman hendak menuju dapur, namun langkahnya terhenti. Berjingkat ia melangkah, tangannya meraba dinding. Menekan saklar. Ketika lampu ruang dapur menyala, Budiman terhenyak.

Di sudut ruang dapur, tampak sesosok berpenutup kepala seperti teroris. Sepasang mata sosok itu tampak membelalak dan gerakannya tampak gugup.

Baca Juga: Kisah Ganjil Ajo Bariang

Ia berusaha lari, namun kakinya membentur kaki meja, tersungkur di lantai keramik. Budiman yang berbadan tegap dan kekar dengan sigap melompat dan menyergap sosok itu. Menelikung tangan sosok itu. Merenggut penutup kepala sosok itu.



Budiman terhenyak lagi.

“Ya, Tuhan! Mengapa Bapak lakukan ini?” seru Budiman dengan suara ditekan rendah.

“Ampun, Pak Budi. Ampuni saya,” sosok itu seorang lelaki setengah baya bertubuh kurus merintih dengan suara ditekan rendah pula.

“Apa yang Bapak ambil?”

“Di saku celana saya.”

Budiman sigap merogok kantong celana panjang lelaki penyusup itu, mengeluarkan sebuah ponsel berharga 3 jutaan rupiah.

“Apa lagi yang Bapak ambil?” tanya Budiman.

“Hanya itu. Saya baru saja masuk.”

“Mengapa Bapak lakukan ini?”



Budiman melepaskan telikungannya, meminta lelaki penyusup itu berdiri.

“Saya bisa serahkan Bapak ke orang-orang di pos ronda!” Budiman mengancam.

Wajah lelaki setengah baya itu pucat, matanya tampak resah dan memerah. Mungkin sebentar lagi ia menangis. Ia bersimpuh di depan Budiman.

“Ampuni saya Pak Budi. Saya terpaksa melakukan ini demi anak perempuan saya. Anak saya ingin pernikahannya meriah, ada organ tunggal dan kuda lumping.”

“Saya bisa laporkan Bapak ke polisi!”

Lelaki itu memeluk kaki Budiman.

“Jangan, Pak Budi. Saya janji, ini yang terakhir.”

“Kalau bapak ingkar?”

Lelaki itu tertegun.



“Saya janji, Pak. Ini benar-benar yang terakhir.”

“Kalau bapak ingkar, saya akan lapor polisi!”

Lelaki itu mempererat pelukan di kaki Budiman.

“Ampuni saya, Pak Budi. Saya benar-benar menyesal.”

“Menyesal karena tertangkap?”

“Saya menyesal, Pak Budi. Saya menyesal, saya tobat.”

Wajah lelaki penyusup itu basah oleh air mata. Tak tahan Budiman menatapnya dan ia merasakan sepasang matanya menghangat. Mungkin sebentar lagi ia ikut pula menangis.

“Pergilah,” kata Budiman. “Tapi ingat, kalau ada pencurian lagi di kampung ini, saya akan laporkan bapak ke polisi!”

Lelaki itu mencium tangan Budiman.

“Terima kasih, Pak Budi. Terima kasih.”

Setelah lelaki penyusup itu pergi melalui pintu belakang, Budiman duduk menenangkan diri. Ia kemudian ke kamar mandi, berwudu, lalu ke ruang salat untuk bertahajud.

Usai tahajud, Budiman kembali ke kamar. Halimah masih terlelap. Budiman meletakkan ponselnya di meja dekat ranjang, sekilas ia melihat di layar ponsel menunjukkan pukul 01.48 dini hari. Ia mematikan lampu kamar dan pelan-pelan membaringkan tubuhnya ke ranjang besi.

Ranjang besi berderit sesaat. Halimah menggeliat.

“Mas bicara dengan siapa? Mas mengigau lagi ya?” gumam Halimah, matanya terpejam.

“Ya, Dik. Mas mengigau.”

Batang, 23 Januari 2022.

 

Sulistiyo Suparno, penulis cerpen kelahiran Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional. Sehari-hari bersama istri berjualan soto ayam. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya