SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Warisan abadi Kartini, yang layak dimaknai secara mendalam dan dijaga generasi-generasi sesudahnya, sebenarnya adalah budaya membaca dan menulis. Peringatan Hari Kartini tiap 21 April jamak melupakan urusan ini.

Kemampuan membaca dan menulis membutuhkan niat kuat, energi tinggi, dan kerja keras. Manusia tidak terlahir dengan kemampuan membaca dan menulis. Kemampuan ini harus dilatih.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Ketika telah mampu membaca dan menulis dasar—yang dibutuhkan umtuk kebutuhan minimal harian, misalnya urusan administrasi kependudukan atau urusan sosial kemasyarakatan—tetap butuh latihan untuk memberdayakan menjadi kebiasaan hidup.

Berbeda dengan kemampuan melihat dan mendengar. Ini dua kemampuan yang diberikan kepada setiap manusia sejak lahir. Melihat dan mendengar bisa dilakukan siapa saja. Tidak butuh dilatih. Kemampuan ini seturut perkembangan fisik dan psikis tiap individu.

Membaca dan menulis—yang menjadi kebiasaan sehari-hari—bukan perilaku jamak, apalagi membaca buku. Buku pada era sekarang tentu mencakup buku yang dicetak di kertas dan buku dalam format digital atau e-book.

Membaca buku bukan kebiasaan mayoritas warga negeri ini. Tak perlu sajian data statistik untuk menunjukkan ini. Ini telah menjadi pemahaman umum.

Kartini dikenang sampai hari ini, hingga 120 tahun sejak kematiannya pada 17 September 1904, adalah karena kebiasaan dia membaca dan menulis. Kartini ”hidup” sampai hari ini karena dia menulis. Menulis itu buah membaca.

Memahami Kartini dan mengontekstualkan pemikiran-pemikiran Kartini yang dia ekspresikan secara tertulis dalam surat-surat kepada sahabat pena di luar negeri, sebagai jalan ”perjuangan” dia masa itu, mensyaratkan membaca.

Lomba membaca surat-surat Kartini dilakukan di banyak sekolah dan banyak lembaga. Ini tentu ikhtiar yang baik untuk memahami pikiran-pikiran Kartini, perjuangan Kartini, harapan Kartini, dan relevansinya dengan kondisi terkiwari.

Membaca surat-surat Kartini tentu tak sama dengan membaca surat-surat perempuan anonim atau perempuan yang tidak kita kenal. Membaca surat-surat Kartini harus berdialektika dengan pengetahuan tentang Kartini.

Berdekade-dekade Kartini mewujud di tengah generasi yang berganti dengan gambaran yang relatif sama. Wujud Kartini dalam beberapa generasi yang paling kentara bisa disimak pada peringatan Hari Kartini dengan ciri khas pakaian adat dan aneka lomba, termasuk lomba membaca surat-surat Kartini.

Selama berdekade-dekade Kartini muncul di tengah beberapa generasi di atas fondasi Dharma Wanita. Imajinasi tentang Kartini di atas fondasi itu adalah perempuan sebagai istri pendamping suami, pengurus utama rumah tangga, dan bertugas membesarkan anak-anaknya.

Saya menemukan sosok Kartini yang sangat jauh dari imajinasi ala Dharma Wanita—era Orde Baru—itu. Saya beberapa kali membaca surat-surat Kartini yang dihimpun dalam buku R.A. Kartini; Emansipasi: Surat-surat kepada Bangsanya 1899—1904 terbitan Jalasutra (2014).

Pembacaan saya meruntuhkan imajinasi Kartini yang dikonstruksi oleh Dharma Wanita maupun imajinasi Kartini sebagai ”feminis pertama” di Indonesia. Pembacaan berkali-kali atas surat-surat Kartini membawa saya pada kesimpulan dia memang manusia biasa dengan segala kompleksitas diri.

Kompleksitas karena kepribadiannya. Kompleksitas karena zaman. Kompleksitas karena harapan dan cita-cita. Pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya hingga hari ini adalah kenapa Kartini ”menyerah”, padahal dia punya kakak laki-laki, R.M.P. Sosrokartono, yang berpendidikan Eropa dan berpikiran sangat maju?

Saya sepakat dengan analisis Katrin Bandel dalam pengantar buku R.A. Kartini; Emansipasi: Surat-surat kepada Bangsanya 1899—190, bahwa Kartini tidak mudah dimengerti, dan mungkin dia sendiri juga tidak mudah memahami dirinya sendiri.

Untuk ukuran perempuan Jawa masa itu, Kartini jelas sangat terdidik. Dia terdidik dengan gaya pendidikan Eropa. Dia gemar membaca. Bacaannya beragam. Menguasai bahasa Belanda. Dia bergaul dengan orang-orang Belanda.

Bacaan dan pergaulan yang luas itu membuat Kartini sadar tentang nilai-nilai humanisme, termasuk emansipasi perempuan. Nilai-nilai itu sering berbenturan dengan realitas kehidupan dan kedirian yang dijalani Kartini sehari-hari.

Kartini berkesimpulan kebudayaan tempat lahir dan hidupnya kolot. Kala itu ia berpendapat kemajuan hanya bisa datang dari Barat. Pada saat bersamaan dia sadar sepenuhnya sebagai pribumi, sebagai orang Jawa, dia hidup di bawah kekuasaan kolonial.

Ia melihat sendiri ketidakadilan, rasisme, dan eksploitasi atas negerinya. Hasrat merengkuh kemajuan—yang dia yakini hanya berasal dari Barat—bertemu dengan rasa cinta dan hormat kepada keluarga dan negerinya yang menjadi objek ketidakadilan, rasisme, dan eksploitasi.

Dia menjadi gelisah dan terombang-ambing. Inilah jawaban sementara yang saya peroleh dari pembacaan saya atas Kartini sejauh ini. Persis pada jawaban sementara inilah maka membaca menjadi keniscayaan pada era kini, era setelah 120 tahun kepergian Kartini untuk selamanya.

Kartini memahami realitas, bercita-cita, berharapan, berempati kepada kaum perempuan senegerinya karena membaca. Ia ”ngulir budi” demi menemukan solusi dan strategi dengan membaca.

Tanpa membaca mustahil dia bisa mengekspresikan kegelisahan lewat surat-surat—sebagian sangat panjang—kepada sahabat penanya di Barat.

Dalam konteks yang berbeda, dilema zaman yang dihadapi Kartini bisa jadi juga kita rasakan—tidak hanya oleh kaum perempuan—pada masa kini. Keterombang-ambingan juga melanda generasi yang hidup pada zaman kiwari.



Kelebihan Kartini dibanding kaum perempun sezaman adalah keterbukaan wawasan dan kesempatan membaca aneka bacaan dan kemudian menulis. Inilah yang mendorong Kartini—dalam keterombang-ambingan—mengambil keputusan yang dia yakini sebagai jalan terbaik.

Keputusan itu bisa saja disebut sebagai pilihan rasional, walau saya memaknai sebagai memilih jalan kekalahan. Tentu saja ini layak diperdebatkan karena frasa ”jalan kekalahan” itu muncul dari pembacaan realitas dulu pada masa dan konteks zaman kiwari.

Apabila dikaji pada zaman itu, bisa jadi ”jalan kekalahan” itu memang yang paling rasional. Mungkin saja. Kehidupan masa kini, dengan keberlimpahan informasi, tetapi dengan budaya membaca  dan menulis yang rendah, juga meniscayakan keterombang-ambingan.

Saya teringat ungkapan wartawan senior dan sastrawan Bre Redana yang dia unggah di X beberapa hari lalu. Tidak saya kutip secara verbatim.

Dia menulis bahwa kini menjadi cerdas—berwacana banyak dan berwawasan luas—itu sukar di bawah penguasa (kekuasaan) yang tidak berniat mencerdaskan bangsanya.

Menjadi cerdas pada masa kini itu sukar dan mahal. Kini mereka yang terkungkung dalam ketidakcerdasan struktural diajak menikmati kemenangan sambil mengolok-olok intelektualitas dan peradaban.

Intelektualitas dan peradaban itu yang dicita-citakan Kartini untuk kaum perempuan senegerinya pada masa itu. Kini intelektualitas dan peradaban itu malah diolok-olok, budaya membaca dan menulis kalah dengan joget dua menitan atau tiga menitan…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 25 April 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya