SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Lalaki Tua di Kursi Roda(Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Duduk di kursi roda, lelaki tua didorong lelaki gondrong. Masih gelap Subuh, lelaki gondrong itu mendorong kursi roda lelaki tua melintasi depan taman apartemen pada musim bunga tulip.

Mereka mengikuti langkah pensiunan polisi. Namun, pensiunan polisi tak mengenali mereka. Telah empat hari mereka mengikuti pensiunan polisi itu ke masjid. Wajah lelaki tua tersebut menyusut dalam kulit yang keriput. Sepasang matanya hampa.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Lelaki tua di kursi roda menunggui pensiunan polisi di pintu keluar masjid. Di ambang pintu masjid, langkah pensiunan polisi dihentikan lelaki tua di kursi roda.

“Kau lupa denganku?” tanya lelaki tua di kursi roda dengan suara penuh harap dan bergetar.

Menghentikan langkah, memandang sejenak, pensiunan polisi tak dapat mengenali lelaki tua di kursi roda. Ia pernah merasa bertemu dengan lelaki tua itu, tetapi lelaki tua itu telah mengalami perubahan perangai.

“Aku lelaki yang melarikan istrimu ke Pamukkale,” kata lelaki tua lumpuh itu. “Aku datang padamu untuk minta maaf.”

Tertegun, pensiunan polisi memandangi lelaki tua di kursi roda yang menahan tangis. Ia masih terdiam. Kaget.

“Kalau bakal seperti ini jadinya, aku tak akan pernah berani membawa lari istrimu. Aku tak menduga bakal lumpuh,” kata lelaki tua di kursi roda. ”Kenapa kau tak menembakku saja biar berakhir penderitaanku?”

“Bukan aku yang berhak mengadilimu.” Pensiunan polisi meninggalkan lelaki tua di kursi roda. Ia tak pernah menduga lelaki tua itu akan kehilangan keperkasaannya. Lalu, siapa lelaki gondrong yang selalu mendorong kursi roda? Ia juga tak pernah mengerti kenapa lelaki tua itu berada di kota ini. Bukankah selama ini ia tinggal di Pamukkale? Apakah ia pindah ke Konya?

***

Masih pagi ketika lelaki gondrong itu mendorong kursi roda si lelaki tua yang lumpuh memasuki Mevlana Museum. Belum banyak orang berziarah ke makam Rumi.

Pensiunan polisi – aparat keamanan di Mevlana Museum – ingin menghindari berpapasan dengan lelaki tua di kursi roda. Tetapi, lelaki tua di kursi roda itu seperti ingin berbincang-bincang dengannya.

“Aku sengaja tinggal di kota ini untuk meminta maafmu,” kata lelaki tua di kursi roda.

“Sejak kaubawa pergi istriku, aku sudah memaafkanmu,” kata pensiunan polisi. Dia tak tertarik bertemu lelaki tua di kursi roda.

“Kalau begitu, doakan aku agar sembuh seperti sediakala,” balas lelaki tua di atas kursi roda.

“Akan selalu kudoakan agar kau sembuh.” Segera pensiunan polisi itu kemudian menghindar dari lelaki tua di kursi roda. Ia merasa tenteram ketika lelaki tua di kursi roda meninggalkan Mevlana Museum. Ia berharap tak akan bertemu lagi dengan lelaki tua di kursi roda tersebut. Ia tak ingin kembali terlibat dengan lelaki yang pernah membawa istrinya pergi, meninggalkan keluarga, pindah ke Pamukkale.

Ketika istri pensiunan polisi itu mengalami lumpuh, hendak dikirim ke panti jompo, Akila, putri sang pensiunan polisi, yang membawa perempuan lumpuh itu pulang ke Konya. Pensiunan polisi itu menerima istri yang pernah lari meninggalkannya dalam keadaan lumpuh, tak bisa bicara, dan merawatnya.

***

Pementasan tari sema baru saja usai di Mevlana Cultural Centre. Pensiunan polisi mengenakan jubah panjang dan topi menjulang, turut menari sema dengan iringan baglama1), tabla2), dan flute. Ia merasakan ketenangan jiwa.

Ia tak pernah buru-buru meninggalkan gedung pertunjukan. Ia menanti gedung pertunjukan sepi, tanpa penonton, dan seorang diri ia menikmati perjalanan pulang ke apartemen.

Baca Juga: Tak Ada Doa untuk Bapak

Ia mengenang saat Kerem – guru tari sema – masih hidup. Dia selalu mengajak berjalan pulang bersama, memandangi gemerlap bintang-bintang dalam hening, mencium aroma bunga-bunga tulip, tanpa percakapan. Kadang mereka singgah di restoran untuk membeli etli ekmek3).

Dengan sedikit percakapan, mereka menikmati etli ekmek dan minum ayran4). Kerem sesekali bicara mengenai puisi-puisi Rumi dan sepasang matanya akan tampak bercahaya.

Meninggalkan gedung pertunjukan tari sema, pensiunan polisi tercengang ketika berpapasan dengan lelaki tua di kursi roda yang menghentikan langkahnya. “Aku mesti menanyakan satu hal padamu.”

“Tanyakanlah!”

“Kau seorang penari sema, jadi tentu tak akan berdusta,” kata lelaki tua di kursi roda. “Dulu aku pernah ditembak seseorang di ladang gandum. Beruntung cuma mengenai bahu kiri. Apa kau yang menyuruh orang itu untuk menembakku?”

“Untuk apa aku menyuruh seseorang untuk menembakmu? Di hatiku tak ada dendam dan kebencian padamu.”

“Dia menembakku atas keinginannya sendiri?”

“Tentu.”

Lelaki tua di kursi roda itu masih ingin mengajukan pertanyaan. Tetapi, pensiunan polisi itu meninggalkannya. Pensiunan polisi itu ingin menikmati kesendiriannya, berjalan kaki dalam senyap menuju apartemennya, merasakan angin malam yang membawa kenangan tentang harum bunga tulip.

***

Senyap Subuh, lelaki tua di kursi roda sudah berada di taman apartemen, menunggu pensiunan polisi melangkah ke masjid. Kali ini pensiunan polisi tampak sangat tenang ketika berhadapan dengan lelaki tua di kursi roda.

“Doakan aku segera sembuh,” pinta lelaki tua di kursi roda. “Ladang gandum sudah kujual untuk berobat. Tapi sampai kini aku masih lumpuh.”



“Kudoakan kau supaya cepat sembuh.”

Lelaki tua di kursi roda itu lalu menyalami pensiunan polisi. “Terima kasih. Kalau tahu bakal seperti ini tubuhku, aku tak akan membawa lari istrimu.”

Pensiunan polisi melanjutkan perjalanan ke masjid. Ia sengaja melangkah pelan-pelan, menanti percakapan selanjutnya dengan lelaki tua di kursi roda. Tetapi, lelaki tua di kursi roda sudah tidak mengajukan permintaan apa pun. Lelaki gondrong tersebut mendorong kursi roda lelaki tua mencapai ambang pintu masjid. Lelaki tua itu mengikuti Salat Subuh.

Saat pensiunan polisi meninggalkan masjid, ia tak lagi berpapasan dengan lelaki tua di kursi roda. Ia berjalan kaki dengan tenang, menikmati langit Subuh kemerahan.

***

Lelaki tua di kursi roda tak pernah percaya ketika mendengar kabar bahwa malam itu pensiunan polisi meninggal usai putaran terakhir tari sema di Mevlana Cultural Centre. Dalam hati ia menggugat: kenapa bukan aku yang mati? Ia meminta adik kandungnya, lelaki gondrong setengah baya, untuk mengikuti pemakaman pensiunan polisi.

Menjelang siang lelaki tua di kursi roda menyaksikan pemakaman pensiunan polisi dari kejauhan.

Lelaki tua di atas kursi roda itu sempat melihat istri pensiunan polisi di antara para pelayat. Perempuan tua itu sudah lumpuh di kursi roda, tak bisa bicara. Ia didorong anak lelakinya untuk mencapai tepi liang lahat. Teman-teman penari sema juga berdatangan, menampakkan wajah yang tenteram.

Teman-teman pensiunan polisi dari Mevlana Museum turut melayat dengan wajah yang tulus. Mata mereka seperti bisa menyingkap cahaya kecintaan di balik pemakaman pensiunan polisi.



Angin membawa harum bunga tulip yang bermekaran di taman-taman kota. Lelaki tua di kursi roda menghirup harum bunga tulip yang lembut dari delapan penjuru mata angin.

***

“Aku mesti membawamu ke panti jompo ini,” kata lelaki gondrong pada lelaki tua di kursi roda. Hari masih pagi dan penghuni panti jompo sedang sarapan. “Kau harus menjalani hidupmu di sini.”

“Kau tak mau lagi merawatku?”

“Banyak perawat yang akan menjagamu,” kata lelaki gondrong. “Aku mesti bekerja untuk menghidupi keluarga. Aku tak bisa terus-menerus merawatmu.”

Begitu saja lelaki gondrong lalu meninggalkan lelaki tua di kursi roda. Tak sekalipun ia menoleh. Ia melangkah panjang-panjang melewati taman bunga tulip penuh warna, memasuki mobilnya, dan meninggalkan kakak kandungnya tanpa perasaan iba.

Seorang perawat wanita setengah baya menghampiri lelaki tua di kursi roda. Ia mendorong kursi roda lelaki tua ke dalam kamarnya. Lelaki tua di kursi roda itu merasa sebagai orang buangan. Aroma bunga tulip yang dihirupnya tak memberikan ketenangan jiwa.

**

Konya, Juli 202



Pandana Merdeka, Maret 2023

 

Catatan:

Baglama: instrumen musik yang digesek, kecapi berleher panjang.
Tabla: instrumen musik perkusi tradisional.
etli ekmek: roti dengan daging, hidangan khas Konya.
Ayran: minuman berbahan dasar yogurt, air, dan garam.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya