SOLOPOS.COM - Anggota KPAI Sub Komisi Pengaduan, Dian Sasmita. (istimewa)

Solopos.com, SUKOHARJO — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut memberikan atensi terkait kasus dugaan pencabulan yang dilakukan pria bernisial, S, 58, terhadap anak perempuannya, G, 21, di Sukoharjo. KPAI kini turut turun tangan menelaah proses hukum kasus yang jalan di tempat tersebut.

Komisioner KPAI sekaligus pendiri Sahabat Kapas, Dian Sasmita, mengatakan kasus tersebut telah masuk dalam aduan ke KPAI. “Saya sudah melakukan telaah dan berkoordinasi dengan penyedia layanan atau UPTD setempat terkait pemenuhan hak anaknya,” kata Dian saat dihubungi Solopos.com pada Jumat (2/6/2023).

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Dian menegaskan KPAI selalu mendorong aparat penegak hukum (APH) untuk memproses kasus kekerasan seksual secara profesional dan berkeadilan terhadap korban. Menurutnya, hak-hak korban dalam proses hukum sudah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Dalam UU TPKS disebutkan salah satu hak korban adalah mendapat informasi perkembangan kasus. Selain itu korban berhak mendapat bantuan hukum dan pendampingan psikososial dan rehabilitasi psikis. “Termasuk ketika korban yang sudah memiliki anak tidak hanya mendapat pendampingan psikis, tetapi juga rehabilitasi sosial,” ungkap Dian.

Ia juga menyinggung lamanya proses hukum kasus tersebut di kepolisian. Menurutnya perlu digali penyebabnya, apakah ada hambatan keadilan dalam bukti-bukti yang dilampirkan atau hambatan dalam upaya lainnya. “Saya pikir dalam prosesnya perlu ditelaah lebih lanjut. Kami KPAI memberikan atensi untuk kasus ini,” tegasnya.

Dian menilai dalam proses hukumnya, APH dapat mengunakan UU Perlindungan Anak mengingat pada UU tersebut  sudah jelas diatur terkait pelanggaran hak anak. Ketika UU PA belum mengatur pelanggaran tersebut Dian menyarankan APH menggunakan UU TPKS.

Hukum acara UU TPKS dinilainya sudah sangat bagus, misalnya keterangan saksi korban sudah bisa menjadi sebuah alat bukti. Apalagi menurutnya kekerasan seksual jarang sekali dilakukan di ruang publik, justru terbanyak dilakukan di ruang domestik. Sehingga umumnya ada keterbatasan kehadiran saksi lainnya selain korban. Maka UU TPKS hadir untuk menerobos hambatan itu agar kasus kekerasan seksual dapat ditangani segera.

Bahkan dalam Pasal 25 UU TPKS sudah ditegaskan alat bukti apa saja yang bisa digunakan untuk memproses kasus kekerasan seksual. Selain itu visum et repertum dan visum et repertum psikiatrikum juga sudah bisa menjadi alat bukti.

Hak Restitusi

Ia juga menjelaskan di dalam kasus kekerasan seksual, UU TPKS maupun UU PA memberikan pemberatan hukuman jika dilakukan oleh orang tua. Selain itu UU TPKS juga memberikan jaminan hak restitusi kepada korban yang harus disampaikan oleh APH baik dari penyidik, jaksa penuntut, hingga hakim.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bisa membantu menghitung restitusi untuk mengganti kerugian yang sudah dialami korban. “Ini harus segera diproses. Pemerintah daerah punya kewajiban secara serius menyediakan tenaga-tenaga berkompeten untuk melakukan pendampingan mendukung rehabilitasinya,” jelas Dian.

Dian menguraikan ada beberapa upaya yang harus dilakukan pemerintah terkait pencegahan kekerasan seksual. Mengingat pencegahan harus dilakukan di semua lini, bahkan pada UU TPKS telah mengingatkan kembali ranah paling rentan kekerasan seksual berada di wilayah pengasuhan dan pendidikan.

Menurutnya pemerintah harus memastikan supaya ruang pengasuhan dan pendidikan menjadi pencegahan terhadap TPKS berjalan secara terus menerus. Ia juga menegaskan pendekatan sebagai bentuk pencehgahan TPKS dan perlindungan anak tidak menjadi beban satu dinas semata, tetapi hampir di semua pihak.

“Banyak kantor/lembaga dan dinas memiliki program terkait pengasuhan, tetapi apakah semua sudah berjalan?  Tidak hanya dinas sosial, Kemenag, BKKBN bahkan Kementerian Desa juga memiliki program yang menyasar pada keluarga. Ini perlu dioptimalkan semua agar bisa mengedukasi bareng,” jelas Dian.

Kronologi Kasus

Seperti diberitakan seorang pria di Kabupaten Sukoharjo dilaporkan ke Polres Sukoharjo dengan tuduhan menghamili anak kandung. Kasus tersebut telah dilaporkan sejak 3 Agustus 2021, namun hingga kini kasus tersebut masih dalam proses dan belum ada penetapan tersangka.

Korban berinisial G yang kini berusia 21 tahun masih mengalami trauma mendalam atas perbuatan ayah kandungnya, S, 58. Kuasa hukum korban, Badrus Zaman, pada Selasa (16/5/2023) mendatangi Polres Sukoharjo untuk menanyakan perkembangan kasus tersebut.

“Kami menindaklanjuti perkara tentang perlindungan anak yang sudah dilaporkan lama. Kami sebagai kuasa hukumnya hari ini meminta informasi kepada Polres Sukoharjo terkait perkembangan penyelidikannya sudah sejauh mana, karena sudah dilaporkan sejak Agustus 2021,” terang Badrus.

Ia mengungkapkan awalnya korban sempat putus asa lantaran kasus itu seolah jalan di tempat. Badrus sendiri merupakan kuasa hukum ketiga yang menangani perkara tersebut. Ia membeberkan korban mengalami pencabulan kali pertama pada 2016, saat usianya masih 14 tahun. Kala itu korban masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).

Korban mengaku saat itu awalnya ia diajak membeli baju oleh sang ayah yang juga seorang praktisi hukum di Sukoharjo. Dari ajakan itu terjadilah dugaan persetubuhan anak di bawah umur. S tega mencabuli anaknya sendiri G di sebuah hotel.

Kala itu korban mengaku tak berdaya setelah meminum minuman yang diberikan G. Kejadian serupa terus berlangsung bahkan saat korban meminta uang saku di kantor terduga pelaku. Hingga akhirnya kejadian tersebut mengakibatkan korban hamil, namun ia sempat tak mengetahui jika dirinya hamil.

Pada Maret 2017 korban baru menyadari dirinya hamil. Pada Agustus 2017, di usia delapan bulan kandungan, ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Beruntungnya saat itu tak ada yang tahu korban mengandung hingga ia bisa lulus SMP. Badrus menyebut korban dalam kondisi hamil saat mengikuti ujian kelulusan.

Terlapor juga diduga melakukan kejadian serupa pada September 2017 seusai sang korban melahirkan. Tak berhenti di sana, pada Mei 2018 dugaan pemerkosaan dilakukan kembali oleh terlapor di sebuah hotel. Hingga pada akhirnya pada 2019 korban keluar dari rumah meski masih duduk di bangku SMK.

Korban sempat tidak mempunyai keberanian mengungkap kasus tersebut hingga akhirnya setelah lulus SMK ia mendapat dukungan beberapa pihak untuk melaporkan kasus tersebut pada Agustus 2021.

Kini korban tengah berupaya meminta keadilan atas musibah yang tengah menimpanya, sebab menurutnya hingga kini korban masih mengalami trauma mendalam dan sulit berosialisasi. “Jadi ini harus ada penyidikan yang luar biasa, jangan yang biasa-biasa, karena kalau penyidikan biasa tidak bisa terungkap. Atas tindakan itu bahkan korban hamil dan melahirkan seorang anak yang kini berusia 5 tahun,” ungkap Badrus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya