SOLOPOS.COM - Ilustrasi korban kekerasan seksual (freepik.com).

Solopos.com, WONOGIRI — Apa yang dialami CD, remaja korban pencabulan dari salah satu kecamatan di Kabupaten Wonogiri sungguh membuat miris. Di usianya baru 15 tahun, ia sudah dua kali menjadi korban pencabulan.

Pertama terjadi pada 2021 saat CD masih duduk di Kelas VI SD, dan kedua terjadi baru-baru ini tepatnya pada Maret 2023. Pada kejadian kedua itu, CD menjadi korban pencabulan dua pria asal Purworejo.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Pendamping Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2PTPA) Wonogiri, Ririn Riyadiningsih, kepada Solopos.com, Selasa (28/3/2023), membenarkan CD sudah dua kali menjadi korban pencabulan.

Pada awal 2021, terang Ririn, CD yang masih kelas VI SD pernah disetubuhi pria yang ia kenal melalui media sosial Facebook. Remaja Wonogiri korban pencabulan itu berkenalan dengan pelaku melalui media sosial Facebook dan intens berkomunikasi selama delapan bulan sebelum akhirnya bertemu.

“Waktu itu korban diiming-imingi dibelikan barang dan terjadilah persetubuhan,” ujar dia. Korban pada saat itu sudah mendapat pendampingan psikologis hingga rehabilitasi. Aspek hukum terhadap pelaku pun sudah selesai, termasuk advokasi korban agar tetap bersekolah.

Namun, peristiwa serupa kembali terjadi pada korban dan kali ini, CD menjadi korban pencabulan oleh dua pria. Pertama korban dicabuli pelaku berinisial MG, 21, asal Purworejo.

Keduanya bertemu kali pertama pada 15 Maret 2023. Sebelumnya mereka saling kenal melalui aplikasi kencan dan sudah intens komunikasi selama tiga bulan. Mereka kali pertama bertemu di Wonogiri.

Ketika bertemu, remaja Wonogiri yang kemudian menjadi korban pencabulan itu tidak pamit dengan keluarga dan pergi diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua. “Waktu ketemuan itu, CD sudah bawa baju ganti. Memang sudah niat mau pergi dengan pelaku,” kata Ririn.

Motif Mencari Uang

Pelaku mengajak korban pergi dari Wonogiri menuju Sarangan, Magetan, Jawa Timur. Di sana, korban disetubuhi pelaku. Kemudian pada 16 Maret 2023 pelaku membawa korban ke Purworejo dan disewakan satu kamar indekos bulanan.

Pelaku mengimingi-imingi akan memberikan sejumlah uang untuk menghidupi korban asal mau menetap di indekos tersebut. Setelah menyewakan indekos, pelaku pergi meninggalkan korban dengan alasan akan bekerja merantau ke Kalimantan.

Ririn menyebut pelaku seperti sengaja menyerahkan korban kepada pemilik indekos. Menurut Ririn, salah satu alasan korban mau diajak pergi dan dibawa ke Purworejo karena ingin mencari uang. Korban berasal dari keluarga yang miskin di salah satu kecamatan di Wonogiri.

Celakanya, anak dari pemilik indekos memanfaatkan CD untuk melayani nafsu bejatnya. Di indekos tersebut, remaja Wonogiri itu kembali menjadi korban pencabulan oleh anak pemilik indekos yang masih berstatus sebagai mahasiswa.

Korban baru ditemukan setelah keluarga menyebarkan informasi anak hilang di media sosial. Jajaran Polres Purworejo menemukan CD di indekos tersebut dan langsung dibawa ke Mapolres Purworejo pada 18 Maret 2023.

“Di Polres Purworejo, aksi persetubuhan itu berakhir damai dengan dasar ada perjanjian hitam di atas putih antara kedua belah pihak,” ujar dia.

Pola Asuh Orang Tua

Sebelumnya diberitakan, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB P3A) Wonogiri mencatat ada 10 laporan kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur sejak Januari hingga Maret 2023 ini.

Sembilan dari 10 kasus tersebut merupakan kasus kekerasan seksual sedangkan sisanya kasus penelantaran anak. Dari 10 kasus tersebut, semua korbannya adalah anak perempuan.

Jumlah kasus tersebut sudah separuh dari total jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Wonogiri yang tercatat pada 2022 lalu, yaitu sebanyak 20 kasus. Mayoritas kasus kekerasan seksual pada anak itu bermula dari pelaku dan korban berkenalan dan berkomunikasi intens di media sosial.

Pada sisi lain, banyak korban yang tidak mendapatkan pola asuh dari orang tua secara baik. Selain itu, kemiskinan juga menjadi salah satu faktor pemicu anak menjadi korban. Penggunaan media sosial, membuatnya ingin mengikuti gaya hidup yang dia lihat di media sosial itu.

Sementara orang tua tak mampu memenuhi kebutuhan gaya hidup anak. Pada waktu yang sama, tidak ada kontrol dari orang tua kepada anak dalam menggunakan media sosial. Anak dibebaskan berselancar apa dan kapan saja di Internet.

Ririn melanjutkan orang tua harus sering berkomunikasi dengan anak. Mengajak ngobrol anak agar terbuka dengan orang tua tentang kehidupannya. Selain itu, jangan sekali-kali menggunakan kekerasan termasuk secara verbal untuk mendidik anak.

Hal itu justru akan merusak pola komunikasi. Anak menjadi takut dan mencari pelampiasan ke luar rumah. Akibatnya tidak ada kepercayaan antara anak kepada orang tua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya