SOLOPOS.COM - Ilustrasi mengendarai mobil. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO-Tidak sedikit para pemudik pada Lebaran 2023 ini bakal melakukan salat di mobil dalam perjalanan mudik atau pulang ke kampung halaman, lalu bagaimana ketentuannya menurut Islam? Saat ini sejumlah umat muslim telah melakukan perjalanan pulang kampung.

Agar tidak menimbulkan keraguan, simak ulasannya di tentang Islam kali ini.  Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitabnya Kifayatul Akhyar menuturkan bahwa diperbolehkan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan baik berkendara atau berjalan kaki untuk melakukan shalat sunah dengan menghadap ke arah tempat tujuannya, di dalam perjalanan yang panjang (yang diperbolehkan mengqashar shalat) dan di dalam perjalanan yang pendek (yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat) menurut pendapat yang dipegangi madzhab (Syafi’i). (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr [Damaskus: Darul Basyair], 2001, juz I, halaman: 125)

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis berikut yang punya arti Dari Jabir bin Abdillah Radliyallâhu ‘Anhu bahwa Nabi Muhammad SAW salat di atas kendaraannya menghadap ke mana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila beliau hendak shalat fardhu, maka beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR Bukhari)

Dikutip dari NU Online pada Selasa (18/4/2023), dari penjelasan dan hadis di atas dapat diambil satu pelajaran bahwa pada dasarnya salat yang dapat dilakukan di atas kendaraan adalah salat sunah saja. Ini bisa dipahami dari hadits di atas bahwa ketika Rasulullah akan melakukan salat fardlu, maka beliau akan turun dari untanya. Itu artinya ketika Nabi Muhammad SAW melakukan salat di atas unta yang beliau lakukan adalah shalat sunah, bukan salat fardhu.

Juga dipahami bahwa ketika seseorang melakukan salat sunah di atas kendaraan maka diperbolehkan baginya untuk tidak menghadap ke arah kiblat sebagaimana Nabi Muhammad SAW juga melakukannya. Beliau menghadap ke arah manapun unta yang ditumpanginya menghadap. Pun orang yang melakukan shalat sunah di atas kendaraan juga diperbolehkan melakukannya tidak dengan berdiri, bisa dengan duduk meskipun keadaan memungkinkan untuk melakukannya dengan berdiri.

Mengapa demikian? Karena kewajiban salat sambil berdiri itu hanya berlaku untuk salat  fardlu saja. Untuk salat sunah orang yang tidak sedang sakit sekalipun diperbolehkan melakukannya dengan duduk.

Lalu bagaimana dengan salat wajib? Masih berdasarkan hadis tersebut bahwa salat wajib tidak bisa dilakukan di atas mobil seperti dalam perjalanan mudik, kecuali bila dilakukan secara sempurna sebagaimana mestinya salat itu dilakukan. Ini bisa dipahami dari kalimat bahwa Rasulullah turun dari untanya ketika hendak melakukan salat fardhu.

Turunnya Rasulullah dari kendaraan yang ditungganginya itu dimaksudkan agar Rasulullah dapat melakukan salat fardhu sebagaimana mestinya, yakni dengan menghadap kiblat, berdiri, rukuk dan sujud secara benar. Rasulullah pernah memerintahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk melakukan salat di atas kapal laut ketika menuju ke negeri Habasyah dengan berdiri.

Maka ketika seseorang dalam perjalanan dan hendak melakukan salat fardhu sementara tidak mungkin dilakukan secara sempurna di atas kendaraan, maka ia mesti turun dari kendaraannya. Ia mesti melakukan salat fardhunya di tanah dan tidak boleh di atas mobil dalam perjalanan mudik.

Namun demikian, melihat realita di lapangan sering kali terjadi beberapa kemungkinan yang menjadikan seseorang mungkin atau tidak mungkin melakukan salat fardhu. Beberapa kemungkinan itu di antaranya adalah:

1. Bila yang ditumpangi adalah kendaraan pribadi, maka kiranya tidak ada alasan untuk tidak bisa turun dan melakukan salat fardlu di atas tanah sebagaimana mestinya. Orang yang mengendarai kendaraan pribadi tentunya ia bisa sekehendaknya menghentikan kendaraan mereka.

2. Bila yang ditumpangi adalah pesawat, kereta api, dan kapal laut, maka masih ada kemungkinan untuk bisa melakukan salat fardhu sebagaimana mestinya di atas kendaraan-kendaraan itu. Masalahnya kemudian tinggallah soal kemauan orang yang bersangkutan untuk salat atau tidak.

3. Bila yang ditumpangi adalah kendaraan umum seperti bus antar kota maka kecil kemungkinan—untuk tidak mengatakan tidak bisa sama sekali—untuk melakukan salat fardhu di atasnya. Kiranya sulit salat di atas bus sambil berdiri, rukuk, dan sujud secara sempurna. Pun sulit pula melakukannya dengan menghadap ke arah kiblat. Harapan yang tersisa adalah bila bus berhenti di tempat peristirahatan—semisal rumah makan—tepat pada waktunya shalat.

Bila terjadi kemungkinan yang ketiga, di mana penumpang benar-benar tidak bisa turun untuk salat atau melakukan salat secara sempurna di atas mbol dalam perjalanan mudik atau perjalanan panjanga lainnya maka satu-satunya yang mesti ia lakukan adalah shalât li hurmatil waqti, yakni melakukan salat sekadar untuk menghormati datangnya waktu salat. Hal ini karena pada dasarnya seseorang tidak diperbolehkan meninggalkan salat ketika ia menemui datangnya waktu salat.

Salat li hurmatil waqti ini dilakukan bagi orang yang tidak bisa memenuhi ketentuan-ketentuan salat secara sempurna, seperti tidak menemukan air dan debu untuk bersuci, dan tidak bisa menghadap kiblat, rukuk dan sujud secara sempurna. Orang yang melakukan salat li hurmatil waqti wajib mengulangi shalatnya ketika telah memungkinkan untuk melakukannya secara sempurna.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya