SOLOPOS.COM - Gambaran sosok Pangeran Diponegoro. (Wikimedia.org)

Solopos.com, SOLO -- Pangeran Diponegoro yang memiliki nama lain Pangeran Antawirya mempunyai kisah perjuangan panjang dalam melawan Belanda pada masa penjajahan. Salah satu medan perlawanan Diponegoro adalah Surakarta atau Solo dan sekitarnya.

Waktu kecil, Pangeran Diponegoro diasuh oleh nenek buyutnya yang bernama Ratu Ageng Tegalrejo dan bermukim di daerah Yogyakarta. Di Tegalrejo, Ratu Ageng mengajarkan berbagai hal kepada Pangeran Diponegoro, mulai dari berkuda, membidik dengan bedil, dan memanah.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Pada masa itu, Surakarta dikenal sebagai sentra agama Islam. Karena Ratu Ageng menganggap pendidikan agama Islam sangat penting untuk Pangeran Diponegoro, dia mengirim anak asuhnya tersebut ke Surakarta untuk dibimbing oleh seorang kiai bernama Kiai Taftajani yang merupakan ulama asli Sumatra.

Seperti yang ditayangkan dalam kanal Youtube Lentera Timur Channel, Minggu (11/12/2016), Kiai Taftajani dikenal sebagai seorang pakar penerjemah kitab-kitab Islam. Di bawah asuhannya, Pangeran Diponegoro senang membaca beberapa buku di antaranya tentang kisah kerajaan, ketatanegaraan, dan kitab-kitab hukum Islam.

Selain Kiai Taftajani, Pangeran Diponegoro memiliki penasihat Kiai Mojo. Masa-masa tersebut Belanda telah masuk ke Indonesia. Atas usul Kiai Mojo, pada 1826 Pangeran Diponegoro melakukan penyerangan besar-besaran terhadap pasukan Belanda di Gawok, Sukoharjo. Namun, satu tahun kemudian terjadi perdebatan antara Kiai Mojo dengan Pangeran Diponegoro tentang hakikat kekuasaan politik.

Kiai Mojo memintanya untuk membagi kekuasaan. Tapi, bagi Pangeran Diponegoro, dia merupakan khalifah rasul dalam perang suci di Tanah Jawa sehingga kuasa politik ada pada dirinya. Perbedaan tersebut membuat Kiai Mojo melunak dengan Belanda, tetapi akhirnya dia dibuang oleh Belanda di Tondano, Sulawesi Utara.

Tak Lagi Ejek Sri Mulyani Soal Utang, Prabowo: Harus Baik-Baik Ini

Pasca penangkapan Kiai Mojo, Diponegoro semakin menajamkan jihad fi sabililah yang menggunakan susunan khas Turki yang berbeda dengan Kasunanan Surakarta dan Yogyakarta.

Dan pada suatu kesempatan, Raja Kasunanan Surakarta, Pakubuwono VI, melakukan pertemuan rahasia dengan Pangeran Diponegoro di Hutan Krendowahono, Karanganyar. Pertemuan tersebut memutuskan jika Kerajaan Kasunanan Surakarta diminta bantuan Belanda dalam perang, mereka akan melakukan perang sandiwara.

Setelah pertemuan tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki rencana untuk bertemu dengan Keraton Kasunanan Surakarta dengan agenda menyusun rencana sabotase Belanda. Tetapi, rencana pertemuan ini bocor ke telinga Belanda.

Untuk menutupi kerja sama Surakarta dan Diponegoro, Pakubuwono VI meminta kereta kuda Diponegoro dikubur di wilayah keraton. Namun, Diponegoro berhasil bersembunyi selama 5 hari di Pasar Kliwon setelah melompati tembok Alun-Alun Utara.

Dakwah di Klaten

Saat ditahan di Semarang, Pangeran Diponegoro memerintahkan salah satu anak buahnya yang bernama Imam Rozi untuk menyampaikan surat kepada Pakubuwono VI. Surat tersebut berisi permintaan izin kepada Pakubuwono VI agar bisa berdakwah di Surakarta bagian barat.

Pakubuwono VI pun memberikan sebidang tanah di daerah Tempursari, Klaten. Hingga saat ini, wilayah tersebut dikenal sebagai pusat pendidikan Islam dan berdiri sebuah masjid.

Menko PMK: ASN Pakai Cadar Perlu Ditertibkan

Pada 8 Juli 1830, Belanda menangkap Pakubuwono VI. Bersamaan dengan itu, Pangeran Diponegoro juga ditangkap Belanda melalui siasat perundingan De Kock di Kabupaten Magelang.

Dengan penangkapannya tersebut, Pangeran Diponegoro berhijrah dari perang fisik menjadi perang intelektual. Selama pengasingannya 9 bulan dan berkeliling Nusantara, dia menulis buku yang berjudul Babat Diponegoro yang dikenal hingga sekarang. Selain buku tersebut, Diponegoro juga menyusun buku Hikayat Tanah Jawa yang ditulis di Makassar.

Pangeran Diponegoro meninggal di Makassar pada 8 Januari 1855. Sepeninggalnya, pasukannya yang tersebar ke pelosok Indonesia mempunyai kode khusus berupa pohon sawo kecik berbaris untuk mengenali satu sama lain. Atas dasar itu, Pakubuwono X menanam pohon sawo kecik berbaris di depan Keraton Kasunanan Surakarta.

Selain sawo kecik, Pakubuwono X juga melanggengkan warisan Islam dari Diponegoro dengan mendirikan Madrasah Mamba'ul 'Ulum Surakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya