SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen jagad Damar (Solopos/Istimewa)

Solopos, SOLO—Apa yang bisa dilakukan seseorang ketika sedang mencinta?

Pertanyaan klise yang mungkin sudah jutaan tahun lalu muncul meramaikan dunia. Dan, jutaan tahun pula, jawaban-jawaban berkembang gila. Akan tetapi, yang paling aku suka adalah, “Cinta selalu membuatmu tenang.”

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Itu sungguh mustahil bagiku pada awalnya. Sejak kapan cinta membuat tenang? Seingatku tidak pernah. Lihat saja jika seseorang menyukai orang lain, ia akan belingsatan—dalam metafora maupun harfiah. Ia akan sibuk mencari tahu tentang pujaan hati, mencatatnya dalam ingatan, dan berusaha bertingkah selayaknya orang paling peduli sejagat.

Iya, itu aku, bertahun-tahun lepas. Mungkin juga masih sampai sekarang. Entah. Kadang, aku tak ingin mengingat apa-apa di masa lalu, apalagi yang menyakitkan semacam ditinggal-pergi-kekasih-ketika-sedang-sayang-sayangnya. Inginnya mengingat yang indah-indah dari hubungan tak seberapa lama itu, tetapi yang aku dapat hanya ampas hitam-tebal-pahit. Sial!

“Heh!”

Plak!

Aw!

Ada yang menampar lenganku. Rasanya panas, meskipun tamparan itu tidak begitu kuat. Ketika aku menoleh, matanya agak melotot ke arahku. Aku sampai bisa melihat bulu matanya berlatar kelopak bersaput warna cokelat tua. Kalian bayangkan saja sendiri bagaimana mata itu amat mengintimidasiku.

“Sekali lagi melamun, kulempar pasir ini ke mukamu,” katanya sambil mengambil segenggam pasir dari sisi kanan. Aku balas dengan cengiran yang selalu berhasil membuatnya meleleh.

Jika ingin tahu bagaimana aku bisa berakhir dengannya, semua bermula dari pantai ini. Pantai yang dulunya jelek dan sepi peminat ini sekarang menjelma menjadi tujuan ramai dan agak mahal.

Pantai yang kerap aku datangi hanya untuk mencari kerang, bermain air, atau menerbangkan layangan. Pantai yang kurang indah ketimbang Kuta atau Matahari Terbit atau Nusa Dua. Pantai yang pasir aslinya dapat membuat telapak kakimu tergores jika tak hati-hati melangkah. Pantai yang kerap menjadi tempatku melarikan diri dari ampas hitam-tebal-pahit. Pantai yang menjadi tempat indah hanya ketika ia hadir.

Aku sedang mencari kerang ketika bayangan itu muncul, menutupi wilayah yang kukeruk dengan sekop kecil. Awalnya tak kuhiraukan, tetapi bayangan itu tak juga menghilang. Lalu, stoples tempatku menaruh kerang tiba-tiba melayang ke atas, mendekat ke wajahnya.

Wajah berkulit sawo matang yang mengilap indah. Iya, indah. Sebab, aku belum pernah melihat warna itu dengan pancaran cahaya yang tampak jelas. Oh, bukan, bukan. Bukan karena pantulan sinar matahari sore. Tidak, bukan itu. Aku merasa cahaya itu seperti muncul dengan sendirinya dari wajah sawo matang itu.

“Kenapa tidak beli di pasar saja?”

Suaranya tak lembut, tak juga kasar. Mungkin mirip wartawati yang menyetel suaranya agar tampak berwibawa. Sayangnya, ia mungkin bukan wartawarti, tetapi yang jelas, pertanyaannya cukup menggangguku.

Apa enaknya beli di pasar? Tentu saja rasanya berbeda. Ini bukan soal kesegaran kerang-kerangnya, tetapi ada rasa yang tak akan kalian dapat jika bisa dengan mudahnya membeli.

Aku selalu ingat kata guruku, bahwa rasa perjuangan itu selalu manis meskipun kadang harus berlumur darah. Aku terapkan itu ketika mendekati seseorang, mengingatkan diri bahwa akan ada rasa manis dari sebuah perjuangan. Dan, selalu, yang pada akhirnya kudapatkan hanya ampas hitam-tebal-pahit.

Mungkin karena aku tidak lekas menjawab, ia pergi begitu saja. Langkahnya tak gegas, tak pula lambat. Lamat-lamat kudengar nyanyian bercampur suara berisik angin bulan Juli. Entah lagu apa itu, tetapi berhasil membuat beberapa benda-benda langit berdansa untukku. Terakhir aku merasakan sensasi ini adalah ketika … ah, tidak, aku tidak pernah merasakannya. Belum pernah merasakannya. Jadi, aku kembali mengayunkan sekop kecil, berharap menemukan kerang yang cukup besar dan cukup ampuh meredam riuh alien-alien di lambung.

Kira-kira dua minggu sejak hari itu, bayangan menyebalkan mengganggu ritualku memasang benang pada layangan bebe. Kenapa ia tak bisa memilih titik berdiri yang tak menghalangi cahaya? Iya, aku tahu, hari itu masih belum surup, bahkan masih cukup wajar disebut siang. Hanya saja, ah, bayangan itu menyebalkan.

“Layangan sebesar itu bisa terbang?”

Ia seharusnya datang ketika banyak orang berkumpul untuk berebut hadiah sekian juta rupiah hanya dengan menerbangkan layangan yang membawanya kemari saja harus menggunakan truk. Dan, kalau ia tahu seberapa besar gulungan benangnya, mungkin ia tak akan mengajukan pertanyaan menyebalkan semacam itu.

Baca Juga: Ulang Tahun Sophia

Layanganku hanya berukuran satu meter. Aku bisa menerbangkannya sendirian dengan bantuan beberapa alat dan pembacaan angin yang tepat. Lagi pula, aku sudah belasan tahun hidup bermesraan dengan layangan. Benda ini sudah seperti kekasihku sendiri. Kekasih yang tak akan meninggalkan ampas hitam-tebal-pahit.

Perempuan itu pergi begitu saja seperti sebelumnya. Dan, nyanyian-nyanyian itu terdengar lagi. Bercampur angin bulan Juli dan debur ombak—atau debur jantungku? Aku agak tak yakin dengan pendengaranku kali itu. Dan, benda-benda langit, juga alien-alien di lambungku, mereka semua tak hanya berdansa, tetapi juga menata dekorasi untuk sebuah pesta penyambutan. Entah penyambutan apa, aku tak ingin tahu. Belum ingin tahu.

Pekan-pekan berikutnya aku tidak datang ke pantai itu. Terlalu ramai, terlalu banyak manusia, dan langit terhalang banyak bentangan kain. Kibar warna-warni itu kerap tampak seperti Dementor yang hendak mengisap kebahagiaanku. Ya, sebab tanpa Dementor pun, kebahagiaanku entah lenyap ke mana. Jadi, sementara menunggu keriuhan pantai di siang hari mereda, aku bergumul dengan teleskopku. Hamparan Bimasakti memang sudah lewat kecantikannya, tetapi aku masih bisa menemukan yang lain.

Aku kembali ke pantai pada siang hari ketika suhu bumi bagian selatan mulai naik. Aku tak membawa stoples dan sekop. Layangan bebe pun sedang kuistirahatkan sampai tahun depan. Kulipat rapi dan kusimpan di sudut kamar. Aku hanya membawa diriku, hatiku, pikiranku, dan semestaku.

Dan, ia ada di sana.

Lalu, semestaku mulai berdansa tanpa perintah.

Ia berdiri menyandarkan bobot tubuhnya kepada sepeda motor. Dua tangannya terlipat di dada. Kacamata hitamnya bertengger di kepala, tampak seperti bandana kaku. Kulit sawo matangnya menghampar bebas dan hanya tertutupi di beberapa bagian. Rambut ikalnya yang panjang dan burgundi itu ia biarkan dibelai angin. Dan, wajahnya, rautnya, mimiknya, seperti kekesalan bertumpuk karena terlalu lama menunggu yang dinanti. Akan tetapi, siapakah yang dinanti? Tentunya bukan aku, kan? Aku bahkan tak tahu namanya.

“Ke mana saja kamu?”

Sebentar!

Di pantai ini hanya ada segelintir manusia. Dan, di radius dua puluh meter, hanya ada aku dan perempuan itu. Benarkah ia bertanya kepadaku?

“Iya, aku bertanya kepadamu.”



Oh, Sang Maha!

“Lebih dua bulan, kupikir kamu sudah mati,” katanya lagi.

Aku lekas menumpas jarak. Bukan apa-apa, aku hanya tak tahan melihat seluruh anggota Bimasakti bertepuk tangan riang sambil mengangkat gelas sampanye masing-masing. Bahkan, ada yang melempar siulan ala preman pasar memanggil anak buahnya.

“Kalau aku mati, memangnya kenapa?”

Aku dan perempuan itu kini hanya berjarak satu langkah. Dengan begini, baru kulihat jelas wajahnya. Jika kalian ingin gambaran, wajah itu tidak mirip selebritas mana pun. Rupa unik yang mungkin hanya satu itu kutemukan di semestaku. Mata, hidung, bibir, dan segalanya, membentuk rasi bintang baru. Kunamakan Rhein.

Jujur saja, aku tak pernah ingin mencipta rasi baru dengan wajah-wajah terdahulu. Paling jauh, aku hanya merangkai awan-awan. Seringnya, aku tak membuat apa-apa sebab sibuk menarik perhatian dan memikirkan langkah-langkah menata hati setelahnya.

Aku tak pernah tenang. Otakku selalu bekerja melebihi batas kewajaran dan hatiku berdarah lebih sering?mungkin?daripada orang lain. Kadang, aku merasa orang-orang mulai khawatir dengan tingkahku yang gemar menyendiri di pantai ini.

Perempuan itu tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya menatapku dengan tatapan mata menghardik. Hanya sekian detik, hardikan itu tergantikan dengan kerinduan bergelung-gelung.

“Iya, aku rindu.”



Ini yang aku tak pernah habis berpikir soal hubungan dua manusia. Sering aku mendefinisikan diriku bukan sebagai manusia sebab aku tak pernah tamat mencerna bab cinta dan kawan-kawannya. Pikir saja sendiri, bagaimana mungkin dua orang yang tak saling kenal, tetapi dengan ringannya berkata rindu?

Itu, ia yang rindu, bukan aku. Aku hanya … hanya, ya, sedikit penasaran dengan isi tempurung kepalanya. Hanya ingin tahu apakah besok ia sibuk atau tidak. Hanya ingin tahu makanan favoritnya sehingga nanti bisa kubawakan porsi ganda dan menyantapnya berdua denganku. Hanya ingin tahu apakah ia suka mendengar Sal Priadi atau malah Noah. Hanya ingin tahu bisakah ia membantuku menerbangkan layangan tahun depan.

“Apa saja, katakanlah, aku akan mendengarmu.”

Aku menarik napas. Aku mendongak dan masih melihat Jupiter, Sirius, dan Canopus berjejer sambil menampakkan wajah tak sabar. Aku heran. Mereka tak pernah seperti itu ketika aku bertemu perempuan-perempuan lain di masa lalu. Bersembunyi entah di mana dan hanya muncul ketika aku sedang menikmati ampas hitam-tebal-pahit. Tertawa meledek sambil berdansa di hadapanku.

Aku ingin kembali jujur. Bahwa, dengan sepotong ucapannya, aku merasakan diri ini dilingkupi sesuatu yang hangat. Ada yang mengajakku bernapas dengan benar, merasakan dengan benar, tersenyum dengan benar. Iya, aku mulai merasa tenang. Tak lagi ingin kuingat betapa dulu aku kerap mendapat ampas hitam-tebal-pahit.

“Kamu tak pernah absen hadir di tidur malamku. Siapa kamu?berani mengganggu? Apa itu karma karena aku dua kali mengganggumu?” Tangannya terangkat, jemarinya meniti wajahku. “Aku tak pernah begitu ingin bertemu seseorang sekuat aku ingin bertemu denganmu. Tak pernah begitu ingin terjun ke dalam kehidupan orang lain. Tak pernah ingin begitu terlihat orang lain. Tetapi, kamu ….”

Ia tak meneruskan kalimatnya. Sebab, sudah lebih dulu kubungkam ia dengan bibirku. Percaya atau tidak rasanya memang semestaku tumbuh. Mendesak dan menggeser gelembung lain yang buram. Kulihat Jupiter, Sirius, dan Canopus segera menyingkir selepas mengucap selamat untukku. Aku akan berterima kasih kepada mereka lain waktu.

“Aku Damar.”

Ia tersenyum, lalu menyahut, “Terima kasih untuk cara unikmu membungkamku, Damar. Namaku Rhein.”



 

Denpasar, tengah malam, bukan siang hari

SEKAR MAYANG. Tukang permak naskah yang bersyukur bisa hidup di Bali. Suka musik, kopi, dan suasana pantai. Bercita-cita keliling Indonesia secara gratis.

 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya