SOLOPOS.COM - Eko Sulistyo (Istimewa)

Gagasan Solopos, Jumat (18/3/2016), ditulis Eko Sulistyo. Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden.

Solopos.com, SOLOThe Economist edisi 27 Februari–4 Maret 2016 menurunkan laporan khusus tentang apresiasi terhadap berbagai kebijakan yang sedang dijalankan pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Dengan judul Jokowis Moment, majalah yang dikenal memiliki pengaruh cukup luas di kalangan para pengambil kebijakan dan pebisnis dunia ini seolah-olah hendak menjawab keraguan banyak pihak yang memandang kepercayaan kepada Jokowi adalah pilihan keliru.

Majalah ini telah mengikuti Jokowi secara intensif sejak politikus ini memulai karier politiknya sebagai Wali Kota Solo hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2012.

Edisi Januari 2014, dalam tulisan berjudul No Ordinary Jokowi, majalah ini menyatakan Gubernur DKI Jakarta ini menjadi favorit sebagai Presiden Republik Indonesia berikutnya menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meskipun saat itu belum menjadi kandidat presiden.

Pernyataan ini seperti penegasan pada edisi 8 Juni 2013 bahwa popularitas Jokowi yang fenomenal karena dianggap jujur di negara tempat ”politikus” dianggap ”busuk”. Dalam laporan khusus kali ini The Economist mengangkat modal politik Jokowi yang kuat.

Dia tidak berasal dari elite Jakarta, bukan militer, dan bukan politikus DPR. Dia anak sulung dari keluarga biasa dari Solo, Jawa Tengah. Rakyat Indonesia mendukung Jokowi karena merasa dia sebagai bagian dari orang biasa yang ingin melawan endemis korupsi.

Para pengusaha lokal  juga mendukungnya karena merasa Jokowi juga bagian dari mereka karena menjalankan bisnis mebel di Solo. Para investor juga menyambutnya dan mengharapkan Indonesia tidak terlalu proteksionis.

Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7%. Jokowi menganggap era pertumbuhan dengan perdagangan komoditas sudah berakhir dan ingin menarik industri manufaktur dan jasa yang bernilai tinggi.

Jokowi hendak menjalankan investasi masif dalam infrastruktur serta menciptakan iklim bisnis yang lebih baik. Dalam indeks World Bank’s Ease of Doing Business, peringkat Indonesia menduduki posisi ke-109 dari 189.

Pada awal konsolidasi politiknya Jokowi terkesan seperti lone figther alias pejuang yang sendirian, tertatih-tatih menghadapi berbagai tekanan politik, baik dari partai politik pendukungnya maupun koalisi oposisi yang menjadi lawan politiknya saat pemlihan presiden.

Jokowi juga tidak memimpin partai politik sebagaimana kebanyakan presiden setelah Soeharto. Memasuki tahun kedua pemerintahannya, mulai tercipta keseimbangan politik baru yang tersentral pada dirinya.

Pelan tapi pasti dengan gaya pragmatis dan keras kepalanya, Presiden Jokowi berhasil keluar dari semua badai politik yang mengitarinya dan melakukan konsolidasi dalam Kabinet Kerja.

Koalisi Merah Putih yang dipimpin Prabowo Subianto dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mulai mendukungnya, termasuk Partai Golongan Karya–partai terbesar kedua di DPR– dan Partai Amanat Nasional (PAN). [Baca selanjutnya: Peluang dan Tantangan]Peluang dan Tantangan

The Economist memuji langkah Jokowi dengan memprioritaskan investasi infrastruktur dan mempercepat keadilan dan pemerataan di wilayah Indonesia timur. Dengan infrastruktur yang lebih baik akan menurunkan harga barang kebutuhan pokok serta meningkatkan daya saing dan lapangan kerja, khususnya di daerah.

Semua investasi ini adalah tujuan dari pemerintahan Jokowi guna menyebarkan kesejahteraan, termasuk ke pulau-pulau terluar. Pada 1990-an Indonesia menginvestasikan 8% dari gross domestic product (GDP) untuk infrastruktur tiap tahun.

Sesudah krisis Asia 1997/1998 jumlahnya menurun menjadi 3% per tahun dan mulai beranjak naik. Pada 2014 jumlah investasi sudah mencapai 6,4%. Jokowi merencanakan akan meningkatkan investasi infrastruktur menjadi 7,7% dari GDP hingga 2017.

The Economist juga memberi tekanan pada ocean view. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.466 pulau yang membentang sepanjang 5.000 kilometer zona ekonomi eksklusif dan sekitar 93.000 kilometer persegi perairan dalam.

Dengan semua kekayaan itu Indonesia hanya mengekspor US$4,2 miliar ikan per tahun. Ironisnya 90% dari kekayaan laut Indonesia diambil oleh penangkapan ilegal dari negera lain dan merugikan negara US$20 miliar per tahun.

Jumlah ini menurun setelah Menteri Susi Pudjiastuti yang didukung Jokowi melakukan tindakan hukum tegas dengan menenggelamkan sekitar 40 unit kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

Presiden Jokowi juga dianggap mulai memenuhi janjinya dengan meningkatkan iklim bisnis dan investasi. Awal 2015, Jokowi meluncurkan kebijakan one stop service untuk izin usaha dengan memotong jumlah hari yang dibutuhkan.

Seperti diketahui, untuk memulai izin bisnis di Indonesia memerlukan rata-rata 47 hari. Bandingkan dengan Malaysia yang empat hari dan Singapura 2,5 hari. Sejak September 2015 Jokowi meluncurkan sejumlah kebijakan untuk membantu dunia usaha.

Ia juga memberlakukan kebijakan yang mempermudah beberapa regulasi, memotong  tarif energi untuk industri, mempermudah  prosedur perizinan bagi usaha industri real estat, dan memberikan insentif pajak untuk berinvestasi di zona industri tertentu.

Memotong jalur birokrasi menjadi senjata Jokowi untuk memotong rantai korupsi. Jokowi bukanlah Orde Baru yang hanya mengejar pertumbuhan, tapi melupakan pemerataan dan tanggung jawab sosial negara.



Kewajiban konstitusional negara menjamin hak-hak dasar warga negara dan kaum miskin  diberi penekanan serius oleh Jokowi dengan program sekolah gratis hingga 12 tahun dan menyediakan dana bagi 15,5 juta kaum miskin dalam bentuk dana transfer tunai Rp200.000 per bulan (US$14,37) dengan anggaran dari pemotongan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebagai belanja modal tambahan.

Kini program kesehatannya telah menjangkau 88 juta orang. Menurut The Economist, sejauh ini kebijakan luar negeri Jokowi sudah pada jalur yang tepat dengan menjamin rasa damai di dalam negeri dan di tingkat regional.

Dengan gayanya yang pragmatis, Presiden Jokowi menekankan bahwa politik luar negeri bebas aktif Indonesia harus dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia. The Economist mengapresiasi kebijakan Menteri Luar Negeri Retno Lestari Marsudi yang sejalan dengan visi pemerintahan Jokowi yang mempunyai beberapa prioritas.

Pertama, melindungi integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), misalnya dalam penanganan konflik 10 wilayah perbatasan dengan Malaysia atau dengan beberapa negara di Laut China Selatan. Kedua, melindungi orang Indonesia di luar negeri, termasuk tenaka kerja wanita (TKW) dan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dan Timur Tengah.

Bagian terakhir dari laporan The Economist seperti ingin menjawab sikap sinis dari seorang pengusaha asing yang menganggap Indonesia sepertinya hanya akan mentok sebagai ”negeri harapan” belaka. Menurut majalah ini, pertanyaan krusialnya adalah bukan seberapa banyak apa yang ingin Jokowi lakukan, tapi apa yang dapat ia berikan.

Dengan paparan tentang yang sudah dilakukan dan diberikan Jokowi selama hampir 1,5 tahun pemerintahannya, nasib Jokowi akan ditentukan oleh akselerasi dan perwujudan program-programnya. Indonesia akan memiliki jalan raya yang membentang di Jawa dan Sumatra serta pelabuhan di sepanjang bagian timur.

Langkah-langkahnya untuk melawan sikap proteksionis dari parlemen, terus mengontrol kementerian, dan mempertahankan perang melawan korupsi akan menjadi kunci lainnya dalam menopang keberhasilan programnya pada masa depan. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya