SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen

Solopos.com, SOLO—Aku mengatakan kepada Amara bahwa aku kenal seseorang yang sangat gampang jatuh.

“Tapi kau tak kenal dia,” kataku.

Promosi Harga Saham Masih Undervalued, BRI Lakukan Buyback

“Kami pernah berjalan-jalan, maksudku aku dan kawanku yang gampang jatuh itu. Kami jalan di jalan lurus, datar, halus. Pendeknya, sebuah jalan yang sempurna hingga mustahil bagi seseorang untuk jatuh di sana. Namun begitulah. Dia jatuh. Dia berjalan seperti lazimnya orang berjalan dan tiba-tiba dia oleng, persis seperti balita yang baru belajar berjalan. Dan buum… dia jatuh.”

“Oh,” jawab Amara. “Namun jatuh yang semacam itu, maksudku jatuh seperti jatuhnya balita yang baru belajar berjalan tidak akan parah bukan?”

“Tidak,” kataku. “Kau keliru. Itu parah sekali. Ia merintih-rintih. Ia melambaikan tangan. Ia mengatakan tidak masalah. Namun aku tahu itu masalah dan aku membawanya ke rumah sakit. Seminggu kemudian, ada tiga pen baru ditanam di tulang kakinya.”

“Itu mengerikan,” jawab Amara.

“Aku tahu,” kataku. “Dia juga tahu, kawanku itu. Namun bagaimana pun juga ia bilang itu biasa. Dan ia memang selalu mengalaminya.”

Amara terlihat penasaran dengan kawanku itu. Ia mengatakan agar aku mengenalkan mereka.

“Untuk apa?” tanyaku.

“Untuk menelitinya,” jawab Amara.

“Untuk apa lagi?” “Apa maksudmu?” tanyaku lagi.

“Yah, kau tahu, dia, kawanmu itu maksudku, tampak sangat tidak normal,” kata Amara. “Siapa tahu, yah, bagaimana mengatakannya ya?”

“Katakan saja,” aku meyakinkan.

“Yah, siapa tahu, ia adalah semacam hasil evolusi yang belum sempurna,” kata Amara. “Atau mungkin ia berevolusi ke belakang.”

“Kau berlebihan,” kataku.

Amara mencondongkan wajah ke arahku. Ia sangat serius. “Tidak,” katanya. “Aku tidak berlebihan. Dan asal kau tahu, ini akan berpengaruh pada masa depan umat manusia.”

Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Dan Amara menyadarinya.

“Begini,” lanjutnya. “Bayangkan jika ia, kawanmu itu adalah jenis pertama dari sebuah generasi baru Homo Sapiens. Generasi yang berevolusi ke belakang atau generasi yang tidak berevolusi sebagaimana seharusnya. Dan bayi-bayi yang lahir setelah ini adalah bayi-bayi yang akan tumbuh seperti ia. Gampang sekali terjatuh dan seterusnya. Dan kau tahu apa artinya?”

Aku menggeleng.

Baca Juga: Cerpen Perempuan di Dalam Mimpi Indahku

“Tidak ada masa depan bagi umat manusia,” jawab Amara. “Spesies kita akan punah.”

Amara adalah orang yang dramatis. Ia memandang segala sesuatu dengan kecemasan yang berlebihan. Kami pernah menyaksikan dua bocah bertengkar memperebutkan mainan dan ia yakin bahwa kelak dua bocah itu akan menjadi tentara lantas saling membunuh demi minyak bumi atau sepetak lahan pemukiman.

“Timur tengah penuh dengan anak-anak seperti itu,” katanya.

Aku tertawa. “Semua anak di dunia bertengkar dan sebentar kemudian mereka berdamai,” kataku.

“Itu lebih buruk lagi,” katanya. “Sebab itu artinya setiap anak di dunia akan menjadi tentara dan di kelak kemudian hari akan saling bunuh.”

Aku tak mengerti jalan pikiran Amara.

“Mereka seharusnya diajari cara berbagi semenjak kecil,” kata Amara lagi. “Bahwa mainan itu bisa digunakan bersama, menjadi milik bersama.”

“Kau mulai terdengar seperti komunis,” kataku.

“Hanya itu satu-satunya cara,” katanya kemudian.

Untuk kasus kawanku yang gampang jatuh itu, aku katakan kepada Amara bahwa mereka tidak bisa ketemu.

“Kenapa?” tanya Amara. “Apakah ia sudah mati? Maksudku, jika ia memang sebegitu gampang jatuh dan setiap kali ia jatuh ia menderita luka yang sebegitu parah, ia terdengar sangat rawan mati, bukan?”

“Kau benar,” kataku. Nnamun kau juga salah. Ini sedikit rumit. Maksudku, aku tak benar-benar yakin ia sudah mati sekaligus aku tak yakin ia benar-benar masih hidup. Dan karena itu, aku tak yakin kau bisa bertemu dengannya. Maksudku, dengan dia yang masih asli.”

Amara menghela napas panjang. “Baiklah,” katanya. “Katakan dengan bahasa yang gampang dipahami.”



Itu sudah bertahun-tahun lalu, kataku kepada Amara. Orang tua kawanku itu telah membawanya ke mana-mana, maksudku, ke ahli-ahli yang menurut mereka bisa menyembuhkan penyakit gampang jatuh kawanku. Mereka yakin, itu adalah kelainan yang bisa disembuhkan.

Namun, dokter-dokter yang mereka datangi mengatakan tidak ada jenis penyakit yang seperti itu. Struktur otot dan tulang kawanku tidak berbeda dengan orang lain. Bentuk kakinya juga normal. Cara ia melangkahkan kaki juga tidak ada yang salah. Pendeknya, kawanku adalah orang sebagaimana semua orang lain.

Dan karena itu, para dokter tidak tahu apa yang mesti mereka lakukan untuk membuat kawanku tidak gampang jatuh. Sementara itu, kawanku terus saja jatuh. Ia jatuh ketika berjalan, ia jatuh ketika duduk menonton televisi dari kursi, ia jatuh ketika tidur di tempat tidur yang luas, ia jatuh di kamar mandi, ia jatuh di restoran.

Ia selalu jatuh. Dan setiap kali ia jatuh, selalu ada tulangnya yang patah. Lantas harus ada bagian tubuhnya yang diamputasi untuk diganti dengan bagian-bagian buatan yang terbuat dari logam atau plastik atau hal-hal semacam itu.

Orang tua kawanku itu, di kemudian hari, membawa kawanku ke dukun. Ketika ilmu pengetahuan modern tidak sanggup menyelesaikan sebuah permasalahan, orang memang akan cenderung lari ke hal-hal mistis. Seorang dukun mengatakan seekor hantu mengikuti kawanku.

Dukun yang lain menyebutkan ia terkena kutukan. Dukun yang lain yakin kawanku itu menanggung karma buruk dari kehidupannya sebelumnya. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Lalu berbagai ritual serta upacara mereka kerjakan untuk menghilangkan semua itu. Namun, kawanku masih saja jatuh. Dan setiap kali ia jatuh, selalu ada saja pen-pen baru yang ditanam di tubuhnya. Dan ada juga bagian-bagian tubuhnya yang mesti diganti dengan alat-alat buatan. Begitulah yang terjadi selama bertahun-tahun.

“Namun ia tidak mati?” tanya Amara dengan tidak sabar. Ia selalu tidak sabar.

“Ia tidak sepenuhnya mati,” kataku. “Bahkan ketika beberapa waktu lalu ia mesti mengganti tempurung kepala dengan semacam logam antikarat.”



“Dan otaknya? Hatinya? Organ-organ dalamnya?”

“Pada akhirnya,” kataku. “Kawanku itu dilindungi oleh cangkang yang keras. Ia semacam robot yang kuat. Ia mengubur organ-organ luarnya dalam satu liang. Dan setiap kali ia mesti menjalani operasi penggantian organ, ia akan kembali menggali lubang itu dan menambahkan satu lagi organnya yang diganti. Namun kau tahulah, bahkan helm yang paling kuat pun tidak sepenuhnya sanggup melindungi isi di baliknya.”

“Maksudmu?”

“Ia masih terus jatuh,” kataku. “Dan karena kini ia memiliki cangkang yang keras, maka jatuh menyerang organ dalamnya. Otaknya retak, jantungnya hampir copot, hatinya goyang, pankreasnya robek, ginjalnya rusak, dan seterusnya. Dan untuk itu semua, pada akhirnya, ia mesti memasang lagi alat-alat baru di dalam cangkangnya. Ia beruntung lahir di masa ketika teknologi sudah sedemikian canggih dan memungkinkan ia menjalani aneka macam penyelamatan macam itu.”

Amara menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tak tahu bahwa kita sudah memiliki teknologi semacam itu.”

“Aku juga,” kataku. “Namun begitulah kenyataannya.”

Dan itu pulalah yang menyebabkan aku mengatakan kepada Amara bahwa aku tak yakin mereka bisa bertemu, maksudku, Amara dan kawanku yang sebenarnya.

“Kau tahu,” kataku. “Kini kawanku itu sepenuhnya makhluk buatan. Tak ada yang tersisa dari dirinya yang asli. Bahkan darahnya kini sudah digantikan oli.”

“Mengerikan,” kata Amara.



“Dan beberapa waktu yang lalu,” kataku. “Ia mengubur hatinya di liang yang menampung seluruh bagian asli dari dirinya. Itu adalah organ terakhir yang tersisa darinya. Ia berdiri lama di samping kuburan dirinya sendiri. Dan pada waktu itulah aku merasa tengah melihat hantu.”

“Hantu yang diciptakan teknologi,” kata Amara. “Dan bukannya mitos.”

“Ya,” kataku. “Aneh sekali, bukan?”

Amara terdiam sejenak. Lantas berkata, “Inilah masa depan umat manusia.”

 

Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), Cara Kerja Ingatan (novel, 2020), dan Sapi dan Hantu (kumpulan puisi, 2022). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku Cara Kerja Ingatan merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Buku Sapi dan Hantu adalah juara 3 Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya