SOLOPOS.COM - M. Dwi Sugiarto (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Riuh politik di tengah semakin dekatnya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 semakin ramai. Koalisi partai politik pengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dari Koalisi Perubahan untuk Perbaikan (KPP) tengah mengalami ketegangan yang belum pernah diprediksi publik.

Koalisi pengusung Anies Baswedan yang terdiri atas Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu memanas setelah kabar masuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sang ketua umum, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), dikabarkan menjadi cawapres.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Sedari awal, KPP memang terus diterpa isu disharmoni dalam membangun poros politik dengan Anies Baswedan sebagai magnet. Sebelumnya, keputusan Partai Nasdem mengumumkan Anies Baswedan—yang selama ini disimbolkan sebagai tokoh oposisi—sebagai capres sudah menyulut reaksi publik, termasuk di internal partai itu sendiri.

Partai Nasdem yang selama ini dikenal sebagai partai pemerintah selama dua periode terakhir terlihat sangat dekat dengan Joko Widodo (Jokowi), bahkan menjadi pengusung pertama mantan Gubernur DKI Jakarta itu saat maju dalam Pilpres 2014. Keputusan Partai Nasdem saat ini berbanding terbalik dengan langkah politik mereka sembilan tahun lalu.

Posisi Partai Nasdem sangat berbeda dan berseberangan dengan Partai Demokrat dan PKS—dua partai yang selalu menjadi oposisi sejak awal periode pemerintahan Joko Widodo pada 2014. Hubungan Partai Demokrat dan PKS dapat dikatakan cukup baik mengingat selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mereka berada dalam koalisi pemerintah.

Di sisi lain, jarak kedekatan antara Partai Nasdem dengan Anies Baswedan sebenarnya tidak begitu dekat. Dilihat dari karakteristik pendukung, justru PKS-lah yang paling dekat dengan Anies Baswedan. Pemilih Partai Nasdem cenderung berangkat dari pemilih nasionalis, sedangkan pendukung Anies Baswedan cenderung datang dari kalangan agamis meskipun sebagian dari mereka juga nasionalis.

Kedekatan Partai Nasdem dengan Partai Demokrat hanya muncul saat keduanya sama-sama mendukung Anies Baswedan sebagai simbol oposisi saat ini. Artinya, Partai Demokrat berharap bisa menemukan kandidat kuat untuk diusung dan memenangi Pilpres 2024 dengan identitas yang sama, yaitu sebagai oposisi.

Pilihan Partai Nasdem kepada Anies Baswedan sejatinya merujuk pada aspek-aspek kesamaan untuk membangun koalisi bersama. Pengorbanan politik Partai Nasdem untuk memilih berkubu dengan Partai Demokrat dan PKS bukan tanpa alasan dan penuh kalkulasi.

Setelah bersama-sama dengan Joko Widodo dan PDIP, Partai Nasdem menunjukkan diri tidak tenggelam dalam kondisi “nderek presiden” menuju Pilpres 2024. Pilihan untuk membersamai Partai Demokrat dan PKS mengusung Anies Baswedan menjadi kerumitan yang terbukti dengan mundurnya beberapa kader partai.

Tarik-menarik

Pascadeklarasi pencapresan Anies Baswedan, Partai Nasdem terus melakukan sosialisasi dan gerakan politik untuk menawarkan jagonya baik kepada publik maupun partai politik. Kunjungan Anies ke berbagai daerah terlihat diprakarsai oleh kader dan simpatisan Partai Nasdem. Baru dalam beberapa bulan terakhir Partai Demokrat maupun PKS menggelar hal serupa.

Penggalangan dukungan dari partai politik lain juga dilakukan Partai Nasdem dengan kunjungan sejumlah partai politik ke kantor Partai Nasdem di Gondangdia atau kunjungan elite Nasdem ke partai lain. Meski demikian, selama ini nyaris tidak ada titik terang akan ada partai politik di luar ketiga partai tersebut yang hendak bergabung mengusung Anies Baswedan.

Jawabannya tentu jelas terlihat dari siapa cawapres yang paling berpotensi mendampingi Anies di KPP. Anies sebagai capres dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi cawapres. Inilah yang diharapkan oleh Demokrat. Padahal, sedari awal mereka selalu beretorika pemilihan cawapres diserahkan kepada Anies Baswedan.

Namun, dukungan Partai Demokrat juga menaruh “syarat” untuk mendapatkan jatah kursi cawapres. Pun demikian PKS yang juga menyodorkan Ahmad Heryawan (Aher), mantan Gubernur Jawa Barat dua periode.

Menjadi hal yang wajar bila partai politik lain enggan bergabung dengan KPP karena dua alasan. Pertama, daya tawar posisi ideal sebagai cawapres setidaknya sudah mengarah pada AHY selama ini. Artinya, kalau AHY tidak diusung menjadi cawapres, besar kemungkinan Partai Demokrat akan angkat kaki dari KPP.

Kedua, KPP mengambil posisi sebagai oposisi pemerintah saat ini. Sedangkan di antara sembilan partai politik parlemen, hanya Demokrat dan PKS yang sepenuhnya menjadi oposisi. Partai lainnya tidak melihat celah keuntungan untuk mengikuti poros Nasdem, Demokrat, dan PKS.

Masuknya PKB ikut mengusung Anies Baswedan menjadi solusi dari titik lemah KPP, baik sisi figur Anies Baswedan maupun tiga partai politik pengusungnya. PKB menjadi solusi lemahnya potensi suara Anies Baswedan dan KPP di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setidaknya itu terlihat jelas dari porsi potensi kelemahan suara Anies Baswedan dan KPP di dua provinsi dengan suara besar itu.

Seperti Partai Demokrat, PKB juga mengajukan syarat ketua umumnya menjadi cawapres sebagai harga mati. Cak Imin dalam beberapa kali pemilu selalu didengungkan PKB menjadi capres maupun cawapres, namun belum pernah sekalipun memperoleh tiket.

Ada analisis sederhana untuk melihat mengapa PKB diterima oleh Partai Nasdem. Bersama PKB, ada keuntungan dan kepastian bagi Partai Nasdem maupun Anies Baswedan. Pertama, bersama PKB, Anies Baswedan dan Nasdem sudah mengamankan tiket pilpres di tangan.

Partai Nasdem memiliki 59 kursi dan PKB memiliki 58 kursi di DPR. Total kursi kedua partai sebanyak 117 kursi. Sedangkan syarat mencalonkan pasangan capres-cawapres adalah 115 kursi. Tentu berbeda cerita ketika Nasdem dan Anies terus bersama Demokrat dan PKS. Apabila salah satu dari mereka hengkang, maka melayanglah tiket maju ke Pilpres 2024.

Kedua, PKB memiliki basis pemilih yang lebih jelas dan terbilang kuat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, PKB mendapat 13 kursi DPR atau di peringkat kedua setelah PDIP dengan 26 kursi. Sedangkan di Jawa Timur, PKB mendapat 19 kursi atau hanya terpaut satu kursi dari PDIP sebagai peraih kursi terbanyak DPR dari provinsi itu.

Situasi rumit yang dialami Partai Nasdem bersama Demokrat dan PKS dalam penentuan cawapres memang nyata terlihat. Sebab, implikasi jika Demokrat hengkang apabila AHY tidak didaulat sebagai cawapres begitu nyata.

Tidak menutup kemungkinan bagi PKS juga hengkang apabila yang jadi pendamping Anies bukan kadernya atau figur netral. Sebab, apabila AHY yang mendampingi Anies Baswedan, maka Partai Demokrat-lah yang mendapatkan coattail effect (efek ekor jas) Pilpres 2024 terbesar.

Pilihan paling realistis bagi Partai Nasdem dan Anies Baswedan untuk mengamankan tiket—setidaknya masuk putaran kedua Pilpres 2024—adalah bersama PKB. Faktanya, PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin semakin membesar perolehan kursi DPR. Sejarah juga mencatat hingga Pilpres 2019 PKB selalu memenangi kontestasi pilpres.

Pada Pilpres 1999 PKB bersama Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada 2004, PKB abstain pada putaran pertama karena Gus Dur gagal melaju dan mendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) di putaran kedua. Pada 2009, mereka mengusung SBY-Boediono.



Pada 2014, mereka menjadi salah satu pengusung Jokowi-JK dan berlanjut pada 2019 dengan mengusung Jokowi-Ma’ruf Amin. Begitu pula dengan Partai Nasdem yang sejak berdiri ikut memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019. Rekam politik ini menjadi menarik untuk dilihat. Kecermatan dalam membaca situasi, peluang, dan tantangan membuktikan Nasdem dan PKB berada di jalur politik yang benar.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 September 2023. Penulis adalah M. Dwi Sugiarto, Wakil Ketua Umum Masika ICMI Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya