SOLOPOS.COM - Umat Hindu berdoa di sela-sela Catur Brata Hari Raya Nyepi 1944 Saka di Pura Widyajati, Dukuh Nglimbangan RT 027, Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, Kamis (3/3/2022). (Solopos.com/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, SRAGEN—Umat Hindu di Pura Widyajati masih menjalankan Catur Brata Hari Raya Nyepi 1944 Saka dengan sederhana di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, Kamis (3/3/2022).

Di satu sisi, musala terdekat tidak mengumandangkan azan salat zuhur saat umat Hindu melakukan Catur Brata dan berdoa sekitar pukul 12.00 WIB. Hal ini menjadi bukti warga setempat menjaga toleransi antarumat beragama.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Panas terik menyinari Dukuh Nglimbangan RT 027 Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang. Kondisi jalan kampung tampak sepi. Tak ada orang yang melintasi jalan kampung dekat area persawahan tersebut selain dua orang pengendara sepeda motor.

Baca Juga: Kasus Intoleransi Siswa di Sragen, Ganjar: Jangan Terulang Lagi!

Tampak pintu pagar Pura Widyajati tertutup meskipun tidak terkunci rapat. Rupanya ada tiga umat Hindu yang melakukan Catur Brata siang itu, yakni Darto, 52, bersama istrinya, Suyatmi, 50, dan umat Hindu lain, Hartini, 55.

Catur Brata merupakan rangkaian kegiatan Hari Raya Nyepi yang dilakukan untuk berhenti dari segala macam kegiatan, yakni tidak bekerja (amati karya), tidak menyalakan api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan), dan tidak bersenang-senang (amati lelanguan)  mulai Kamis pukul 06.00 WIB selama 24 jam.

Ketiga umat Hindu tersebut sedang menyiapkan tikar serta kembang untuk sembahyang rutin pukul 12.00 WIB. Pemangku Pura Widyajati, Ngatmin, serta dua umat Hindu lain mengikuti Catur Brata namun ke rumah sesaat sebelum bergabung kembali pada sembahyang siang.

Baca Juga: Potret Toleransi di Taman Doa Ngrawoh Sragen Bikin Pengamat Musik Ternama Ini Kagum

Ada tiga kali doa rutin umat Hindu yang dilakukan setiap hari di Pura Widjajati yakni pagi, siang, dan malam. Khusus Nyepi, Catur Brata dengan meditasi dilakukan pukul 24.00 WIB menjelang berakhirnya kegiatan Catur Brata.

Darto mengatakan sekitar 14 keluarga biasanya melakukan Catur Brata di Pura Widyajati. Mereka menyiapkan semacam terpal untuk menutup ruang supaya tidak panas. Namun, pada Hari Raya Nyepi ketiga di tahun pandemi Covid-19 ini Catur Brata dilakukan di rumah masing-masing.

“Di rumah saya ada anak-anak kadang menyalakan TV. Jadi kami memilih untuk Catur Brata di sini,” kata dia.

Baca Juga: Tak Ikut Tawur Agung di Prambanan, Ini Agenda Nyepi Umat Hindu Sragen

Alasan yang sama menjadi pertimbangan Hartini bergabung dengan Darto. Keluarga Hartini ada empat anggota dan hanya Hartini yang memeluk Hindu.

Tak lama berselang Ngatmin datang bersama dua umat lain. Mereka mengambil sikap serta duduk bersila menghadap bangunan Padmasana. Mereka melakukan sembahyang sekitar pukul 12.00 WIB.

 

Toleransi Beragama

Pada saat bersamaan masjid-masjid dengan pengeras suara terdengar mengumandangkan azan tanda salat zuhur. Namun, Musala Al Huda yang lokasinya sekitar 25 meter dari pura tidak terdengar adzan.

Baca Juga: Ini Padmasana dan Panglurah, Tugu Kebanggaan Umat Hindu Sragen

Ngatmin mengatakan Musala Al Huda aktif namun warga setempat menjunjung toleransi beragama. Umat beragama saling menghormati satu sama lainnya. “Umat Hindu baru mengadakan Catur Brata penyucian jadi menyesuaikan diri. Kami ada rasa kebersamaan dengan saling menghormati,” paparnya.

Dia mengatakan bentuk toleransi tidak hanya dilakukan pada hari besar namun menjadi kebiasaan warga setempat dalam kehidupan sehari-hari. Adapun Umat Hindu Pura Widyajati memaknai Tahun Baru Nyepi sama seperti tahun sebelumnya.  Ngatmin mengatakan semangat mengendalikan diri harus dilakukan setiap hari berupa pengendalian pikiran, ucapan, dan perbuatan.

Ketua RT 027 Dukuh Nglimbangan, Sutarno, mengatakan kebetulan petugas yang biasa melakukan azan Musala Al Huda pergi siang kemarin.

Baca Juga: Hari Raya Nyepi, 115 Penerbangan Dari dan Menuju Bali Dihentikan

“Ya saling menghormati. Masalah agama baik, orangnya  yang menjalankan.  Di sini masalah beda agama bagus.  Saya sebagai RT beda agama jangan dikaitkan dengan gotong royong. Gotong royong bersatu, berbeda agama tak masalah,” ujarnya.

Dia mengatakan ada 49 keluarga di Dukuh Nglimbangan. Warga memeluk Islam, Hindu, dan satu keluarga Buddha. “Orang tua ada yang Hindu dan anaknya masuk Islam. Sebagian ada satu keluarga Hindu semua. Kebanyakan orang tua Hindu anaknya Islam. Dulunya di sini Hindu semua,” jelasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya