SOLOPOS.COM - Taufiq Sidik Prakoso Santri Ponpes Al Qohar, Dukuh Pulon, Desa Malangan, Kecamatan Tulung menunjukkan tas yang diproduksi di Ponpes tersebut, Jumat (22/10/2021).

Solopos.com, KLATEN—Bermula dari hobi, Khusnul Itsariati, 34, mampu mengembangkan usaha produksi tas hingga merambah ke berbagai negara di Asia hingga Eropa. Hasil dari usaha produksi tas itu juga mampu menghidupi Pondok Pesantren (Ponpes) Al Qohar, Dukuh Pulon, Desa Malangan, Kecamatan Tulung yang didirikan ayah Khusnul, KH. M. Khusni Tamrin.

Khusnul menceritakan semasa kuliah dia sudah menggeluti hobi menjahit hanya untuk kebutuhan pribadi. “Dari sana kemudian saya menikah dan mengajar. Saya memutuskan ingin membuka usaha,” kata Khusnul, Jumat (22/10/2021).

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

Khusnul mulai serius menjadikan hobi menjahitnya menjadi ladang usaha membikin tas pada 2011 lalu sembari membantu mengelola ponpes. Modal awal yang digunakan yakni Rp150.000 untuk membeli kain kanvas sebagai bahan baku. Sementara, mesin jahit yang dia gunakan merupakan mesin jahit tua milik ibunya, Sri Padmiyati.

Baca Juga: Jumlah Ponpes di Klaten Terus Meningkat, Kini Mencapai 100-an

Awalnya, Khusnul hanya membikin sekitar enam tas kanvas. Lambat laun, permintaan kian banyak seiring penjualan ditawarkan secara online. Usahanya kian berkembang hingga kini memiliki enam mesin jahit dengan dua diantaranya mesin jahit kulit.

Tempat produksi tas tersebut dilakukan di Ponpes Al Qohar, ponpes kecil di perbatasan Kabupaten Klaten dan Boyoali. Guna memenuhi pesanan tas, Khusnul dibantu ibu rumah tangga di sekitar ponpes serta dua orang santri yang sudah tidak menempuh pendidikan formal. Untuk memasarkan produk tas buatannya, Khusnul dibantu suaminya, Abul Haris Akbar.

Tak hanya diminati pembeli lokal, tas bikinan Khusnul diminati pembeli dari berbagai negara di Asia dan Eropa. Seperti pemasaran ke Singapura, Brunei, Hong Kong, serta Malaysia. Di Eropa, tas produksi Khusnul pernah merambah hingga ke Swiss. Sebanyak 21.000 tas kanvas bikinan Khusnul dipasarkan ke Swiss.

Baca Juga: Viktor Laiskodat Lulus Doktor UKSW, Angkat Disertasi Wisata NTT

Tas yang diproduksi di Ponpes Al Qohar itu bermerek KimiBag. Model tas yang dibikin Khusnul beragam seperti tas jinjing, tas ransel, hingga tas tote. Harga tas mulai dari Rp6.000 hingga Rp500.000.

Khusnul mengatakan pembeli dari Inggris dan Jerman pernah melirik tas buatannya. Namun, Khusnul belum berani memenuhi permintaan tersebut. “Sebenarnya dari Inggris dan Jerman pernah tanya-tanya. Hanya karena ada pandemi Covid-19, kami tidak berani menjawab,” kata dia.

Soal omzet, dia menjelaskan bervariasi setiap bulannya. Dia pernah mendapatkan omzet mencapai Rp50 juta hingga Rp70 juta per bulan. Namun, rata-rata omzet yang bisa diperoleh mencapai Rp10 juta hingga Rp20 juta.

Baca Juga: Viktor Laiskodat Lulus Doktor UKSW, Angkat Disertasi Wisata NTT

 

Kreativitas Tumbuh

Soal kondisi pandemi Covid-19, Khusnul menuturkan usahanya ikut terdampak lantaran pesanan sepi. Kondisi itu membuat Khusnul mengurangi jumlah orang yang membantu proses produksi dari semula sembilan orang menjadi sekitar enam orang. “Tentu mengalami jatuh bangun. Tetapi pandemi ini justru menumbuhkan kreativitas,” jelas dia.

Khusnul bersyukur pendapatan yang diperoleh dari usaha pembuatan tas itu juga bisa membantu untuk mencukupi kebutuhan operasional Ponpes Al Qohar yang kini terdapat 15 santri. Dari usaha itu pula pengelola Ponpes merintis yayasan. “Misalkan ada santri yatim-piatu, kami bantu dengan menggratiskan biaya sekolah,” kata Khusnul.

Salah satu santri, Giyanto, 17, mengatakan kerap membantu proses produksi tas KimiBag dengan bertugas memotong kain. Dia membantu proses produksi itu saat pagi hingga siang atau waktu-waktu sela sebelum melanjutkan aktivitas utamanya mengaji.

Baca Juga: Gubernur NTT Viktor Laiskodat Raih Gelar Doktor dari UKSW Salatiga

“Sudah lima tahun ini nyantri. Tentu senang ikut membantu produksi. Dalam sebulan juga dapat bonus. Cita-cita juga ingin mengembangkan usaha produksi tas,” kata pria asal Kecamatan Cepogo, Boyolali itu.

Kepala Kantor Kementerian Agama Klaten, Anif Solikhin, mengatakan di Klaten setidaknya ada tiga ponpes yang mampu mandiri dengan mengembangkan kewirausahaan.

Di Kecamatan Wedi ada ponpes yang mengembangkan usaha produksi herbal, di Kecamatan Ngawen ada Ponpes yang mengembangkan usaha produksi roti, dan Ponpes di Tulung mengembangkan usaha produksi tas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya