SOLOPOS.COM - Warga berebut isi gunungan ketupat saat digelar tradisi grebeg syawalan di Bukit Sidoguro, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Sabtu (29/4/2023). (Solopos.com/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN – Ketupat seberat 3 kuintal atau sekitar 1.000 biji ludes dalam sekejap diperebutkan warga saat digelar grebeg syawalan di Bukit Sidoguro, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Sabtu (29/4/2023) pagi.

Tradisi itu kembali digelar setelah tiga Lebaran absen gara-gara pandemi Covid-19. Berdasarkan pantauan, ada 27 gunungan berisi ketupat, hasil bumi, serta voucher belanja diarak dari pintu masuk Bukit Sidoguro. 

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Kirab gunungan ketupat diiringi hadrah serta Mas dan Mbak Klaten yang membawa panjang ilang, keranjang dari janur, berisi ketupat yang ditempel uang pecahan Rp5.000.

Rombongan kirab kemudian masuk ke area panggung pertunjukan di tengah Bukit Sidoguro. Di kawasan tersebut, ratusan warga sudah berkumpul. Setelah doa bersama, acara dilanjutkan dengan sambutan sebelum sebaran ketupat.

Saat Wakil Bupati Klaten, Yoga Hardaya, menyampaikan sambutan, warga mulai mendekati gunungan ketupat dan jumlahnya semakin. Menjelang akhir sambutan, warga mulai mengambil isi gunungan. 

Polisi, TNI, Satpol PP, serta sukarelawan pun bekerja keras untuk mengendalikan massa yang berdesakan dan saling dorong berebut isi gunungan. Ketupat yang ditempeli uang langsung dibagikan ke warga yang berdatangan.

Suasana riuh itu tak sampai menimbulkan insiden. Rangkaian kegiatan berlangsung aman. Dalam waktu kurang dari lima menit, seluruh ketupat yang sebelumnya menghiasai gunungan ludes. 

Pun halnya dengan aneka sayur dan buah-buahan termasuk voucher. Beberapa warga mengambil sisa-sisa hasil bumi yang masih menempel pada rangka gunungan. 

Selain isi gunungan, ketupat yang sudah dikemas dilengkapi opor pun ludes. Berat total ketupat yang dibagikan pagi itu mencapai 3 kuintal.

Seusai mendapatkan isi gunungan, sebagian warga melanjutkan kegiatan berwisata ke puncak Bukit Sidoguro. 

Dari puncak bukit itu pengunjung bisa menikmati panorama alam Rawa Jombor serta deretan perbukitan seribu dan kawasan perkotaan dari ketinggian.

Salah satu warga, Partini, 40, mendapatkan tiga ketupat. “Meski berdesakan tetap senang. Rencana ketupat mau dimakan,” kata warga Desa Sajen, Kecamatan Trucuk tersebut.

Lain halnya dengan Ngatiyem, 59, warga Desa Prawatan, Kecamatan Jogonalan. Meski tak mendapatkan ketupat, dia berhasil mengumpulkan sayur mayur hingga sekantung plastik kresek besar dari gunungan.

Rencananya, sayuran itu dia bagi-bagikan ke teman-temannya. “Sudah lama tidak ada tradisi ini. Harapannya semakin bagus,” kata Ngatiyem.

Warga Desa Jimbung, Kecamatan Kalikotes, Miyati, 60, mendapatkan empat ketupat serta satu selongsong atau bungkus ketupat serta buah-buahan. 

Meski usianya tak lagi muda, Miyati nekat ikut berdesakan demi mendapatkan ketupat. “Alhamdulillah senang. Saya tadi justru dijoroke malah ambruk [didorong sampai jatuh],” kata Miyati sembari tertawa.

Miyati berencana memakan ketupat yang dia peroleh bersama keluarganya. Sementara, selongsong ketupat akan dia tempel di atas pintu rumah. “Buat syarat saja memasang selongsong ketupat di pintu rumah. Biar berkah,” kata dia.

Kepala Disbudporapar Klaten, Sri Nugroho, menjelaskan tradisi syawalan sebagai wujud melestarikan budaya Jawa. 

“Kegiatan itu sekaligus menjadi sarana silaturahmi antara masyarakat dan masyarakat serta masyarakat dengan pamong prajanya untuk saling memaafkan. Kegiatan juga bertujuan menggerakkan sektor pariwisata untuk menggerakkan perekonomian masyarakat,” kata Nugroho.

Nugroho menjelaskan tema grebeg syawalan tahun ini yakni ngapura ing ngapura tumuju ing Fitri. Rangkaian kegiatan diawali kirab 27 gunungan ketupat sebagai wujud syukur kepada Tuhan.

Setelah serangkaian acara seremonial, isi gunungan diperebutkan. Selain itu, panitia membagikan 1.000 porsi ketupat.

“Filosofi ketupat dalam bahasa Jawa kupat artinya ngaku lepat [mengakui kesalahan]. Makna dari 27 gunungan sebagai suatu peristiwa agung dalam menjadi landasan manusia sebagai perintah menjalankan salat lima waktu,” kata Nugroho.

Wakil Bupati Klaten, Yoga Hardaya, mengatakan tradisi syawalan menjadi sarana pemersatu. Dia berharap warga yang berdatangan bisa menyelami makna yang terkandung dalam tradisi tersebut.

“Terdapat banyak makna dan filosofi dari ketupat. Dalam bahasa Jawa disebut kupat yang bisa diartikan ngaku lepat. Kemudian dibungkus janur, sejatinya nur menggambarkan manusia dalam keadaan suci setelah mendapatkan nur atau cahaya selama Ramadan,” kata Yoga.



Yoga mengatakan tradisi syawalan menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa. 

Tradisi itu ikut mendukung pembangunan kepariwisataan hingga perekonomian warga. Lantaran hal itu, Yoga sangat mendukung tradisi tersebut dipelihara kelestariannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya