SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Tubuh Gayatri ditemukan mengambang, tersangkut di tiang jembatan. Ada beberapa luka bekas penganiayaan dan mengarahkan pelakunya adalah Dulkipli. Tidak butuh waktu lama bagi petugas berseragam untuk meringkus lelaki gempal itu.

“Tidak mungkin pelacur itu mati hanya karena kutampar dan kutendang ringan. Saat kutinggal pergi, bahkan ia masih sanggup mencaci-maki. Di rumahnya, bukan di kali. Catat itu, Pak Polisi!” teriak Dulkipli dengan borgolan di tangan. Tapi tak ada yang menggubrisnya.

Promosi BRI Group Berangkatkan 12.173 Orang Mudik Asyik Bersama BUMN 2024

Minto yang merupakan tetangga terdekat mengatakan, Dulkipli tak segan menceraikan Ruminten istrinya, andai Gayatri bersedia dinikahi. Karena Ruminten sudah tidak bisa mengurus suami. Karena yang dibisa Ruminten hanya bernyanyi Nina Bobo dan tertawa.

Minto memperingatkan agar Ruminten jangan menyanyi malam-malam. Anak-anaknya mengira itu kidung pencabut sukma dari genderuwo penunggu pohon randu tua. Persis dongeng yang mereka baca dari buku yang dipinjam di perpustakaan sekolah.

Setahu Minto, Ruminten hanya pernah menangis tiga kali. Yang pertama saat anaknya yang sulung terlindas ban tronton dan meninggal di tempat. Kedua, saat si tengah bermain terlalu dekat rel dan tersambar kereta.

Terakhir, saat wuragil-nya kejang-kejang dan dibobogi daun sangket sambil menunggu dicarikan mobil angkutan. Celakanya saat mobil sewaan datang, si bungsu malah berhenti kejang. Sepenuhnya diam, dingin, memucat. Menyusul kedua kakaknya berpulang. Sejak saat itulah, Ruminten sering tertawa sendiri dan setiap waktu bernyanyi.

“Kasihan ya si Ruminten, sudah owah, ditinggal lakinya gandrung pula,” komentar Sumo Gali sok bijak, menutupi kegugupannya yang sejati.

Kepalanya mereka-ulang peristiwa semalam. Ia bersumpah ia tidak membunuh siapa pun, meski kenyataannya Gayatri ditemukan dalam keadaan sudah meninggal.

Gayatri sendiri pernah bercerita pada Sumo Gali, tidak ada tetangga perempuan yang menyukainya. Saat ia memakai kalung dan gelang emas, mereka bertanya duda tua bangka mana lagi yang kali ini menjadi korbannya. Saat ia memakai baju dengan lengan terbuka, katanya ia seekor lalat yang mencoba memasang perangkap.

“Untung ada Lurah Somad. Memudahkan pindah tempatku ke kampung ini. Menggratiskan surat-surat.”

Suami Gayatri seorang pensiunan guru sekolah dasar dan ia menjadi ibu tiri dari empat anak yang semuanya sudah dewasa. Semua aset termasuk rumah, sudah dipindahkan atas nama mereka saat suami Gayatri semakin sering sakit-sakitan. Jadi ketika akhirnya lelaki itu benar-benar tiada, yang tertinggal untuk Gayatri hanyalah uang pensiun di tiap bulan.

Cuma Sumo Gali yang mau menyediakan sepenuh telinga untuk mendengarkan keluhan Gayatri tanpa ada seorang perempuan mencemburuinya. Karena Ningsih sudah tidak ada. Ia pernah berkata bahwa kebutuhan utama perempuan adalah didengarkan. Meskipun yang keluar dari mulutnya adalah perkara yang itu-itu saja: harga minyak meroket, harga cabe menjerit, harga telur membengkak, harga ayam merangkak.

Kenyataannya, mulut perempuan tak ubahnya kedelai. Kena sedikit ragi saja, sudah berubah jadi tempe.

Saat Sumo Gali di-PHK dan punya waktu lebih lama untuk mendengarkan celotehan Ningsih dan dipikirnya istrinya itu akan semakin bahagia, ia justru berkata sambil mengemasi baju-baju, “Aku tidak mau hidup dengan banci. Karena kalau kau lelaki, pasti tidak hanya ongkang-ongkang kaki.”

Lalu Ningsih minggat. Menjadi istri siri dari blantik sapi di kampung Miri, beberapa kampung jaraknya dari kampung Warangan tempatnya tinggal dengan Sumo Gali selama ini. Sumo Gali melengkapinya dengan surat talak empat bulan kemudian.

“Semestinya perempuan yang menjadi istrimu bersyukur, Gali. Karena kamu lelaki yang tidak neka-neka,” puji Gayatri.

Membangkitkan desir-desir jiwa kelelakian di dada Sumo Gali. Awalnya ia merasa sudah cukup kadaluwarsa untuk kembali palakrama alias berumah tangga. Tapi kata-kata Gayatri ibarat pelita bagi gulitanya.

Hanya, Sumo Gali cukup pecundang di depan perempuan. Ia tidak berkata, “Kalau kamu yang menjadi istriku, apakah kamu juga akan bersyukur?” melainkan, “Sudah jangan kamu hiraukan mulut lancip Wuratin, Salimah, dan Ngatemi. Mereka berkata begitu karena kalah ayu darimu.”

Sebagaimana tiga perempuan itu memandang Gayatri, Sumo Gali pun menerima pandangan yang sama dari Dulkipli. Ia pernah dicegat lelaki kumisan itu saat baru pulang dari rumah Gayatri, diminta membetulkan letak genting yang bergeser dari usuk dan reng, menjadi celah bagi masuknya air hujan ke dalam rumah.

“Aku hanya menganggap Gayatri sebagai saudara saja,” kata Sumo Gali dengan nada bergetar, sekali lagi membuktikan kepecundangannya. Hanya kata-kata itu yang ia tahu sebagai cara agar tangan berotot Dulkipli menjauh dari kerah bajunya.

Untungnya bekas preman pasar itu segera pergi, tak sempat menyaksikan air kuning berbau macam benda difermentasi yang keluar dari celana Sumo Gali. Tentu tidak sulit bagi Dulkipli untuk sekadar meremukkan tulang-tulang lelaki seberat setengah kuintal.

Dipikir Sumo Gali, Dulkipli berhenti mengganggunya karena percaya pada pengakuannya yang menganggap Gayatri laiknya adik sendiri. Tapi ternyata salah.

“Aku memang melaporkannya pada Lurah Somad. Kelakuannya sudah sangat meresahkan. Maksa-maksa. Katanya kalau aku tidak mau menjadi istrinya, akan dipeletnya dengan ajian jaran goyang. Lelaki yang mendekatiku akan dikiriminya teluh,” jelas Gayatri dengan nada geram.

Entah apa yang dilakukan pihak kelurahan pada Dulkipli. Mungkin imbauan atau sanksi, tapi yang pasti ia tidak mencegat Sumo Gali dan mencekal kerah bajunya lagi.

Sumo Gali semakin betah berlama-lama di rumah Gayatri dan mau disuruh melakukan apa saja dengan imbalan dijatah makan. Mendengarkan keluhannya, memasang perangkap untuk tikus, memangkas dahan pohon mangga di halaman karena daunnya terlalu rimbun.

Rumah yang ditempati Gayatri sekarang dibelinya dari menyisihkan uang belanjaan semasa suaminya masih hidup. Lima tahun ia berumah tangga dan tidak dianugerahi sebiji pun keturunan. Suaminya memang tidak lagi perkasa di ranjang. Encoknya sering kumat. Badannya cepat loyo jika dipaksa banyak bergerak.

Ia bersedia dinikahi lelaki itu yang tak lain adalah teman masa kecil ibunya, karena keluarganya dililit jerat utang. Teman ibunya itu bersedia melunasi dengan syarat anak perempuannya yang masih gadis bersedia diperistri. Dua kakak Gayatri sudah berumah tangga. Adik Gayatri masih di tingkat kedua sekolah menengah. Jadilah Gayatri yang tersisa.

Menjadi janda di usia muda tidaklah mudah. Perempuan-perempuan bersuami menganggapnya musuh. Laki-laki beristri menganggapnya mangsa.
“Kamu yang sabar, Tri,” hibur Sumo Gali yang semakin sering datang ke rumah Gayatri.

Rerasan datang dari tetangga karena mereka janda dan duda. Tapi dari mulut Sumo Gali yang keluar hanyalah pengakuan bahwa ia tidak memiliki rasa katresnan. Hanya sebatas rasa kasihan.

Tapi, Dulkipli?

Sumo Gali berpapasan dengan lelaki itu saat baru pulang dari rumah Gayatri. Jika dilihat dari arahnya, sepertinya Dulkipli akan menuju rumah Gayatri.

Membuat Sumo Gali urung pulang ke rumahnya sendiri. Apa yang diinginkan lelaki itu lagi? Bukankah pihak kelurahan sudah melarangnya mendekati Gayatri?

Sumo Gali membuntuti Dulkipli yang benar adanya ke rumah Gayatri. Dulkipli mengetuk pintu dan diterima di ruang tamu. Sumo Gali mengintip dari celah jendela samping rumah.



“Aku dengar-dengar lelaki itu memang bukan Sumo Gali. Ada lain lagi. Siapa pengecut itu?” bentak Dulkipli.

“Itu bukan urusanmu!” balas Gayatri yang berbuah tamparan di pipinya. Sumo Gali menggigil di dekat jendela. Ia tidak tega Gayatri-nya disakiti. Tapi apa yang bisa dilakukan daging setengah kuintal di hadapan daging gempal?

“Kalau aku tidak bisa memilikimu, lelaki mana pun tidak akan kubiarkan menyentuhmu!”

“Kau tidak punya hak untuk… ” Namun sebelum kalimat Gayatri bertemu ujungnya, sebuah tendangan lebih dulu mendarat ke pahanya yang berbalut rok berenda.

Mata Gayatri berkilat garang. Ia mengancam akan berteriak jika Dulkipli tidak segera angkat kaki. Membuat lelaki itu tidak punya pilihan selain pergi setelah lebih dulu membanting daun pintu.

Sumo Gali masih mematung di jendela. Jantungnya berdegup kencang dan ia merasa perlu sedikit waktu untuk menenangkannya. Dilihatnya Gayatri mengelus-elus paha kanannya.

Ia meringis dan saat itulah Sumo Gali merasa ia harus segera keluar dari tempat persembunyiannya. Siapa tahu diminta membelikan parem di warung atau mengurut kaki yang sakit.

Namun baru saja Sumo Gali berniat beringsut dari dekat jendela, seseorang muncul dari pintu luar rumah Gayatri. Tanpa didahului mengetuk pintu selayaknya ia dan Dulkipli.

Seperti sudah terbiasa melakukannya. Sumo Gali mengucek matanya untuk memastikan siapa yang dilihatnya, selayaknya mata itu katarak atau rabun senja. Tapi kenyataannya, yang dilihatnya tidak berbeda meskipun awalnya Sumo Gali tidak percaya. Gayatri menangis di pelukan lelaki tamu yang lantas memapahnya ke dalam. Bukankah urusan antara mereka semestinya diselesaikan di tempat kerja dan pada waktu siang?



Beberapa lama kemudian lelaki itu keluar dari kamar Gayatri. Sambil merapikan kancing baju dan diantarkan Gayatri sampai ke pintu yang jalannya tidak lagi sepincang sebelumnya. Sebuah kecupan mendarat di kening Gayatri dan itu membuat Sumo Gali menjadi muak sekaligus merasa tolol karena nyatanya ia tetap mengintip di celah jendela tanpa bisa melakukan apa-apa.

Bukannya menutup pintu selepas lelaki itu pergi, Gayatri justru keluar berbekal senter. Beberapa ratus meter di belakang rumah ada sungai dan di musim penghujan begini pastilah arusnya deras.

Diyakini Sumo Gali, Gayatri ingin buang hajat. Sumo Gali mengikuti dengan tetap menjaga jarak. Bunyi ‘krek’ dari ranting patah yang diinjak Sumo Gali, memicu Gayatri mengarahkan cahaya senternya ke arah sumber suara.

“Siapa di situ? Eh Gali, kamu ngintip, ya?” seru Gayatri saat cahaya senter tepat mengarah ke muka Sumo Gali yang tidak berpenudung.

“Ma.. af.” Sumo Gali tergeragap menjawab.

Byuuuuur!

Saking kagetnya dikuntit Sumo Gali, mungkin saja Gayatri salah pijak di batu yang licin, tubuhnya oleng dan tergelincir ke air. Senternya terlepas dan jatuh menghantam batu.

Tapi bunyi senter dan tubuh yang jatuh hanya didengar oleh Sumo Gali karena hanya ia yang ada di balik kerimbunan rumpun bambu pinggir sungai. Gayatri bahkan tidak sempat meminta tolong karena bah buru-buru menyeretnya.

Sumo Gali masih terdiam dengan isi kepala yang bercabang. Berteriak dan orang-orang akan datang. Atau ia sendiri yang nyemplung untuk menolong Gayatri selayaknya ciblon di masa kanak-kanak.



Tapi, tidak. Justru Sumo Gali tidak memilih salah satu atau keduanya. Ia memilih sebuah ide baru yang tiba-tiba melintas di kepalanya: membiarkan tubuh Gayatri menentukan nasibnya sendiri di tengah arus sungai. Darahnya mendidih membayangkan apa yang baru saja perempuan itu lakukan dengan Lurah Somad selama dua jam di dalam kamar.

Pasini, mitra BPS Kabupaten Ngawi sebagai tenaga entri data. Menulis cerpen yang pernah tersiar di sejumlah media cetak dan daring.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya