SOLOPOS.COM - Nasi liwet Bu Sri di pasar Gede Solo. (Solopos/Chelin Indra Sushmita)

Solopos.com, SOLO — Kupikir saat ini di depanku akan penuh kendaraan berlalu lalang dan atap rumah berlekatan. Namun yang ada hanyalah hamparan padi yang temaram oleh penerang jalan.

Kuamati lingkungan sekitar dengan leluasa setenang suasana kuburan pukul delapan malam, dan di kala itulah warung ini baru dibuka.

Promosi BRI Peduli Ini Sekolahku, Wujud Nyata Komitmen BRI Bagi Kemajuan Pendidikan

Seorang wanita duduk menghadapku di meja seberang: rambut cokelatnya tergerai tebal sebahu dan ia tengah berbincang dengan lelaki botak di sampingnya—hanya kami bertiga yang duduk di bangku—katanya semakin malam tempat ini akan ramai pelanggan: ibu-ibu muda yang menyuapi bayi di pinggir jalan yang mengatakan.

Aku mendengarnya ketika baru sampai di desa ini sore tadi. Logat mereka tak jauh beda dengan wanita di depanku itu.

“Jika beruntung, kau akan mengunyah mendoan renyah, Mas. Tapi malam ini Mbok Yem mungkin libur menggorengnya,” kata si wanita.

Sesekali ia menatap ponsel yang memantulkan cahaya kuning ke wajah ovalnya. Lelaki botak itu manggut-manggut, persis sebagaimana anak yang diceramahi ibunya, kendati sebetulnya ia lebih pantas disebut bapak oleh si wanita.

Tak lama kemudian pesanan mereka datang: dua gelas teh kental panas berjajar dengan piring rotan berlapis daun pisang yang sudah diisi gundukan nasi liwet dengan telur pindang.

“Mbak mau lauk apa?” tanya si penjual mengagetkanku. Dari jarak dekat, aku terheran-heran melihat parasnya yang mirip Nani Wijaya.

“Telur dadar bisa?”

“Bisa, nanti saya buatkan. Minumnya?”

“Teh krampul hangat?”

“Ada, sebentar.” Si penjual lantas memunggungiku, berjalan tanpa beban lalu meminta suaminya mengucurkan air ke dalam gelas bergula lalu membubuhinya dengan irisan jeruk nipis.

Tangannya mahir mengocok sebutir telur yang dipecahkannya ke dalam mangkuk. Tak lama kemudian terdengar suara cairan kental kekuningan beradu dengan minyak panas. Badan si penjual itu tampak tenang, hanya jemarinya yang bergoyang-goyang.

Kulihat wanita di depanku mengusapkan tisu ke ujung bibir. Ia semampai, ia gemulai, dan ia cerewet. Blus merah yang sewarna dengan gincunya merekah tersorot bohlam pijar. Lamat-lamat kudengar ia memulai percakapan dengan Mbok Yem, begitu panggilan ibu berusia enam puluhan itu.

“Sudah lama berjualan nasi liwet, Mbok?”

“Lumayan, sepuluh tahun,” jawab Mbok Yem dengan mimik muka yang semakin terasa tidak asing. Ia gemuk dan putih dan seolah-olah seringkali menghiasi layar televisi.

“Kami bisa menyekolahkan anak ya karena jualan, Mbak! Sekarang anak kami jadi dokter dan buka praktik di depan alun-alun!” sahut suami Mbok Yem: tubuhnya gempal dan suaranya terdengar hingga ke sawah seberang.

“Maksud sampean itu dokter Yunus?” mata wanita itu membulat seperti kuningan telur di piringnya.

“Iya.” Suami Mbok Yem tersipu, sementara Mbok Yem masih sibuk menyiapkan pesananku. Kukira hanya wanita yang bisa tersipu.

Rupanya selama ini aku tertipu. Mendengar suami Mbok Yem membicarakan anaknya tadi, menyurutkan ingatanku pada sosok Ibu yang selalu membanggakan kedua kakakku.

Dulu Ibu menyuruh kami belajar setiap hari. Mbak Riris dan Mbak Arni mematuhinya dengan rajin membaca buku pelajaran dan menghafalnya keras-keras dan mereka mendapat peringkat lima besar di kelas, sedangkan aku peringkat sepuluh besar paling bawah. Bagiku buku cerita lebih menarik ketimbang buku pelajaran.

Ibu sering memarahiku, tetapi aku tidak membentaknya. Sebelum Bapak meninggal, ia berpesan agar aku bersikap lemah-lembut terhadap Ibu, lalu semenjak itu aku tak pernah berteriak pada wanita yang telah melahirkanku itu.

Pada hari ketika Mbak Riris mendapat beasiswa kuliah di kota kemudian dua tahun setelah itu Mbak Arni menyusulnya, Ibu menjadi wanita yang paling bahagia di dunia.

Setiap bertemu dengan kerabat maupun tetangga, ia akan berkata bahwa kedua anaknya menempuh pendidikan di kota dan aku tak pernah menjadi bagian dari ceritanya.

Aku jadi penasaran, tentang anak Mbok Yem itu, mungkin saja sebenarnya masih ada saudara dari dokter yang disebutnya tadi, tetapi aku tak mau ikut-ikutan menjadi wanita di depanku itu yang terus mencecar pertanyaan pada Mbok Yem.

“Wah, hebat sampean ya? Kami malah belum dikaruniai anak sampai sekarang.” Si wanita berujar lagi, pernyataannya sekaligus memberitahu pada kami bahwa lelaki botak itu adalah suaminya.

“Memang sudah berapa tahun?” Kali ini Mbok Yem yang bertanya.

“Lima tahun.”

“Enggak apa-apa, Mbak, yang sabar! Mungkin memang belum waktunya,” celetuk Mbok Yem.

Pasangan itu membalasnya dengan senyum dan kurasa mereka sudah terbiasa dengan senyuman itu, karena aku pun dulu sering melakukannya saat mendengar Ibu memuji kedua kakakku.

“Adakah pengalaman mengesankan selama berjualan di sini?”

“Pengalaman? Banyak!” timpal Mbok Yem, yang langsung dilanjutkan cerita dari suaminya tentang para pengunjung warung yang tidak wajar: seperti wanita penghibur yang kerap datang bersama lelaki hidung belang di tengah malam, lalu beberapa remaja yang sempoyongan dengan aroma alkohol di mulutnya, juga segerombolan orang yang diduga pemakai narkoba.

“Orang-orang bermasalah kayak mereka itu kelihatan, Mbak, kami bisa membaca gerak-geriknya,” tegas suami Mbok Yem.



“Kalau kami?” tanya si wanita lagi yang disambut tawa kecil dari si penjual lalu pada akhirnya mereka pun tergelak bersama, termasuk lelaki botak itu.

Kepalanya terlihat kian mengilat dan aku heran kenapa malah rambut di bawah hidungnya yang lebat.

Angin malam mendesau lembut. Aroma hujan sore tadi menyusup ke rongga hidung. Kunang-kunang bebas beterbangan di sudut tiang dan nyamuk-nyamuk berebutan mengerumuni tangan Mbok Yem yang tengah menyuguhkan pesananku.

“Silakan, Mbak!” katanya sambil tersenyum. Kubalas dengan anggukan sekadarnya, tetapi aku tidak langsung melahap hidangan darinya.

Kupandangi butir-butir nasi yang sebagian berdempetan dan lainnya kuyup akan kuah sayur labu siam. Bau santannya menendang seperti masakan yang Ibu sajikan jika Mbak Riris dan Mbak Arni bertandang.

Ibu berbelanja ke pasar lalu memintaku membantunya di dapur untuk menyambut mereka dengan nasi liwet ala kadarnya. Semenjak kedua kakakku tinggal di kota, makanan itu menjadi menu kesukaannya.

Mereka berdua membelinya di pedagang kaki lima dan para pengamen selalu mengganggu mereka ketika tengah menikmatinya.

Sepuluh menit berlalu, namun nasi liwetku belum juga kusentuh. Si wanita bergegas mendekati Mbok Yem kemudian menyodorkan selembar kertas merah: tepat ketika dua bapak paruh baya datang memesan secangkir kopi hitam.

Setelah menerima uang kembalian, pasangan itu berpamitan. Mereka memasuki mobil sedan kemudian melaju bersama deru mesin yang semakin sayup, hingga hanya tersisa suara dua bapak tadi yang sedang mengeluhkan banyaknya hama di sawah dan para petani yang meninggal kesetrum jebakan tikus yang mereka pasang sendiri. Padahal pemerintah sudah melarang mereka berkali-kali.



Begitu cepat perpindahan topik terjadi, seakan aku tengah membaca satu cerita yang belum tuntas berganti ke judul lainnya dan aku benci cerita yang belum tuntas.

Bertahun-tahun kucoba menyelesaikan tulisanku, tetapi tak kunjung usai juga. Ibu memintaku menghafal buku pelajaran bukan menulis cerita. Ia merobek semua tulisanku dan membakarnya bersama ranting-ranting pohon jambu.

Kusaksikan api yang menari-nari, menjulurkan lidahnya seolah sedang mengolok-olokku.

Belanga di atas tungku semakin tamak dan menguarkan bau nasi liwet yang membuatku muak. Hatiku membara menatap kertas-kertas itu memerah namun mulutku tak bisa berkilah.

Aku memilih menjauh, lari dan lari. Aku tak bisa berteriak pada Ibu—tetapi selang beberapa jam tiba-tiba orang-orang berteriak memanggilku.

Terlihat kabut asap yang membubung di angkasa. Kutelusuri arahnya sampai tiba di barisan orang yang memandang rumahku tak lagi serupa sebelumnya. Entah bagaimana awalnya api yang semula sepanjang lidah buaya bisa melahap bangunan kayu itu.

Kedua kakiku kaku menyaksikan jerebu melayang-layang, warna merah menjelma hitam, hitam menjadi kelabu. Mata dan telingaku panas dan tiba-tiba semua senyap. Kutemukan Ibu dengan sorot mata padam.

Kunantikan amarah yang tadi pernah berkobar di sana, namun seakan semua ikut merayap ke udara, membuat langit yang jingga menjelaga dan hujan turun melaburkan puing-puing yang tersisa.

Aku merutuki nasi liwet sialan dan kedua kakakku yang kupikir akan pulang tapi tak kunjung tiba. Keesokan harinya mereka datang dan baru setelah itu, aku sadar jika masakan itu bukan untuk mereka. Ibu memasaknya untukku—yang pertama dan terakhir kalinya.



Di hari Minggu yang dingin, aku menginjakkan desa ini lagi setelah sekian lama tinggal bersama kedua kakakku di kota. Besok aku berjanji akan mengunjungi makam Bapak dan Ibu.

Kepada mereka hendak kukatakan bahwa anak bungsunya sudah selesai menulis cerita dan, tentu saja, Ibu tak perlu lagi repot memasakkan nasi liwet jika kami pulang.

 

Prima Yuanita, seorang ibu rumah tangga yang berkeinginan menjadi guru ngaji. Peraih juara I Lomba Karya Jurnalistik PKK tahun 2020 tingkat Provinsi Jawa Tengah.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya