SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Dua anak lelaki, kakak beradik (13 tahun dan 7 tahun) sedang duduk di bawah jembatan layang, tempat yang biasa digunakan untuk parkir mobil.

Tukang parkir yang biasa berjaga tidak tampak. Mungkin karena sedang sepi, bahkan saat itu tidak ada satupun mobil yang parkir. Karena hal itu, mereka tidak bisa membersihkan kaca mobil.

Promosi BRI Bantu Usaha Kue Kering di Sidoarjo Berkembang Kian Pesat saat Lebaran

Lebih dari itu suasananya memang terasa lengang. Dari tempat itu, pandangan mereka ke arah jalan sisi kanan dan kiri jembatan layang menjadi tidak terhalang.

Meski kedua jalan yang punya jalur berlawanan itu terkadang padat dengan kendaraan, bahkan sesekali mobil-mobil seperti hampir tak berjarak tetapi rasanya tetap tidak memengaruhi kelengangan tempat itu.

Untuk jalan yang sebelah kiri, setelah melewati perlintasan kereta api, akan bercabang tepat di tengah bawah jembatan layang. Satu jalur tetap lurus, dan yang lain belok ke kanan. Tempat itu ditandai tembok pendek setinggi setengah badan orang dewasa.

Di sisi seberang masing-masing jalan berjajar bangunan-bangunan sederhana yang hal itu menggambarkan keadaan yang berkebalikan dengan kemegahan jembatan layang. Di depan bangunan-bangunan tersebut terdapat tiang-tiang untuk memasang bohlam yang bersinar temaram.

Pada saat malam hari, dari tempat mereka duduk, nyala bohlam itu tampak seperti kunang-kunang yang berjejer. Terlebih jika bulan sedang tidak menampakkan diri, seperti hari itu, karena hampir seharian hujan turun tak henti-henti, bahkan hingga saat itu masih menyisakan gerimis, mungkin malam yang sebentar lagi datang akan tanpa bulan.

“Gimana rasanya punya rumah?” Pertanyaan si adik memecah keheningan.

Sementara si kakak tidak menanggapi pertanyaan si adik. Dia sedang memperhatikan jatuhnya rintik gerimis yang tidak tampak oleh matanya, dan baru akan terlihat saat rintik itu jatuh di genangan air.

Si kakak khusyuk memperhatikan hal itu, seperti sedang mengaguminya, seakan-akan selama ini dia belum pernah melihat. Sengaja si kakak tidak menyampaikan apa yang dia perhatikan kepada si adik yang saat itu tampaknya sedang kecewa terhadap hidup yang mereka jalani.

Si adik terkadang memang mempertanyakan, mengapa mereka dilahirkan miskin, tidak mengenali orang tuanya, bahkan saat itu mereka tidak punya tempat tinggal.

Setiap kali si adik sedang mempermasalahkan hal itu, si kakak sengaja tidak melayani bicaranya. Jika sudah begitu, si adik akan memasang wajah murung. Si kakak sudah hafal, jika si adik bersikap demikian, hal itu tanda bahwa dia sedang lapar, sementara sampai saat itu belum ada sesuatu yang bisa untuk dimakan.

“Apa orang-orang yang di mobil itu pernah berpikir tentang kita?” Si kecil bertanya lagi sembari tangannya mengambil kerikil, lalu dilemparkan ke arah mobil-mobil itu. Namun sekeras apa pun dia melemparkan kerikil, tak akan sampai kepada mobil-mobil itu.

Selain jaraknya cukup jauh, kerikil yang si adik pakai tergolong kerikil yang sangat kecil. Si adik sengaja memilih kerikil jenis itu agar lemparannya tidak sampai kepada mobil. Namun si kakak yang melihat hal itu tetap merasa takut hingga dia langsung memperingatkannya.

“Aku tak ingin menodai kemiskinan kita, Kak,” sahut si adik.

Si kakak melihat si adik, lantas menunduk. Pada saat itulah dia melihat puntung rokok yang berada di dekat kakinya. Dia memungutnya, lantas disulut dengan korek yang dia ambil dari saku celananya. Hanya tiga isapan sudah habis, lalu dibuang begitu saja. Si kakak lantas bangkit dan molet yang bersamaan itu terdengar suara krek, krek.

Pada saat itu suara ning nong ning nong di pos palang perlintasan kereta api berbunyi. Mendengar hal itu, si kakak menyambar kain yang ada di samping si adik, bergegas dia berlari mendekat ke arah palang kereta. Di sana si kakak mulai mengelap kaca mobil yang berhenti.

Setelah beberapa waktu kemudian suara gemuruh dari kejauhan mulai terdengar, tanda sebentar lagi kereta api akan melintas.

“Dapat berapa, Kak?” tanya si adik ketika si kakak sudah kembali ke tempat itu.

Si kakak menggeleng cepat. “Tak ada,” sahutnya kemudian.

“Orang-orang mulai tidak suka pahala,” gumam si adik.

Si kakak melihat si adik sembari bibirnya tersenyum nanggung.

“Sepur itu sekarang juga bukan milik kita,” ujar si adik.

Si kakak spontan tertawa. “Dari dulu memang bukan milik kita,” sahut si kakak.

“Katanya itu angkutan untuk rakyat kecil?” protes si kecil.

Si kakak tidak langsung merespons balik. Dia sibuk mencari sesuatu, mungkin sedang mencari puntung rokok yang lain.

“Kita memang bukan rakyat kecil, tapi rakyat miskin,” tanggap si kakak kemudian.

Tak lama kemudian terdengar bunyi klakson, ada mobil yang masuk area itu, dan hendak parkir. Si adik berdiri untuk memberi jalan. Setelah memarkirkan mobil, pengendaranya keluar lantas menuju salah satu bangunan sederhana yang ada di seberang jalan sebelah kiri.

“Semoga ini tanda-tanda rezeki,” pikir si kakak.

“Kenapa kita tidak minta-minta saja, Kak? Biar cepat dapat uangnya,” ujar si adik.

Si kakak menggeleng dengan lemah.

“Kenapa. Kak?”

“Kakak tidak bisa melakukan.”



“Sulitnya apa?” tanya si adik tampak heran.

“Bukankah kita tinggal menjulurkan tangan?” sambung si adik.

Dari kejauhan orang yang membawa mobil keluar dari bengunan sederhana itu. Si kakak yang memperhatikan hal itu langsung beraksi, mendekati mobil itu dan membersihkan kacanya. Orang itu langsung masuk mobil lalu menjalankannya, sembari mengucapkan terima kasih. Si adik menyaksikan adegan itu dengan sedikit geram.

“Tak punya hati kayaknya,” kata si adik.

“Mungkin dia sedang susah,” sahut si kakak.

“Punya mobil kok susah!”

“Mungkin itu mobil pinjaman.”

“Baik benar nasibnya, mobil saja dipinjami.”

“Maksudku utang.”



Si adik tetap saja menganggap hidup orang itu enak karena di saat sedang susah, bisa utang mobil.

“Hari ini kita belum makan, Kak,” ujar si adik kemudian.

“Malam ini kereta masih akan lewat dua kali. Semoga nanti kita beruntung,” jawab si kakak.

“Kalau tidak beruntung?”

“Jangan membuat pertanyaan untuk mematikan sebuah harapan,” sahut si kakak.

Pada saat itu ada mobil berhenti di jalan sebelah kanan. Kaca mobil turun dan terlihat orang yang pegang setir melambaikan tangannya. Si kakak gegas mendekat, sementara benak si adik penuh pengharapan.

Terjadi obrolan antara si kakak, dan orang di dalam mobil. Tangan si kakak terlihat menunjuk-nunjuk ke arah timur. Setelah itu mobil berjalan.

Sebentar saja si kakak sudah berbalik, dan lekas memberi isyarat kepada si adik bahwa dia tidak dapat apa-apa.

Seketika kesedihan seperti menebal di hati mereka, namun hal itu cepat terlupa ketika pos palang kereta api berbunyi ning nong ning nong. Gerak cepat si kakak menghambur mendekati palang kereta itu.



Mobil yang berhenti untuk menunggu terbukanya palang perlintasan kereta lumayan banyak. Si kakak dengan semangat membersihkan kaca mobil-mobil itu.

Namun nasib baik belum berpihak kepadanya. Semua orang yang mobilnya telah dibersihkan kacanya memberi isyarat tidak bersedia memberi sepeserpun uang.

Si adik mengamati hal itu dari kejauhan, dan meski si adik tahu bahwa si kakak tidak menuai hasil, tapi ketika si kakak sudah kembali, dia tetap bertanya.

“Gimana, Kak?” yang tentu saja pertanyaan itu hanya dijawab dengan gelengan kepala.

“Semoga kereta api terakhir malam ini melimpahkan rezeki,” tambah si kakak yang lebih mirip seperti sebuah gumaman lirih.

Setelah itu, sembari menanti kereta lewat, mereka berdua menuju tiang besar jalan layang itu, dan membaringkan badannya di sana. Namun si kakak melakukan itu hanya sebentar saja lantas bangkit lagi. Dia tidak ingin ketiduran hingga melewatkan kereta terakhir malam itu.

Kemudian si kakak meninggalkan si adik yang sudah mulai tak sadarkan diri, terlihat dari matanya yang merem melek. Si kakak bermaksud menunggu kereta terakhir di dekat palang. Dia bersandar di salah satu tembok bangunan yang ada di seberang.

Kira-kira setengah jam lewat, dia sedikit kaget ketika pos palang kereta berbunyi ning nong ning nong. Dia lantas berdiri, menyaksikan palang kereta turun pelan-pelan sampai akhirnya berhenti melintang.

Dia masih berdiri di tempatnya. Dia menunggu dan menunggu, namun sampai kereta api lewat, tak ada satu pun mobil yang berhenti sampai tiba saatnya palang kereta terbuka kembali.



Sementara, di kejauhan sebenarnya si adik tidak bisa terlelap, karena untuk tidur dalam kondisi perut kosong memang bukan perkara mudah. Bahkan si adik menyaksikan adegan ketika si kakak sedang menunggu, dengan berdiri di pinggir jalan.

Pada saat si kakak telah kembali, kali itu si adik bukan saja tidak bertanya, bahkan dia pura-pura telah terlelap dengan air mata yang masih tersisa di pelipisnya.

***

Yuditeha
Menulis Puisi dan Cerita. Pendiri Komunitas Kamar Kata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya