SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Setiap pagi sehabis subuh aku selalu duduk di lincak yang ada di depan rumahku sambil membaca buku.

Begitulah, setiap hari ibu selalu melarangku tidur pagi sehabis subuh. Sebaliknya ia mewajibkanku untuk mempersiapkan buku-buku pelajaran yang nanti kupelajari di sekolah. Aku disuruhnya untuk terus membaca.

Promosi Program Pemberdayaan BRI Bikin Peternakan Ayam di Surabaya Ini Berkembang

Bila sekali saja ketahuan tidur maka aku mendapat hukuman dengan cara tidak dikasih uang jajan. Berat sekali rasanya, malas bercampur kantuk, apalagi bila kebetulan sedang berhadapan dengan pelajaran matematika. Ah, beban hidup terasa berlipat-lipat beratnya.

Selagi ibu masih mondar-mandir di depan rumah, aku terus membolak-balikkan buku, pura-pura membaca dengan serius. Namun jika ibu sudah pergi beraktivitas ke dapur, kuletakkan buku itu.

Dan seperti biasa, yang kulakukan selanjutnya adalah mengamati orang-orang yang hilir mudik di jalanan, tepat di depanku.

Rutinitas seperti inilah yang membuatku hafal betul bagaimana suasana pagi buta di desaku. Ada segerombolan perempuan-perempuan tua yang berpakaian kebaya dan jarik lusuh sambil menggendong rinjing di punggungnya, saling bergurau penuh keakraban.

Ada yang mengendarai sepeda dengan dua keranjang di sebelah kiri dan kanan berisi barang dagangan. Ada sebuah delman yang berjalan terseok-seok penuh muatan.

Mereka adalah para pedagang yang berangkat ke pasar untuk berjualan. Lalu ada penggembala yang menggiring gembalaannya. Dan yang tentu tak pernah kulupa, adalah seseorang yang selalu menyapaku di setiap kali melintas.

“Dek Kasan.” Begitulah sapanya. Dengan ekspresi genit dan ramah keibuan.

Dia seorang perempuan seusia bibiku. Aku dan juga teman-teman seusiaku memanggilnya Bibi Narsih. Setiap pagi ia lewat depan rumahku. Bukan untuk pergi ke pasar, melainkan berolah raga sepeda keliling desa.

Aku tak pernah tahu apa sebenarnya pekerjaan Bibi Narsih. Namun yang jelas, di mata para tetangga Bibi Narsih dikenal sebagai seorang yang pintar dan terpelajar. Aktif mengikuti kegiatan organisasi yang ada di kampung. Dan kebetulan ia juga akrab dengan anak-anak.

Ibuku pernah memintanya untuk membimbingku belajar, terutama pelajaran matematika yang sangat kubenci itu.

“Aku tak ingin melihat rangkingmu jelek lagi,” kata ibu.

Dan syukurlah, pada penerimaan rapor berikutnya aku mendapat rangking dua berkat bimbingan Bibi Narsih. Betapa senang dan bangga hati ibuku. Semenjak peristiwa itu, ibu semakin percaya pada Bibi Narsih, hingga akhirnya ia semakin akrab dengan seluruh anggota keluargaku.

Pada saat hari libur, atau setelah pulang sekolah aku dan kawan-kawanku menghabiskan waktu di pelataran punden dekat kuburan. Di situlah tempat bermain yang asyik, selain sawah dan sungai.

Di kampungku punden adalah sebuah bangunan pendapa yang berada dalam satu komplek dengan pemakaman desa. Di tempat itu sering diselenggarakan acara-acara adat semisal upacara selamatan bersih desa dan pagelaran wayang kulit.

Di depan pendapa ada sebuah halaman yang cukup luas, ditumbuhi rumput-rumput liar. Pohon-pohon besar seperti beringin, trembesi, dan cemara angin yang tumbuh di sekitarnya membuat tempat itu terasa teduh dan sejuk.

Kami suka bermain di tempat itu. Kami bermain dengan sesuka hati tanpa ada yang melarang, hanya ada satu tempat yang sekali-kali membuat kami ciut nyali.

Tempat itu, orang-orang menyebutnya cungkup. Sebuah bangunan kecil di sebelah punden, di dalamnya ada sebuah makam yang kata orang-orang tua adalah makam pendiri desa. Tempatnya sepi, menyendiri, selalu berbau asap kamenyan dan terkesan angker.

Bila kami tengah bersembunyi waktu bermain petak umpet, tak ada seorang anak pun di antara kami yang berani menjamah wilayah itu karena takut kesurupan atau karena alasan lain seperti bisa kualat.

Namun keriangan bermain itu harus berakhir ketika sudah tiba waktu asar. Saat azan berkumandang, kami pulang ke rumah masing-masing karena persiapan mau berangkat mengaji.

Lalu bila waktu sudah magrib, nah, itulah saat-saat di mana hatiku mulai gelisah. Rasa malas dan kantuk seperti menyergap kesadaranku secara tiba-tiba. Seandainya aku mau jujur, penyebabnya sepele saja, sehabis Salat Magrib adalah jadwalku untuk belajar.

Sebenarnya aku heran dengan ibuku, semenjak nilai raporku mendapat peringkat yang bagus, mengapa Ibu justru semakin mengawasi belajarku secara ketat. Baru di kemudian hari aku tahu jawabannya ketika Bapak bercerita tentang Ibu.

Kata Bapak, dulu Ibu ketika sekolah hanya tamat SD. Mimpinya untuk bisa bersekolah sampai ke perguruan tinggi terpaksa kandas karena kakek tak mendukung.

Lalu Ibu seolah punya dendam. Dan yang harus membalas dendam itu adalah aku. Maka Ibu ingin aku terus belajar sampai tamat perguruan tinggi. Ibu ingin aku jadi orang yang berilmu yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa, begitulah pesannya.

Sementara itu hampir setiap malam Bibi Narsih selalu datang ke rumah. Ia tak pernah lelah membimbingku.

Bibi Narsih orangnya telaten dan sabar. Cara manjelaskannya mudah kucerna. Tapi memang dasarnya aku ini mudah bosan dan malas, maka seringkali aku ngedumel dalam hati.

Bahkan kadang-kadang terbersit pikiran konyol dalam diriku misalnya aku berdoa semoga malam nanti hujan deras, agar Bibi Narsih tidak datang. Namun sayang, kalaupun kebetulan turun hujan deras, Bibi Narsih tetap datang membawa payung. Ia tetap mengajariku seperti biasa.

Sungguh luar biasa semangat Bibi Narsih. Sudah beberapa kali ibu memberinya sesuatu sebagai imbalan tapi dia menolak.

“Tak usah, Mbak Yu, sungguh, tak usah.” Kata Bibi Narsih kepada ibuku pada suatu hari.

Biasanya setelah usai membimbingku belajar, Bibi Narsih tidak langsung pulang. Ia menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan ibuku atau anggota keluargaku yang lain. Namun yang aku tahu, Bibi Narsih paling sering mengobrol dengan Paman Margono.

Paman Margono adalah pamanku. Ia adik laki-laki satu-satunya dari ibuku yang masih lajang. Nah, saat usai mengajarku biasanya Bibi Narsih duduk santai di ruang depan dengan Paman Margono. Sedangkan aku selalu tak peduli, karena begitu buku kututup aku langsung kabur menuju rumah tetangga untuk nonton TV. Di sana sudah banyak para tetangga yang lain yang duduk berjejalan di depan TV.

Di desaku baru segelintir orang yang sudah memiliki TV. Wajar jika malam hari sehabis isya rumah orang-orang yang memiliki TV itu selalu sesak oleh para tetangga yang ikut menonton.



Jika jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam kami pun pulang ke rumah masing-masing. Jam sembilan adalah batas waktu bagi kami untuk nonton TV.

Malam itu sepulang dari nonton TV aku langsung pulang. Sebenarnya jarak antara rumah tetanggaku pemilik TV itu dengan rumahku tidak begitu jauh. Tapi karena rasa kantuk yang tak tertahankan jalanku sempoyongan.

Setibanya di depan rumah aku berpapasan dengan Bibi Narsih. Ia baru saja mau beranjak pulang. Sedangkan Paman Margono berdiri menyambut dan mengantarnya sampai ke jalan.

Bibi Narsih sempat berpesan kepadaku, “Ayo segera tidur, dan jangan lupa belajar yang giat lagi.” Aku menoleh sebentar dan menjawab dengan anggukan malas.

Bibi Narsih dan Paman Margono akhir-akhir ini tampak semakin akrab. Buktinya mereka berdua ngobrol sampai beberapa jam lamanya, mulai dari aku berangkat nonton TV hingga pulang lagi.

Kadang aku berpikir, jangan-jangan mereka berpacaran. Bibi Narsih yang sudah menjanda dua kali dan belum pernah punya anak, dengan Paman Margono yang masih melajang. Ah, aku tak tahu. Semua itu hanyalah dugaan ngawurku. Selebihnya aku ini bocah ingusan yang belum lulus SD.

Adapun cinta dan pacaran adalah istilah-istilah yang pernah kudengar dari kawan-kawanku ketika saling mengejek satu sama lain. Dan itu urusan orang dewasa.

Yang jelas aku memang harus rajin belajar. Dan syukurlah, berkat bimbingan Bibi Narsih yang tak kenal lelah dan juga upaya kerasku untuk selalu rajin belajar ternyata membuahkan hasil.

Dari waktu ke waku nilai rata-rata raporku mengalami peningkatan. Bahasa Indonesia, IPS, IPA, dan juga pelajaran-pelajaran yang lain mendapat nilai yang bagus, kecuali satu: matematika. Entahlah, hingga kini aku masih benci dengan mata pelajaran yang satu itu.



Puncaknya pada ujian akhir kelulusan aku mendapat peringkat terbaik, dan aku gembira bukan main. Sebagai rasa syukur atas keberhasilanku, bapak dan ibuku membelikanku sepeda. Itupun sepeda jengki yang tentu saja untuk anak seumuranku terlalu kebesaran.

“Kok sepedanya besar, Pak?” tanyaku kepada Bapak.

“Tidak apa-apa, biar nanti bisa kau gunakan sampai SMA.”

Sebenarnya aku kurang sreg. Tapi akhirnya aku tetap menerimanya dengan kelegaan hati. Karena mengingat baru kali ini orang tuaku membelikan sepeda. Itu pun hasil tabungan sejak beberapa tahun dari hasil sisa panen.

***

Lima belas tahun telah lewat sejak aku di dibelikan sepeda. Setelah peristiwa itu ayah dan ibuku merantau ke luar Jawa mencari rezeki. Sedangkan rumah yang dulu kami tempati itu sudah menjadi milik Paman Margono karena dialah pewarisnya setelah kakek tiada.

Tapi aku bersyukur, meski sudah pindah ke perantauan aku tetap rajin belajar seperti kebiasaanku waktu SD dulu. Prestasi demi prestasi berhasil kuraih.

Hari ini aku mudik ke kampung halaman bersama bapak dan ibuku dengan mengendarai mobil pribadi. Rasa rindu sudah tak mampu kubendung ingin segera berjumpa kerabatku, teman-teman masa kecilku, dan yang pasti aku sangat rindu suasana tanah kelahiranku.

Ketika memasuki wilayah desaku kuperlambat laju mobilku. Aku menoleh ke kiri-kanan. Mengamati lingkungan sekitar. Ah, betapa sudah banyak yang berubah rupanya.



Dulu bila dari arah kota menuju desaku, pasti terlebih dahulu melewati pasar lalu masuk gapura. Dan rumah-rumah penduduk baru terlihat setelah melalui jalanan kecil dengan hamparan sawah yang panjang di sebelah kiri dan kanan jalan.

Tapi kini kulihat hamparan sawah itu sudah menyempit, sudah banyak berdiri pertokoan dan bangunan-bangunan besar entah tempat apa. Pohon-pohon rindang yang berjejer sepanjang tepi jalan itu sudah lenyap, di gantikan papan reklame beraneka rupa.

Rasa panglingku kian menjadi saat kami tiba di tempat tujuan. Pangling dengan Paman Margono yang kini hidup bersama anak dan istrinya.

Lalu rumahnya, rumah yang menjadi saksi atas masa kecilku yang indah, telah berganti total. Bila dulu berbentuk jogjo khas Jawa, kini berbentuk bangunan modern gaya minimalis.

Tapi ada satu hal yang membuatku merasa janggal, karena sepanjang jalan yang tadi kulalui aku tidak menjumpai punden, bangunan kuno pusat kegiatan budaya masyarakat kampungku, juga tempat bermain di waktu kecilku dulu.

“Di mana letak punden yang dulu itu, Paman?” tanyaku pada Paman Margono.

“Oh, itu. Semua sudah di robohkan, San. Digantikan dengan gedung serbaguna dan pertokoan,” jawab Paman Margono singkat sambil menghidangkan minuman.

Aku terperanjat. Lalu karena dorongan rasa penasaran dan sedikit kecewa aku membuktikan sendiri menuju lokasi. Pendapa punden, pepohonan beringin dan cemara angin yang teduh itu ternyata benar-benar lenyap. Digantikan bangunan modern yang serba beton. Panas, gersang dan berdebu. Punah sudah kenangan indah masa kecilku.

Setelah cukup puas berkeliling desa aku kembali ke rumah Paman Margono. Di tengah asyiknya obrolan dengan keluarga ibuku itu, tiba-tiba dalam ingatanku terbersit nama seseorang. Seorang perempuan yang lekat dalam masa belajarku. Dan tentu saja sangat berjasa bagiku dalam menuntut ilmu. Ya, siapa lagi kalau bukan Bibi Narsih.



“Oh, iya, bagaimana kabarnya Bibi Narsih, Paman?” potongku di tengah obrolan, “di mana beliau sekarang?”

Tiba-tiba raut muka paman Margono berubah. Ia kelihatan rikuh. Ah, ada apa ini? batinku. Jangan-jangan pertanyaanku itu membuat hati pamanku itu tak nyaman. Seperti yang aku tahu dulu Paman Margono dekat dengan Bibi Narsih. Aku jadi menyesal bertanya.

“Hmm..,” Paman Margono menghela napas, “kau masih ingat saja, San?”

“Tentu, Paman. Aku selalu ingat orang yang dulu membimbingku belajar,” jelasku.

“Oh, iya. Dulu aku memang tak sempat memberimu kabar bahwa Narsih itu sakit.”

“Sakit apa, Paman? Dan di mana dia sekarang?”

“Tunggulah, nanti biar kujelaskan semuanya. Ayo di minum dulu.”

Aku semakin penasaran. Bapak dan ibuku juga demikian, secara bergantian mereka tampak antusias menanyakan kabar tentang Bibi Narsih. Namun sebelum melanjutkan penjelasan, Paman Margono mempersilakan kami untuk mencicipi hidangan dulu.

Sebenarnya aku tidak mengerti apa maksud kata sakit. Apalagi raut muka Paman Margono yang tampak lain, membuatku semakin curiga. Jangan-jangan ada yang tidak beres.

Lalu dengan nada suara yang direndahkan, akhirnya Paman Margono bercerita bahwa apa yang sesungguhnya terjadi pada Bibi Narsih adalah sesuatu yang terjadi di luar dugaan semua orang.

Benar, Bibi Narsih memang sakit, tapi bukan sakit biasa. Bibi Narsih hilang ingatan. Ia mengalami depresi berlarut-larut setelah menerima kenyataan bahwa Paman Margono menolak cintanya dan menikah dengan perempuan lain yang sekarang jadi bibiku.

“Ya, mau bagaimana lagi, begitulah kenyataannya,” kata Paman Margono.

“Lalu di mana ia sekarang?” tanyaku masih penasaran.

Mendengar jawaban Paman Margono berikutnya aku sulit percaya, meski itu kenyataan. Aku benar-benar iba. Betapa seseorang yang dulu tak pernah lelah membimbingku belajar, hingga kini aku sukses berkarier, ternyata menjadi gila. Dan kini sudah sepuluh tahun ia hidup tak jelas entah di mana.

“Terakhir ada yang bilang ia berjalan di dekat stasiun. Namun habis itu tak ada kabar lagi hingga sekarang.”

“Oh, Tuhan. Guruku..” jeritku dalam hati.

 

Hanif D. Zuhri, alumni pesantren Lirboyo Kediri, asal Madiun. Kini tinggal di Yogyakarta, aktif di berbagai komunitas sastra. Dan bergiat di Suluk Kebudayaan Indonesia Yogyakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya