SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sampai di rumah, aku langsung nyungsep di dipan, tengkurap memeluk bantal.

“Ndak papa, Pak. Ndak usah dipikirin nemen urusan rumah sakit. Nanti juga ada.”

Promosi BI Rate Naik Jadi 6,25%, BRI Optimistis Pertahankan Likuiditas dan Kredit

Narti, istriku ini, belum tahu kalau tadi pagi aku dipanggil Pak Bayan ke ndalem-nya. Panggilan rahasia. Itulah yang membikinku kalap, bingung tak sudah-sudah. Urung kubicarakan padanya. Takut juga kalau disentak, apalagi Ibuk. Sungguh dilema ini semakin menggerumut.

“Aku ke rumah sakit dulu ya, Pak. Kasihan anak-anak nungguin Ibuk sendiri.”

Aku hanya noleh ke Narti yang sibuk membetulkan bros kerudungnya, siap-siap ke rumah sakit.

Baru berjalan sampai pangkal pintu, Narti balik badan, “Oya itu ada bingkisan nasi di kerodong, Pak. Tadi siang pulang dulu, ikut mbantuin kateringnya Bu Lasmi.”

Aku tengok pula ke arah meja, sambil berujar, “Ya Buk, nanti bakda magrib aku ke sana, sore ini mau ketemu Mas Kun dulu. Katanya ada unit. Siapa tahu bisa deal.”

“Bismillah, Pak. Semoga saja.”

Orang kecil seperti kami ini harus lintang pukang dari impitan kesusahan. Hidup memang sulit, tapi jangan hilang harapan. Dari harapan harusnya muncul rasa syukur. Begitulah. Tapi, sebab kondisi, hidupku ini sebetulnya memang iktikad syukur atau keterpaksaan syukur belaka. Entahlah. Untungnya aku dianugerahi istri yang nriman, dan anak-anak yang ngerteni. Kalau tidak ya ajur dua kali!

Cuma barangkali aku kok semakin jadi pecundang. Semenjak di-PHK dari pabrik tripleks akibat pandemi, gulung-koming cari kerja sana sini belum ada yang manggil. Selama ini mengandalkan hasil rewang Narti di katering dan komisiku makelaran mobil. Tapi kan ya tidak bisa diprediksi. Sampai kusanggupi semua tawaran tetanggaku, dari benerin genteng, ngecat, dan terakhir nyopirin ibu-ibu ngaji. Tapi tetap saja tidak nutup. Mau utang tetangga, sudah tidak enak.

Bahan pokok bikin puyeng. Kebutuhan anak sekolah lebih bahaya dari pemasukan. Dari beli buku-buku sampai beli ponsel untuk daring. Apalagi Ibuk masuk rumah sakit kedua kalinya, sakit jantung.

Sempat ditawari buat BPJS, tapi dengan kepala batu kutolak. Birokrasinya ribet. Lagipula tiap bulan juga ada iurannya, bisnis itu. Apalagi dulu juga masih pada kerja, istri masih kasir di toserba, aku masih buruh pabrik. Cukuplah buat sehari-hari. Tapi di sinilah letak kejatuhanku. Memanglah sifat dasar pecundang, jauh dari visioner, buta tanda bahaya. Dirasa-rasa aku ini selalu terlambat membaca nasib buruk. Bangsat! Tapi ya bagaimana lagi, nasi sudah jadi gendar pecel.

Biasanya kalau lagi sambat begitu, Ibuk langsung nyemprot, “Namanya rezeki ya harus dikejar, ndak hanya dipelototin. Kerja apa saja yang penting halal, biar barokah. Ibuk ndak mau, anak istrimu makan dari hasil yang ndak tahu jluntrungan-nya.”

Habis teringat omelan Ibuk begitu, loncat bangun aku dari dipan. Menyambar tas selempang. Gegas ke garasinya Mas Kun.

“Siapa tahu Mas Kun adalah ujung dari rezeki itu,” gumamku.

Terlihat dari jauh, Mas Kun sedang ngelap Yaris-nya sambil nyanyi-nyanyi ketika semuanya terasa begitu abot! Kinclong begitu, habis dicuci sepertinya. Diam-diam kukagetin saja dia.

“Infooo!” teriakku sambil kutepuk punggungnya keras.

“Eee mata lu copot! mata lu copot! Etdah, Mas Untung, sukanya kok ngagetin orang kagetan.”

Aku terbahak.

“Kamu itu ya aneh, ilat-ilat kampung kok latah. Macam orang kota saja.”

Mas Kun melengos. Sejurus kemudian meletakkan kain lap ke bahunya.

Mas Kun ini pedagang mobil. Ada dua barangnya, Innova Reborn dan terbaru Yaris-nya ini. Sedikit-dikit, Mas, mudah-mudahan nanti bisa bikin showroom, kelakarnya suatu kali. Sementara ini pemasarannya lewat jejaring sosial dan mengandalkan makelar-mekelar seperti aku ini. Kalau beruntung dan calon pembeli tidak begitu mengerti mobil, aku bisa kantongin Rp1 juta sampai Rp5 juta.

“Tahun berapa ini, Mas?”

“2008.” katanya singkat sambil terampil menggulung selang.

Aku sibuk mengecek body kit-nya. Kutelusuri dari belakang sampai bagasi depan.

“Mesin?”

“Tokcer, masih perawan, tidak ngrembes.” jawabnya yakin, mengacungkan jempol.

“Ndak ada yang kropos?”

“Wah, Anda itu kok meragukan kemampuan saya menyelisik mobil ya, Mas?”

Aku tertawa. Mas Kun menyulut rokok sambil mengikuti langkahku memutari mobil.

“Eh, tapi kelihatannya ini bekas dempulan ya, Mas?” selisikku, menunjuk body bagian pintu kanan yang terlihat tipis perbedaan dari keseluruhan warna mobil.

“Wah, teliti juga kamu, Mas. Ya minusnya cuman itu. Katanya habis ditabrak gerobak.”

“Kok bisa?” tanyaku sembari menegakkan telunjuk dan kuarahkan ke Mas Kun. Dia cukup peka menangkap sinyal itu. Aku tersenyum penuh harap. Dia menyodorkan rokok. Tentu, dengan pancaran yang mencurahkan kemakluman.



“Tidak tahu, Mas. Katanya yang punya dulu begitu.”

Kusulut rokok pemberiannya. Kuhidupkan mesin mobil, sekadar membuktikan perkataan Mas Kun.

“Net berapa kamu, Mas?” Kudekatkan telinga ke arah mesin mobil. Benar juga, halus, mulus.

“Dari kamu, aku nerima 87, ya.”

“Oke. Kuposting 95 berani ya ini?”

“Ngawur. Jangan tinggi-tinggi!”

“Lagi butuh, Mas. Siapa tahu ada yang nyanthol.”

“Ya sudah mas, sak-sak’e lah, terserah saja. Yang penting tidak ngrugiin orang lain.”

Aku kaget atas omongan Mas Kun begitu. Meski lumrah dan klise pengais rezeki pada umumnya, tapi hatiku menerimanya dengan perasaan lain. Imbas yang ditimbulkan memaksaku berpikir gigih, berulangkali, tak henti-henti. Sampai membikinku bengong, sebelum akhirnya disadarkan oleh Mas Kun. Sontak tanganku refleks mematikan mesin mobil.



Tiba-tiba dari arah berlawanan, sayup-sayup terdengar deru mobil yang mendekat ke garasi. Spontan kami menoleh. Kuperhatikan pelat nomornya saksama.

Tak asing.

Mobil itu parkir menyamping. Dari corak cutting-nya yang bergambar kobaran api, ini jelas Pak Bayan. Wah! Masalah, nih, pikirku. Lalu pintu depan menguak, memuntahkan tubuh Pak Bayan yang agak gembung dan mukanya yang berkumis tebal itu. Seperti sudah tahu maksud kedatangan Pak Bayan, Mas Kun langsung menghampiri.

“Sebentar, Pak. Saya mandi dulu.” Kemudian Mas Kun nyelonong pergi ke rumahnya di gang sebelah. Garasinya ini tidak berdempet dengan rumahnya.

Pak Bayan mengangguk.

“Eh, ada Untung juga.”

“Sore, Pak!” Aku keki, tak tahu harus bicara apa. Tubuhku menunduk-nunduk sambil menyalami.

“Bagaimana? Sudah ke rumah Pak RT?”

“Aduh, gimana ya Pak, ya?” sungguh aku bingung menolak dengan alasan apa. Tapi dalam hati terpendamku, pengen rasanya kuambil tawaran Pak Bayan tadi pagi.



“Lho, kurang?”

“Bukan begitu, Pak.”

Pak Bayan mendekatkan tubuhnya ke sampingku. Wajahnya mengawasi sekitar, sambil ngomong pelan, “Sudah kubilang, sepuluh juta yang kau bawa itu cuma uang muka, nanti kalau sudah terkoordinasi sisanya dibagi bertiga. Kau, aku, dan Pak Lurah.”

Aku hanya bisa mengangguk, jadi sungkan memotong pembicaraan.

“Tugasmu tinggal bilang Pak RT, ada bantuan dari pemerintah buat perbaikan jalan dan pengadaan gapura desa. Ini totalnya Rp150 juta. Kau nanti cukup serahkan Rp30 juta, biar Pak RT berkoordinasi dengan RT lain, nanti kalau kurang minta Pak RT ngumumin ke warga untuk dana gotong royong. Gitu saja kok nggak paham-paham.”

“Maaf, Pak. Bukan kurang, Pak. Tapi gimana ya Pak, ya? Saya kok jadi ndak berani.” Terpaksa kujawab sekenanya saja.

“Butuh temen? Okelah nanti ngajak sopir saya saja.”

“Aduh-duh, bukan begitu juga, Pak.”

“Lha apa, ta? Kau itu tinggal cespleng saja, kok harus berbelit-belit.”



“Nggak berani sama Ibuk, Pak.”

Pak Bayan tersenyum tengik.

“Bodoh! Kau ya jangan ngomong!”

“Susah, Pak. Istri sih masih bisalah diajak cas-cis-cus. Kalau Ibuk, betul-betul susah. Curiganya abadi. Sepanjang sisa hidup saya pasti diuntit terus asal muasal itu duit, Pak.”

Pak Bayan terdiam sejenak. Dia menyulut rokok.

“Jadi, menolak nih?”

“Jujur ya, Pak. Ini bukan sok-sokan mengatakan duit bukan segala-galanya, lho Pak. Bukan juga berlagak berbakti sama orang tua. Tapi setelah saya pikir-pikir, nanti respons Ibuk pasti bakal meledak-ledak. Meski sebetulnya dari hati terpendam saya, tanpa pikir panjang, saya ambillah duit segitu, Pak.”

Pak Bayan kembali menyesap rokok begitu dalam. Tapi matanya mulai nanar, memandangiku.

“Goblok kau itu! Kau bilang saja dari kerja, atau dari lotre, kek, atau dari apa saja yang penting nggak curiga.”

“Tetap susah, Pak.”

“Ah kau ini, diajak maju susah! Yawis, sini duitnya!” Pak Bayan menyodorkan tangannya. Matanya mulai meruncing, mengilat seolah hendak mencoblosku.

Dalam hati aku berkata, Pak Bayan ini pintar juga cari celah. Aku yang lagi butuh duit, ditawari segitu, ya merinding, Pak.

Kubuka tas selempang. Sebetulnya agak berat juga duit ini berpindah tangan. Tapi tetap saja kusodorkan uang sepuluh juta rupiah ke Pak Bayan. Dia membalas menyodorkan Rp200.000.

“Ini buat nyewa waktumu tadi pagi.”

Tapi aku mengerti maksud Pak Bayan ini, “Wah ndak usah, Pak. Mulut saya ndak usah disewa. Percaya deh sama Untung ini.”

Aku berusaha memperjelas lagi kepadanya, meski sama sekali tanpa perhitungan, “Saya ini cukup makelaran mobil saja, Pak. Bukan makelar pembangunan.”

Matanya semakin meruncing dan kali ini lebih ngeri. Wajahnya mbrabak, memerah seperti ujung rokok. Hampir aku ditempelengnya. Untung saja Mas Kun sudah nongol. Dengan cemas Pak Bayan membetulkan raut wajahnya.

“Sekarang, Pak?” kata Mas Kun kemudian.

Diempaskannya kunci mobil ke arah Mas Kun.

“Ngapunten, Pak, mau tindak ke mana, ya?” tanyaku basa-basi sekadar mencairkan suasana.

“Salatiga. Lihat Honda Jazz. Anak minta mobil. Kuajak Kun. Bukan kau. Paling kau nggak paham apa-apa.” jawab Pak Bayan, ketus, singkat, tepat sasaran pula.

Aku hanya bisa membatin, kalau bukan Bayan, sini ya berani kalau hanya gelut.

Mas Kun sudah dulu masuk mobil, menghidupkan mesin. Pak Bayan turut masuk. Mobil digas pelan. Aku melambaikan tangan, melepas kepergian mereka, sekaligus melepas kepergian duit yang tak jodoh denganku itu. Agak pedih juga, seperti kehilangan kekasih.

Sudah agak jauh, tiba-tiba ponselku berdering.

“Halo Pak! Pak!” Istriku memanggil, panik.

Aku ikutan panik, menjawab ya sekenanya.

“Ibuk, Pak! Ibuk!”

“Innalillahi.”

“Hus! Bukan itu, Pak. Ibuk kepingin pulang. Dari tadi maksa pulang. Kalau ndak dituruti, ndak mau makan.”

“Aduh. Terus bagaimana, Buk?”

“Ya ayo dibawa pulang ta, Pak. Tapi ngurus tagihan dulu ke administrasi.”

“Lha itu maksudnya. Tagihannya berapa?”

“Kurang sepuluh juta, Pak.”

Jantungku seperti ditembak peluru senapan. Aku lari ke tengah jalan. Kulihat mobil Pak Bayan sudah hilang ditelan tikungan. Tak ada harapan. Aku hanya bisa menumpah-habiskan keluhan: “Edan! Edan! Edan!” Sekali lagi, aku terlampau bodoh di hadapan tawaran brilian.

 

Nafi Abdillah. Menulis puisi dan cerpen. Seorang pembelajar di Padepokan Sakron dan bergiat pula di Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar dan Forum Malam Sastra Pandawa. Karya-karyanya pernah tersiar di beberapa media cetak maupun online dan beberapa kali menjuarai ajang perlombangan menulis tingkat nasional. Penulis bisa dihubungi melalui surel diannafiabdillah@gmail.com atau akun media sosial Nafi Abdillah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya