SOLOPOS.COM - Ilustrasi liburan (Freepik)

Solopos.com, SOLO--Berlibur menjadi kebutuhan manusia untuk berhenti dari rutinitas. Berlibur juga membuat psikologi seseorang lebih sehat. Namun, berlibur saat pandemi memerlukan adaptasi dengan mengubah paradigma liburan itu sendiri.

Psikolog Klinis Forensik, A. Kasandra Putranto, mengatakan ada keterbatasan berlibur di tengah pandemi misalnya tak bisa pergi ke luar negeri, luar kota, atau ke luar rumah. Jika terpaksa berlibur di luar rumah pun seseorang harus tetap melaksanakan protokol kesehatan secara ketat. Jangan sampai berlibur menghilangkan kewaspadaan terhadap pandemi.

Promosi Simak! 5 Tips Cerdas Sambut Mudik dan Lebaran Tahun Ini

Pelaksanaan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, serta mencuci tangan pakai sabun penting untuk melindungi diri sendiri, keluarga tercinta dan masyarakat luas.

“Apabila kita tidak bisa mendatangi liburan, secara psikologis liburannya datangkan ke rumah. Rumah diset seperti suasana liburan. Camping bisa di rumah, berkebun, memelihara cupang, dan lainnya,” kata Kasandra, dalam talkshow virtual yang digelar Satgas Penanganan Covid-19, Jumat (30/10/2020).

Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPKI) meneliti terhadap 14.619 orang yang mengakses layanan psikologis gratis yang dibuka IPKI secara telekonseling pada periode 15 Maret 2020 – 31 Agustus 2020. Mereka terdiri atas anak/remaja 4.690 orang, lansia 501 orang, dan dewasa 9.428 orang.

Harus Tahu! Pemberian Vaksin Covid-19 Bisa Dilakukan Jika Penuhi Ketentuan Ini

Penurunan Permintaan Konseling

Hasil studi menunjukkan 25,8 persen informan mengalami hambatan belajar, 23,9 persen mengalami masalah stres umum, dan 18,9 persen lainnya memiliki masalah kecemasan. Berikutnya, 9,3 persen lainnya bermasalah mood (mood swing), 8,8 persen mengalami gangguan kecemasan dan 4,7 persen memiliki masalah psikosomatis.

Menariknya, dari studi itu terlihat ada penurunan permintaan konseling pada Mei-Juni, yakni pada saat umat muslim menjalankan puasa dan hari raya. Pada momen itu masyarakat menurunkan aktivitasnya sehingga stres yang dialami tidak terlalu berat.

Namun, pada periode liburan antara akhir Juni ke Juli, permintaan konseling kembali meningkat. “Karena mereka pengen liburan tapi enggak bisa. Jadi mereka tambah [stres]. Nah kalau dari pasien-pasien saya terima di luar layanan ini, itu saja banyak yang mengalami kecemasan. Lalu, pasien lama, pasien cemas itu muncul lagi,” ujar Kasandra.

Ia mendapatkan banyak pasien mengeluhkan cemas, khawatir, dan tekanan kerja serta beban di rumah meningkat. Ibu rumah tangga yang semula tidak mengurusi pelajaran, dipaksa mengurus pelajaran akibat belajar dari rumah. Orang tua harus menguasai TI. Masih ditambah beban kehilangan pekerjaan dan berkurangnya pendapatan.

“Mau tidak mau harus ada perubahan paradigma. Ada fenomena luar biasa yakni orang-orang justru alih profesi. Mereka nyoba kegiatan baru lalu menjadi sumber penghasilan baru. Apa yang kita pikir, rasa, kalau kita tidak bisa, hasilnya tidak bisa. Jadi harus kita atur. Harus diiringi tekad kuat melakukan kegiatan dan tentu tetap menjalankan protokol kesehatan,” tutur Kasandra.

Kalah Di Basis Republik, Trump Marahi Sejumlah Gubernur Negara Bagian

Ia juga berbagi tip mengatasi kejenuhan di rumah saat sedang liburan. Menurut dia, hal utama saat berlibur adalah merawat diri misalnya memperbaiki pola dan gizi makanan. Berikutnya, mencoba ke luar ruangan melihat langit, jalan, dan menghirup udara.

Penting juga untuk membuat jadwal apa saja yang akan dikerjakan. Penjadwalan dan eksekusi kegiatan harus melibatkan orang-orang di sekitar supaya tidak overload.

Lalu, menghindari liburan ke ruangan lagi. Liburan sebaiknya dilakukan di tanah lapang atau luar ruangan lainnya. Terakhir, luar ruangan bisa dibawa ke rumah dengan mendekorasi kamar, balkon, dan lainnya.

“Semangat liburan perlu didukung karena itu menghentikan rutinitas dan membuat psikologi sehat. Tapi harus diatur. Kalau enggak bisa, bawalah liburan itu ke rumah,” kata dia.

Gunung Merapi Naik Status Jadi Siaga, Ada Kaitannya Dengan Awan Topi?

Perlu Teladan

Epidemiolog dan Dewan Ahli Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Prof Hadi Pratomo, berlibur di tengah pandemi dengan menjalankan protokol kesehatan secara ketat memerlukan contoh. Sebab, ada hal-hal baru yang mengubah nilai-nilai lama demi keselamatan bersama.

Ia mencontohkan kakek-nenek tidak bisa lagi memeluk dan mencium cucunya saat pulang ke rumah. Ekspresi kasih sayang diwujudkan dengan tanpa bersentuhan guna mencegah risiko penularan. “Masyarakat ada geger budaya. Yang dulu harus sekolah rajin, sekarang malah harus di rumah. Dulu harus salaman sekarang saling menghindar. Dan model ini menjadi sangat penting,” kata Hadi.

Pandemi juga membawa gaya hidup baru kepada Hadi. Hal itu terlihat salah satunya kebiasaan Hadi berjalan satu jam saban hari. Ia juga menggunakan layanan komunikasi daring untuk mengurangi bepergian ke luar rumah.

Menurut Hadi, masyarakat Indonesia memiliki keuntungan dengan jiwa gotong royong dan altruisme. Di tengah pandemi, banyak orang saling menguatkan. Salah satu contoh yang terlihat misalnya membeli jajanan di pinggir jalan lalu membagikan jajanan itu ke orang lain lagi. Hal ini sekaligus mendorong ekonomi pengusaha kecil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya