SOLOPOS.COM - Buruh tani memanen padi yang sudah dijual ke tengkulak di Selogiri, Wonogiri, Rabu (8/5/2024). (Solopos/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Wonogiri, Rahmad Iswanto, mengungkapkan produksi pangan beras di Wonogiri selalu surplus setiap tahunnya. Tetapi kenyataan di lapangan, harga beras di Wonogiri tidak bisa dikendalikan sehingga menjadi penyumbang tertinggi inflasi di Kota Sukses.

Rahmad menyebut hal itu karena stok beras di dalam daerah tidak terpantau. Dia menyebutkan pola distribusi pangan di Wonogiri belum tertata. Beras yang diproduksi petani di Wonogiri justru banyak dijual keluar daerah. Hal ini menjadi penyebab harga beras di Wonogiri tidak bisa dikendalikan dan selalu menyumbang inflasi paling tinggi.

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Rahmad menjelaskan harga komoditas, termasuk pangan beras, sangat dipengaruhi oleh distribusi. Hasil pencacahan BPS Wonogiri di pasar-pasar, beras yang dijualbelikan malah banyak yang berasal lari luar daerah. Ini mengindikasikan distribusi pangan di Wonogiri perlu ada perbaikan. ”Pola distribusi komoditas pangan di Wonogiri masih amburadul,” kata Rahmad saat diwawancarai Solopos.com, belum lama ini.

Menurut data BPS Wonogiri, pada April 2024 tingkat inflasi yang dipicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok di Wonogiri mencapai 3,44%. Sektor makanan dan minuman menyumbang inflasi paling tinggi yaitu 2,90%. Dari sektor itu, subsektor beras paling tinggi berkontribusi terhadap inflasi, yakni sebesar 0,9%.

Menurut Rahmad, untuk menangani hal itu, perlu ada rapat luar biasa tim pengendalian inflasi daerah (TPID). Dalam rapat itu dilibatkan semua pihak dari Forkopimda, Bank Indonesia, dan semua pelaku usaha di bidang pangan skala sedang hingga besar untuk membahas road map pengendalian harga pangan.

Tunduk pada Pasar Bebas

Kepala Dinas Pertanian (Dispertan) Wonogiri, Baroto Eko Pujanto, saat diwawancarai Solopos.com, Selasa (7/5/2024), mengakui banyak beras hasil panen petani di Wonogiri yang beredar di luar daerah. Pemkab Wonogiri tidak punya kuasa untuk menahan hal tersebut. Sebab perniagaan pangan tunduk pada pasar bebas.

Bupati Wonogiri, Joko Sutopo, juga pernah mengatakan distribusi pangan, terutama beras, merupakan kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur atau mengendalikan distribusi itu.

Dia menjeaskan semestinya pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menangani perdagangan bahan pangan. Menurutnya, setidaknya pemerintah daerah diberi ruang untuk mengatur perdagangan dalam skala eks karesidenan.

“Antarpemerintah daerah di eks karesidenan itu bisa bekerja sama, misalnya Wonogiri punya beras, daerah lain punya komoditas lain, diatur distribusinya, saling silang komoditas, sehingga harganya bisa dikontrol,” kata dia.

Sementara itu, salah satu petani padi di Selogiri, Wonogiri, Sarno, mengatakan pekan ini sudah memanen padi di lahan seluas 6.000 meter persegi dan mendapatkan 3,5 ton gabah. Sebagian besar gabah yang dipanen sudah dijual ke tengkulak dari Sukoharjo dengan harga Rp5.550/kg.

Sudah menjadi hal lumrah bagi Sarno dan petani-petani lain di Selogiri menjual gabah itu kepada para tengkulak dari luar daerah. Para tengkulak sudah biasa mendatangi sawah-sawah petani yang siap panen untuk ditebas. Tengkulak itu biasanya dari Sukoharjo dan Sragen.

”Kalau gabah sini, pasti jualnya ke mereka. Jarang sekali ada orang yang jual gabah di Wonogiri, pasti sudah langsung dibeli orang luar. Itu biasa,” kata Sarno saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (8/5/2024).

Pernyataan Sarno itu dibenarkan salah satu tengkulak asal Sukoharjo, Tentrem. Menurutnya, setiap kali musim panen tiba, para tengkulak gabah atau beras datang ke Wonogiri untuk memborong hasil panen para petani.

Mekanisme Pembelian Gabah oleh Tengkulak

Ada dua mekanisme pembelian gabah. Pertama, petani dan tengkulak tawar-menawar gabah yang belum dipanen. Mereka bernegosiasi sekaligus mengira-ira berapa hasil panen dari luas tanam tertentu. Dengan kata lain, mereka membeli gabah itu dengan sistem ijon.

Kedua, tengkulak membeli gabah kering panen sesuai hasil timbangan. Penentuan harga disesuaikan dengan harga pasar. Tentrem mengatakan banyak tengkulak besar yang membeli gabah di Wonogiri.

”Ini saya beli gabah petani, total luas lahannya 2,5 hektare. Belum tahu hasilnya berapa, belum saya timbang. Saya beli di harga Rp5.800/kg. Biaya operasional panen saya yang menanggung,” ujar Tentrem.

Pria itu membeberkan beras dari hasil panen petani Wonogiri biasanya dijual ke Demak, Ngawi, Kediri, dan beberapa daerah lain di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. “Pokoknya daerah mana yang kira-kira lagi langka beras, saya jual ke sana,” katanya.

Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Wonogiri, Dwi Sartono, menyampaikan gabah Wonogiri, khususnya yang ditanam di Kecamatan Selogiri memang banyak yang dikirim keluar daerah ketimbang di lokal Wonogiri.

Banyak pengusaha beras yang mencari gabah Wonogiri karena kualitasnya tidak kalah dibanding gabah daerah lain. ”Kualitas gabah di Selogiri bagus, kualitasnya bisa bersaing dengan beras-beras dari daerah lain. Makanya, beras dari sini banyak dicari orang luar,” kata Dwi.

Data Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Perikanan Wonogiri mencatat paa 2023 penyediaan berad di Wonogiri mencapai 264.515 ton/tahun. Sementara kebutuhan konsumsi beras di Wonogiri hanya 97.670 ton/tahun. Ada surplus 166.845 ton beras/tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya