SOLOPOS.COM - Sejarawan Kota Semarang, Rukardi. (Istimewa/Solopos.com-Ponco Wiyono)

Solopos.com, SEMARANG – Banjir langganan di Kota Semarang mencapai puncaknya pada hari-hari memasuki peralihan tahun 2022 menuju 2023. Genangan air dengan ketinggian bervariasi tersebar di hampir tiga puluh titik di ibu kota Jawa Tengah (Jateng) itu.

Pemerhati sejarah Kota Semarang, Rukardi mengemukakan, masalah banjir di Kota Semarang merupakan perkara klasik yang memiliki sebab nan kompleks. Alumnus Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu menilai banjir dan Kota Semarang memang tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya.

Promosi BRI Cetak Laba Rp15,98 Triliun, ke Depan Lebih Fokus Hadapi Tantangan Domestik

“Dari dulu Semarang memang dikenal sebagai kota banjir karena keberadaan Kota Semarang itu sendiri terbentuk di sekitar Kali [Sungai] Semarang. Jika anda perhatikan, permukiman tua Kota Semarang ada di tepi kali Semarang, misalnya Kauman, Pecinan, Kota Lama, Kampung Melayu itu kawasan permukiman tua di Semarang dan berada di tepi kali Semarang,” urai Rukardi saat berbincang dengan Solopos.com, Senin (2/1/2023).

Dikatakan, dengan posisi permukiman awal Kota Semarang seperti itu maka jika air meluap di bagian hulu yang berada di kawasan Ungaran, bisa dipastikan bagian hilirnya banjir. Terlebih lagi, kata Rukardi, kondisi geografis Kota Semarang bagian utara merupakan rawa-rawan.

“Pernah terjadi banjir besar di Pecinan era kolonial Belanda, di dalam catatan itu digambarkan jembatan hanyut terus genangan air selama beberapa hari tidak surut. Ini untuk menunjukkan bahwa banjir Semarang masa lalu juga terjadi. Ada juga catatan petualang Belanda yang menggambarkan kondisi Kampung Melayu yang kumuh dan kalau hujan turun kawasannya tergenang. Maka pada akhir abad ke-19 atau sekitar tahun 1890-an, Pemerintah Belanda mulai memikirkan supaya air tidak masuk ke tengah kota. Maka dibangunlah Kanal Banjir Barat,” ujar Rukardi.

Aliran Sungai Semarang sendiri dibuat berbelok sebelum Banjir Kanal Barat dibangun. Menurut Rukardi, teknik pengalihan aliran sungai ini diterapkan pemerintah kolonial agar aliran Sungai Semarang tidak memasuki kawasan kota yang disesaki permukiman padat.

“Sungai Semarang sebenarnya kalau dari selatan sebelum Pleret membelok ke kanan, masuk ke belakang Mapolrestabes, kemudian di Pasar Kembang tembus di Lawang Sewu,” jelasnya.

Mantan jurnalis ini juga mengatakan Kanal Banjir Barat dan Kanal banjir Timur dibuat dalam perhitungan Pemerintah Belanda bahwa kedua sungai ini baanyak bermukim warga. Oleh karenanya, diperlukan alirann sungai yang aman dari banjir.

Mengomentari banjir di masa kontemporer yang sering disebabkan oleh luapan sungai-sungai berukuran lebih kecil seperti Plumbon, Rukardi menyebut pemerintah kolonial Belanda tidak memperhitungkannya. Hal itu dikarenakan pada masa lampau sungai-sungai tersebut belum bermasalah.

‘Sekarang banyak perrmukiman didirikan di atas tanah resapan, penurunan tanah, serta pemanfaatan air secara besar-besaran untuk industri. Jadi pangkal masalahnya bukan cuma satu,” tuturnya.

“Dulu sekitar tahun 1970-an hingga 1980-an, rawa-rawa di Tanah Mas itu diuruk untuk membangun real estate pertama di Semarang. Padahal itu daerah tangkapan air. Dampaknya, genangan air terjadi di sekitarnya. Boom Lama itu dulu langganan banjir karena itu,” jelas Rukardi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya