SOLOPOS.COM - Ilustrasi kejahatan keuangan (yourstory.com)

Solopos.com, JAKARTA–Peraturan Pemerintah (PP) No. 5/2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan mengatur penyelesaian perkara kejahatan keuangan dengan prinsip keadilan restoratif atau restorative justice dan ultimum remedium.

Prinsip keadilan restoratif telah banyak diterapkan bagi pelaku tindak pidana umum. Restorative justice jika mengacu Peraturan Kepolisian No.8/2021 adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku maupun korban hingga tokoh masyarakat untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian. Dengan kata lain, penyelesaian lewat proses restorative justice sama halnya dengan penyelesaian secara kekeluargaan dengan melibatkan aparat penegak hukum dan tidak sampai ke tahap persidangan.

Promosi BI Rate Naik Jadi 6,25%, BRI Optimistis Pertahankan Likuiditas dan Kredit

Proses perdamaian ini bisa dilakukan dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula. Salah satunya dengan membayar ganti rugi. Kendati demikian, keadilan restoratif biasanya diterapkan dalam kasus pidana ringan.

Salah satu acuan yang menjadi dasar penerapan prinsip keadilan restoratif adalah SE Kapolri No.8/VII/2018. Edaran Kapolri itu menerangkan penyelesaian perkara dengan prinsip keadilan restoratif harus memenuhi syarat material maupun formal.

Syarat materiil salah satunya perkara yang akan diselesaikan dengan skema ini tidak menimbulkan keresahan di masyarakat dan tingkat kesalahan pelaku tidak berat. Sementara, syarat formal antara lain, surat perdamaian antara kedua belah pihak.

Kapolri pada 2021 lalu juga mengeluarkan edaran tentang keadilan restoratif. Hanya, konteks keadilan restoratif pada waktu itu hanya berlaku kepada pelaku kejahatan pelanggaran terhadap Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Sementara hal yang lebih eksplisit, terungkap dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA) pada 2020 lalu. Dalam surat bernomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, MA menekankan restorative justice hanya berlaku bagi pelaku kejahatan ringan, perkara perempuan dan anak yang berhadapan hukum serta kasus narkotika.

Tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 407, dan 482 KUHP. Ancaman hukumannya hanya berkisar dari tiga bulan penjara dan denda Rp2,5 juta. Di antara semua rujukan tersebut tidak ada satupun yang menyebut tindak pidana keuangan.

Istilah restorative justice di sektor keuangan baru tercantum dalam UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (PPSK). Dalam beleid itu, para penyusun undang-undang beralasan penyelesaian perkara dengan prinsip keadilan restoratif merupakan respons terhadap perkembangan tindak pidana ekonomi yang terjadi di bidang sektor keuangan tersebut.

Sehingga, konsep penegakan hukumnya tidak harus selalu dengan pemberian sanksi pidana. “Pada prinsipnya penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan dilanjutkan ke tahap penyidikan. Namun, dengan pertimbangan dampak dari tindak lanjut ke tahap penyidikan tersebut terhadap stabilitas sistem keuangan, sektor jasa keuangan atau Pelindungan Konsumen, OJK dapat melakukan penyelesaian yang bersifat restoratif.”

Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian perkara kejahatan keuangan atau tindak pidana di sektor keuangan dengan prinsip restorative justice dan ultimum remedium itu dipertegas melalui sejumlah pasal yang tercantum pada PP No.5/2023.

Pasal 8 d, misalnya menyebutkan dalam melakukan penyidikan tindak pidana keuangan, penyidik Polri dan OJK melakukan gelar perkara khusus. Gelar perkara khusus itu untuk menentukan tindak lanjut penyidikan oleh penyidik Polri dalam hal penyidik OJK akan atau telah menghentikan penyelidikan atau penyidikan berdasarkan prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium.

Sementara itu, teknis mengenai pelaksanaan prinsip tersebut diatur dalam Pasal 9 PP No.5/2023. Pasal ini secara umum mengatur mengenai kewenangan OJK untuk memulai, tidak dilakukannya, atau menghentikan penyidikan tindak pidana di sektor keuangan.

Namun demikian, secara khusus, ada sejumlah poin yang mempertegas pelaksanaan dua prinsip di atas.

Pertama, OJK melakukan penyelidikan berdasarkan informasi atau temuan soal kejahatan keuangan.

Kedua, namun dalam proses penyelidikan tersebut, terduga pelaku kejahatan keuangan bisa mengajukan penyelesaian pelanggaran sesuai ketentuan yang berlaku kepada OJK (ganti rugi).

Ketiga, OJK melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran. Penilaian memperhitungkan nilai pelanggaran pemohon.

Keempat, ada tiga aspek yang dinilai OJK dalam melakukan penilaian tersebut. Ketiga aspek itu antara lain ada atau tidaknya penyelesaian kerugian, nilai transaksi atau kerugian, dan dampak terhadap sektor jasa keuangan, nasabah, investor, hingga masyarakat.

Kelima, pemohon wajib membayar ganti rugi sesuai kesepakatan jika OJK menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran.

Keenam, OJK menghentikan penyidikan jika ganti rugi sesuai kesepakatan telah disepakati seluruhnya.

Ketujuh, ganti rugi adalah hak dari pihak dirugikan bukan bagian dari pendapatan OJK.

Kedelapan, selain ganti rugi OJK juga bisa mengenakan sanki administratif kepada pelaku kejahatan keuangan. Sanksi yang dimaksud bisa berupa peringatan tertulis, denda, hingga pencabutan izin usaha.

Kesembilan, OJK juga bisa memutuskan untuk melanjutkan penyidikan jika tidak menyetujui permohonan penyelesaian atau karena pihak pemohon ingkar dari kesepakatan.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Ada Restorative Justice, Pidana Keuangan Setara Kejahatan Kelas Teri!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya