SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Anak dari Kepala Manusia (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Sebuah kalimat menenangkan pernah dilontarkan Pram pada suatu malam selepas kami bercinta, katanya, mereka – pasangan pada umumnya, bercinta untuk menunggu bayi-bayinya lahir lalu tumbuh, lalu mati. Selesai.

Sementara, tujuan kami bercinta untuk menciptakan anak-anak dalam pikiran; upaya untuk melahirkan kemanusiaan yang akan terus hidup, tak akan usai.

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

Oleh karenanya, saat Tuhan belum juga memberi kami momongan meski usia pernikahan menginjak sewindu, kami tetap menjalani hari-hari dengan kebahagiaan yang penuh. Bagi kami, menikah adalah perjalanan panjang dan jauh, tak boleh ada prinsip separuh. Semuanya harus dipersiapkan dengan seluruh, bukan hanya persoalan bersetubuh.

Namun, hidup kadang memilih jalannya sendiri tanpa diminta. Tak bisa dipungkiri kadangkala keresahan hadir di luar kehendak yang semestinya. Kebahagiaan yang kami ciptakan bukanlah pura-pura, tapi kesepian yang kami rasakan kian nyata, terlebih seiring bertambahnya usia pernikahan kami berdua.

Kebahagian yang terpelihara, menjadi berkurang karena omongan orang di luar sana yang menimbulkan huru-hara.

Desas-desus perihal infertilitas menjadi salah satu hidangan sehari-hari –khususnya bagi seorang istri. Para awam kerap melabelkan kata itu hanya pada pengetahuan sepihak, hal itu jelas sangat mengacaukan mental dan membebani. Di tiap-tiap kesempatan bertemu maupun berkumpul dengan keluarga atau kerabat, bahkan ada saja omongan yang menggores hati.

“Udah usaha apa aja? Sudah coba ke mana aja?” tanya orang yang sebenarnya lebih kepada penasaran, bukan peduli. Padahal ia tak pernah ikut membiayai setiap usaha yang kami jalani.

“Si Fulan baru bulan kemarin nikah sudah hamil, kamu kapan nih?” jenis pertanyaan yang paling sering dijumpai. Biasanya orang jauh yang hanya basa-basi.

“Kasihan ya belum punya anak, padahal udah kepala tiga.” Besoknya tipe-tipe begini pusing cari pinjaman untuk kebutuhan sehari-hari dengan kalimat pamungkasnya, “Kamu mah enak belum punya anak”. Lebih kasihan siapa?

“Nikah ‘kan tujuannya punya anak. Biar tua nanti kita ada yang ngurusin,” ucap seorang ibu yang anaknya pergi merantau dan membiarkan ibunya seorang diri di rumah, hanya uang bulanan yang selama ini ia tunggu.

Percayalah, segala upaya telah kami lakukan. Berbagai bentuk ikhtiar dan anjuran orang-orang tak pernah terlewatkan. Tapi apa perlu detailnya kami jabarkan? Padahal ada yang namanya takdir, seberapa pun kami berusaha, jika jalannya belum terbuka, apa mau dikata?

Ketimbang memberikan saran, kerap kali tetangga justru memberi banyak pertanyaan. Daripada memberi dukungan, mereka justru menilai keadaan seseorang sembarangan. Jika tak kuat-kuat iman, rasanya ingin menerkam mereka dengan amukan. Tapi, apalah gunanya menanggapi lisan tetangga yang tak budiman? – meski dari sana lah sebenarnya konstruksi beranak-pinaknya sebuah pasangan dilahirkan.

**

“Pram, kamu akan selalu mencintaiku kan?” Pertanyaan itu bertahun-tahun kugunakan sebagai kalimat pembuka untuk memulai percakapan intim kami selepas bercinta; entah dalam keadaan baik-baik saja atau tidak, entah diikuti dengan nada tertawa atau mata berkaca-kaca.

Pada awalnya, pertanyaan itu sebatas basa-basi pada pelukan pertama kami di malam pengantin kala itu. Ribuan hari berlalu, kini pertanyaan itu menjadi gerbang vital pada tiap percakapan yang kami bangun dengan khusyuk. Maknanya menjadi berlipat-lipat, bisa sebagai kepastian, bahkan keraguan.

Sejauh pernikahan kami, jawaban yang Pram berikan selalu terdengar sama, “Aku akan tetap mencintaimu dan bersamamu di segala keadaan,”

Betapa beruntungnya memiliki Pram, lelaki yang ketabahannya seluas samudera.

“Bagaimana kalau memang benar kita tak akan bisa memiliki keturunan?” tanyaku. Pram mengendurkan pelukan, lalu menatap mataku dengan kedalaman yang sulit diselami.

“Soal anak biar Tuhan yang atur, tugas kita hanya berdoa dan bercinta,” ujarnya. Pram mengecup keningku.

Berdoa dan bercinta, katanya. Dalam doa-doa kami entah sudah berapa juta kali kami memohon. Meski tahu anak adalah hak prerogatif-Nya. Dalam hal bercinta, pun tak perlu kami perjelas. Kami melakukan dua hal itu dengan baik sepanjang usia pernikahan. Tak pernah menyerah, namun selalu berserah pada-Nya.

“Apakah kau akan tetap mencintaiku, Pram? Atau kau akan mencari perempuan lain?” sesak di dadaku berjubalan, bercampur dengan kepedihan teramat. Jika pertanyaan ini meluncur, artinya ketakutanku sebagai seorang perempuan sedang tak bisa terbendung.

Pram tak menjawab pertanyaanku dan memilih kalimat lain. Ia mengatakannya dengan sangat hati-hati.

“Ketika kita bercinta, tujuannya bukan melulu tentang beranak-pinak, tapi cara kita untuk berkomunikasi melalui teduhnya mata tanpa pura-pura; dengan sejenak melupa riuhnya hari di luar jendela, dinginnya sepertiga malam yang diam-diam membawa kepedihan semata. Karena bercinta adalah ritual bertukar energi untuk menyambut esok yang lebih baik. Bukan begitu, sayang?”

Baca Juga: Yamila Bertamu

Suara Pram yang teduh menenangkan sekaligus memenangkan kegundahan yang memerangi batinku. Meski begitu, aku paham dalam hal ini bukan aku saja yang berat menerima keadaan, ia pun sama berat memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga dalam pernikahan ini.

Apa yang Pram katakan barusan mungkin sekadar kata-kata, namun aku memaknainya sebagai jawaban dari keresahan yang terus bersarang di kepala; tentang bagaimana seharusnya menyikapi tujuan menikah, bagaimana aku menerima diri sebagai perempuan yang dipilihnya, bagaimana kami saling menerima kenyataan.

“Satu hal lagi yang perlu kau tahu, tidak ada perempuan lain yang bisa kucintai.”

Kesetiaan Pram selalu menjadi satu-satunya kekuatanku untuk tetap berpijak dengan segala kekurangan yang kami miliki.

**

Keresahan hadir karena kita terlalu sibuk terjerumus dalam konstruksi yang diciptakan orang-orang. Padahal, ini semua memang jalan Tuhan yang mengharuskan kami bersabar dan menunggu lebih panjang. Pada perjalanannya, takdir terus mempertemukan kami dengan mereka yang memaksa masuk ke ranah hidup kami, terlebih urusan ranjang.

Rumor tentang infertilitas makin bergaung dan menjadi-jadi, beberapa digoreng lengkap dengan isu ‘malas’-nya kami mengupayakan momongan. Tak hanya pada level tukang sayur dan arisan ibu-ibu kompleks, kekurangan kami juga diracik jadi bumbu obrolan untuk saling membandingkan kehidupan, terlebih pada acara keluarga besar – hal paling neraka untuk didatangi bagi para pejuang garis dua sebab di sanalah beranak pinak seolah menjadi kejuaraan.

Meski diembel-embel dengan kata “bercanda” sekali pun, namun begitu sampai di telinga, jangan ditanya seperti apa nyeri di ulu hati kala mendengarnya. Sebuah ketegaran rasanya tidak cukup menutup lubang luka yang menganga di dada.

Selama ini, tahun-tahun berlalu dengan baik-baik saja. Tak pernah ada pertanyaan maupun pernyataan di antara kami, siapa yang bermasalah. Pram tidak pernah membahas sedikit pun tentang anak yang tak kunjung lahir dari rahimku. Pembahasan perihal keturunan akan menguap begitu saja di ranjang seiring kesepakatan kami dalam tujuan bercinta.



Sayangnya dunia memang tak sepenuhnya berada di genggaman kami. Makna anak yang dapat diterima oleh konstruksi sosial adalah mereka yang lahir dari kepala manusia; yang dapat menjawab serta memuaskan gairah berghibah serta nafsu kekepoan mereka terhadap urusan ranjang serta kehidupan rumah tangga orang lain.

**

Pagi itu, pagi yang tamah dengan sisa basah hujan semalaman. Aku beranjak dari ranjang dan melihat kalender. Sudah dua pekan dari tanggal yang seharusnya, namun tak kunjung datang bulan.

Aku mengambil alat test pack kehamilan, meraih cawan mungil berbahan plastik, lalu mengisinya dengan cairan urine. Selangkah kemudian, dengan hati-hati mencelupkan alat tes ke cawan berisi cairan urine. Membiarkan cairan kekuningan merembes di ujungnya.

Aku tak sabar melihat hasilnya.

Sembari menunggu, aku sudah membayangkan terlalu jauh. Akan muncul dua garis di sana, lalu aku dinyatakan hamil, melahirkan, dan memiliki anak. Betapa repotnya nanti begadang untuk menyusui, pusingnya belajar MPASI, mengantar ia untuk imunisasi, mengecek setiap pertumbuhan gigi, mengejar langkah mungilnya berlari, dan banyak hal menyenangkan lainnya yang selama ini kuamini.

“Aku ingin diberi kesempatan itu,” senyum di bibirku mengembang seiring lamunan yang buyar.

Beberapa detik berlalu. Satu garis kenormalan muncul berwarna merah. Aku masih menunggu satu garis lagi, garis penentu.

Satu, dua, tiga, lima, sepuluh, bahkan hingga seratus detik berikutnya berlalu. Beberapa menit menunggu, garis penentu tak menunjukkan tanda-tanda. Tak ada warna lain yang muncul selain dasarnya yang masih putih bersih.



Seperti yang sudah-sudah, dengan perasaan kecewa aku membawa keluar hasil tes dari kamar mandi.

Di luar, Pram telah bersiap menyambutku dengan pelukan. Begitu mendapati raut wajahku yang muram. Ia hanya tersenyum simpul. Menatap dengan penuh arti.

“Tenang, kita coba terus, ya.” Pram mengecup keningku mesra.

Meski adegan ini telah berulang selama sewindu, debar yang sama selalu menyertai, dan tak pernah berkurang sedikit pun.

Dan kami akan terus begini. Sampai Tuhan mengabulkan pinta kami.

****

 

Annisa Moezha. Perempuan kelahiran Brebes, Jawa Tengah. Gemar membaca buku fiksi, menulis cerpen dan puisi. Beberapa karyanya telah terbit dalam buku-buku antologi dan tersiar di beberapa media cetak lokal dan nasional.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya