News
Senin, 1 September 2014 - 19:30 WIB

SUAP PILKADA LEBAK : Inilah di Balik Vonis Ringan Buat Ratu Atut

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ratu Atut Chosiyah, terpidana kasus dugaan suap penanganan sengketa pilkada Kabupaten Lebak di Mahkamah Konstitusi. (JIBI/Antara/Andika Wahyu)

Solopos.com, JAKARTA — Gubernur Non Aktif Banten, Ratu Atut Chosiyah, akhirnya divonis jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebelum vonis diputuskan ternyata ada juga hakim yang berbeda pendapat. Baca: Ratu Atut Cuma Divonis 4 Tahun Penjara.

Dikutip dari Antara, salah satu hakim anggota, yaitu Alexander Marwata, menyatakan dissenting opinion (perbedaan pendapat) dan menilai Ratu Atut tidak memberikan izin terhadap pemberian uang seperti dituduhkan. Baca: Ratu Atut Dituntut 10 Tahun Penjara.

Advertisement

“Tidak benar terjadi kesepakatan di Hotel Sultan dan terdakwa tidak pernah meminta ke Akil Mochtar untuk mengurus sengketa yang diajukan Amir Hamzah dan Kasmin, terdakwa juga tidak pernah mengutus Tubagus Chaeri Wardhana [Wawan] untuk mengurus sengketa pilkada Banten, pertemuan dengan Akil di Singapura juga bukan dari awal dikehendaki untuk mengurus sengketa di provinisi Banten khususnya di Lebak sebagaimana dalam dakwaan,” kata Alexander Marwata.

Hakim Alexander Marwata juga menilai bahwa bukti yang diajukan dalam persidangan adalah bukti yang sudah direkayasa. “Bukti yang sudah direkayasa tidak dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara. Keyakinan hakim saja tidak cukup untuk memutuskan perkara, apalagi kalau keyakinan berkembang dari asumsi,” jelas hakim Alexander Marwata.

Saat vonis, majelis hakim menghukum Gubernur Banten nonaktif Ratu Atut Chosiyah penjara empat tahun dan denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan.  Ratu Atut dianggap bersalah memberikan uang Rp1 miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, yang saat itu masih aktif, melalui advokat Susi Tur Andayani untuk memenangkan gugatan yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin.

Advertisement

“Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Hj. Ratu Atut Chosiyah dengan pidana 4 tahun penjara dan Rp200 juta atau diganti dengan pidana kurungan selama lima bulan,” kata ketua majelis hakim Matheus Samiadji dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (1/9/2014).

Putusan tersebut jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa KPK yang menuntut Ratu Atut Chosiyah selama 10 penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 5 bulan kurungan ditambah pidana pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Vonis itu berdasarkan pasal 6 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP mengenai perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara.

“Hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah sedangkan hal yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dihukum dan adalah ibu terhadap anak dan nenek dari cucunya, sehingga harus memberikan teladan kepada keluarganya,” tambah hakim Matheus.

Bersambung ke Hal. 2: Pertimbangan Hakim

Advertisement

Pertimbangan Hakim

Dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa Ratu Atut memang terbukti menyetujui pemberian uang sebesar Rp1 miliar untuk mantan Ketua MK Akil Mochtar. “Meski terdakwa mengatakan bahwa namanya hanya diperjualbelikan, majelis setelah meneliti bukti dan keterangan saksi menilai terdakwa sudah mengetahui dari awal dan menyetujui pemberian uang Rp1 miliar kepada Akil Mochtar,” kata anggota majelis hakim Sutio Sumadi.

Hal tersebut ditunjukkan dengan pemanggilan Amir Hamzah dan Kasmin ke rumah dinas Atut. Di sana Atut meminta Amir dan Kasmin agar lebih sering turun ke masyarakat agar dapat meningkatkan elektabilitas keduanya, meski hal tersebut dibantah terdakwa.

Advertisement

“Terdakwa bertemu dengan Akil Mochtar di check point imigrasi Singapura dan meminta Akil Mochtar membantu untuk mengawal tiga perkara yang ada di Mahkamah Konstitusi yaitu sengketa pilkada Serang, Tangerang dan Lebak, keesokan harinya yaitu pada 22 September 2013, terdakwa bersama dengan saksi Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan bertemu dengan Akil Mochtar di hotel JW Marriott Singapura dan menanyakan bagaimana apakah pilkada tetap bisa dilakukan,” ungkap hakim Sutio.

Atut pun menelepon Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Johan untuk menanyakan apakah pada 2013 dapat dilakukan pilkada ulang.

“Amir Hamzah selanjutnya pada 26 September 2013 di kantor Gubernur Banten melaporkan kepada terdakwa bahwa komposisi hakim di MK ada lima orang yang mendukung Amir Hamzah dan empat orang mendukung Iti Jayabaya,” tambah hakim.

Atut kemudian menyampaikan agar dilakukan pengurusan perkaranya melalui Akil Mochtar yang sudah dikenalnya seperti saudara sendiri, sehingga Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak tahun 2013 bisa dilakukan Pemilihan Suara Ulang (PSU).

Advertisement

Pada 30 September, Wawan dan advokat Susi Tur Andayani bertemu di hotel Ritz Carlton dan dalam pertemuan tersebut Susi menyampaikan bahwa Akil meminta uang Rp3 miliar, namun Amir tidak punya uang sehingga Susi meminta Wawan untuk menyediakan dananya.

Atut kemudian menelepon Wawan yang dalam percakapan tersebut Wawan melaporkan “… Lebak sama ini nih gimana nih? SMS-nya udah enggak enak ke Susi, Susi ngeliatin SMS ke Wawan.” “Iya wawan kan ngeberesin ini dulu teh. Mau gimana inih ? Si pak Akil sekarang justru nungguin ini nya.”

Atas pertanyaan Wawan, Atut menyetujui untuk memenuhi permintaan Akil dengan mengatakan “bisa minjem berapa ibu”, “Enya sok atuh, ntar di ini-ini, “ya udah sok atuh Wawan ini nanti kabarin lagi ya!”

“Meskipun terdakwa membantah menggunakan kata ‘ibu’ dalam pembicaraan di luar pembicaraan formal dengan adiknya dan ahli profesor Tjipta Lesmana menyatakan bahwa kalimat itu tampak tidak berhubungan, tapi terdakwa sejak awal mula dirinya dinilai memang ikut meminta bantuan kepada Akil dan atas itu ada imbalan dan ucapan terima kasih sehingga unsur memberi kepada hakim telah terbukti terhadap terdakwa,” kata hakim.

Namun, hakim tidak memenuhi permintaan jaksa KPK untuk memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.

“Dalam perkara a quo, terdakwa didakwa dengan pasal 18 yaitu agar melakukan pencabutan hak-hak tertentu, majelis tidak sependapat karena perbuatan terdakwa sudah terbukti dan terdakwa telah dipenjara dan diproses di perkara lain sehingga akan terseleksi dengan sendirinya. Masyarakat Banten sudah cerdas untuk memilih siapa yang berhak menjabat jabatan publik dan akan tereliminir dengan sendirinya siapa yang berhak menjabat dalam jabatan publik,” tutur hakim Ugo.

Advertisement

Atas putusan tersebut, Ratu Atut yang mengenakan jilbab hitam dan selalu menunduk sepanjang pembacaan vonis menyatakan pikir-pikir. “Kami mengucapkan terima kasih dan kami yakin fakta hukum tidak bersumber fakta-fakta hukum sesungguhnya. Meski sudah divonis, kami sepakat dengan klien akan pikir-pikir lebih dulu sampai memutuskan selanjutnya,” ucap pengacara Atut, TB Sukatma.

Sementara itu, jaksa KPK juga menyatakan pikir-pikir. “Kami pikir-pikir yang mulia,” kata jaksa penuntut umum Edy Hartoyo.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif