News
Jumat, 12 Juli 2013 - 07:09 WIB

KRISIS MESIR : SBY Anggap Penggulingan Morsi Prahara Politik

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato saat acara buka bersama di Istana Negara, Jakarta, Kamis (11/7/2013). Acara tersebut dihadiri pimpinan lembaga tinggi negara, para menteri kabinet Indonesia Bersatu II, dan duta besar negara sahabat. (JIBI/Solopos/Antara/Andika Wahyu)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato saat acara buka bersama di Istana Negara, Jakarta, Kamis (11/7/2013). Acara tersebut dihadiri pimpinan lembaga tinggi negara, para menteri kabinet Indonesia Bersatu II, dan duta besar negara sahabat. (JIBI/Solopos/Antara/Andika Wahyu)

Solopos.com, JAKARTA — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebut penggulingan Presiden Mesir Mohamed Morsi oleh militer, Rabu (3/7/2013) lalu, sebagai prahara politik dalam transisi politik di negeri itu. Ia pun mendoakan agar prahara politik tersebut segera berakhir sehingga Mesir dapat melaksanakan transisi politik yang damai dan demokratis.

Advertisement

“Tentu kita mendoakan semoga prahara politik yang terjadi di Mesir bisa diakhiri dan transisi politik yang terjadi di negeri itu bisa berlangsung secara damai, demokratis dan berdasarkan kehendak rakyat mesir sendiri,” kata Kepala Negara saat memberikan sambutan dalam acara buka puasa bersama di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (11/7/2013).

Acara buka puasa bersama Presiden dengan pimpinan kementerian dan lembaga serta duta besar negara muslim di Istana Negara, rutin digelar setiap Ramadan. Dalam kesempatan itu, Presiden SBY mengajak para tamu yang hadir merenungkan kondisi dunia dan merefleksikan dengan pengalaman Indonesia. Pidato itu ia sampaikan selama 20 menit menjelang waktu berbuka puasa setelah sebelumnya tamu undangan diberi siraman rohani oleh Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar.

“Saya mengajak hadirin sekalian untuk melakukan semacam perenungan, refleksi, ataupun kontemplansi bukan hanya kita menjalankan ibadah puasa tetapi dalam upaya bersama untuk menjalankan kehidupan bernegara di negeri tercinta ini,” ujar SBY.

Advertisement

Menurut SBY, perubahan besar sering kali tidak bisa dilakukan dalam sekejap mata atau seperti membalikan telapak tangan. Perubahan besar biasanya diikuti dengan pelbagai penyesuaian yang sering kali tidak menyenangkan dan menyakitkan. “Banyak bangsa yang mengalami masa yang tidak menyenangkan, painfull (menyakitkan), up and down (turun naik), begitulah perubahan yang besar yang terjadi di negara manapun,” paparnya.

Kendati berharap terwujudnya transisi politik yang demokratis di Mesir, Presiden SBY tak sedikit pun menyinggung tentang peran militer dalam penggulingan Presiden Morsi. Presiden Morsi yang didukung Ikhwanul Muslimin adalah presiden terpilih dalam pemilu demokratis pertama Negeri Piramid itu.

Penyebutan kudeta dalam penggulingan Morsi oleh militer terbilang sensitif bagi penguasa Mesir saat ini. Pemerintah bentukan militer Mesir bahkan sempat secara khusus memanggil duta besar Turki di Kairo terkait pandangan itu. Kantor berita resmi Mesir, MENA, Selasa (9/7/2013) lalu, menyebutkan Asisten Menteri Luar Negeri Mesir Urusan Eropa, Hatem Seif, dalam kesempatan itu menyampaikan penyesalannya yang mendalam mengenai suara yang muncul di Turki guna menuntut campur tangan lembaga regional dan internasional dalam perkembangan paling akhir di Mesir.

Advertisement

”Mesir menganggap upaya semacam itu berisi bukan hanya kekeliruan dalam memahami politik Mesir, tapi juga campur tangan dalam urusan dalam negeri Mesir,” kata Seif yang dikutip MENA sebagaimana dilaporkan Xinhua yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu (10/7/2013) pagi.

Menteri Turki Urusan Uni Eropa, Egemen Bagis, sehari sebelumnya mengecam Uni Eropa karena pendiriannya mengenai krisis yang melanda Mesir. Bagis mengecam Uni Eropa yang tidak berani menyebut apa yang terjadi di Mesir itu sebagai sebuah kudeta militer. Selama bertahun-tahun sejarah Mesir, jemaah Ikhwanul Muslimin yang digagas Hassan al-Banna pada 1928 dan kini mendukung Morsi memang kerap berseberangan dengan militer.

Dengan mengedepankan demokrasi, organisasi itu juga kerap tak sejalan dengan penguasa Mesir. Namun kedekatan Agus Salim, Syahrir, dan sejumlah diplomat lain Indonesia dengan pucuk pimpinan organisasi itu diyakini berperan dalam pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Mesir pada 17 Agustus 1945. Mesir adalah negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. (JIBI/Detik)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif